Video musik terbaru VIDI 'w u at?'

VIDI Disebut ‘Boti’ di Video Barunya, Ini Standar Ganda dan Maskulinitas Toksik

Penyanyi VIDI merilis single dan video musik terbarunya berjudul ‘w u at?’. Di samping pujian, banyak yang menghujat penampilannya. Komentar ini sangat stereotyping dan homofobik.

Penyanyi Vidi Aldiano, yang kini dikenal dengan nama panggung VIDI, baru saja merilis single dan video musik ‘w u at?’. Aku memang tidak begitu mengikuti VIDI dan karya-karyanya di industri musik Indonesia, tapi menyenangkan rasanya mengetahui bahwa penyanyi itu kini kembali dengan lagu baru. Kulihat, banyak orang merasakan hal yang sama. Namun di saat bersamaan, tidak sedikit orang yang mengomentari pakaian VIDI di video musik ‘w u at?’ dan menyamakannya dengan gay

Padahal, di sisi lain, figur publik laki-laki lain bisa memakai rok dan diterima masyarakat karena tetap mengesankan maskulinitas. Ini artinya ada standar ganda maskulinitas.

Sebelumnya, banyak orang menyatakan kegembiraan mereka dan menyambut kembalinya VIDI ke industri musik. Namun video musik ‘w u at?’ juga mengundang komentar negatif warganet. 

Video tersebut disebut ‘norak’ karena menampilkan VIDI menari bersama para backdancer dengan tema warna-warni. Ada juga yang mengomentari pilihan pakaian VIDI.

Baca Juga: Wacana Adu Tinju Mark Zuckerberg vs Elon Musk, Krisis Maskulinitas Ada di Sekitar Kita

“Sorry Vid, outfit-nya kureng. Ingin kayak idol Korea tapi agak maksa aja gitu. Jatuhnya jadi kayak boti, karena badannya Vidi ini berisi juga, jadi keliatan gendut, ditambah celana pink, jadi kelihatan gede banget pahanya,” tulis salah satu pengguna Instagram di kolom komentar.

Komentar serupa juga bermunculan di media sosial. Banyak orang menyebut VIDI ‘boti’, menyamakannya dengan penyanyi mancanegara Sam Smith yang gay, dan sebagainya. Mereka merasa, penampilan VIDI di video musik ‘w u at?’ membuatnya terlihat seperti bagian dari kelompok queer, dan mereka tidak menyukai itu.

“Ada kok bang style soft tapi cowoknya tetep kerasa,” ujar komentar lain di Instagram.

Komentar-komentar seperti itu berseliweran di linimasa media sosialku selama beberapa waktu. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat standar ganda masyarakat terhadap stereotipe ekspresi gender saat ini.

Di satu sisi, VIDI dicemooh karena tampak feminin atau genderqueer dengan pakaian ketat berwarna-warni dan konsep yang ‘lembut’. Di sisi lain, figur publik laki-laki lain yang mengenakan rok atau pakaian ‘feminin’ lainnya, diterima dan bahkan dipuji ketika mereka tidak menghilangkan unsur maskulinitas pada penampilan mereka. 

Namun berbagai sentimen dan hujatan terhadap VIDI dan penampilannya menunjukkan, masyarakat masih berkutat pada masalah stereotipe gender dan homofobia. 

“Kenapa sih, warganet ketemu saja hal-hal untuk dikomentari jelek?” batinku.

Fashion dan Stereotipe Gender

Mari kita lihat. Apa yang pertama kali terbesit di benak banyak orang saat mendengar kata ‘laki-laki’ dan ‘fashion’? Bayangan apa yang muncul di kepala saat memikirkan penampilan laki-laki yang ‘seharusnya’?

Stereotipe gender akan membuat kita berpikir bahwa setiap gender seharusnya memiliki gaya penampilan tertentu. Di lingkungan masyarakat tertentu, laki-laki mungkin akan dinilai sebagai ‘laki-laki sejati’ saat memakai kaus oblong, celana jins, sneakers. Di tempat lain, standarnya mungkin berbeda. Hal itu juga berlaku bagi—terutama—perempuan.

Stereotipe gender sendiri dalam fashion merujuk pada pandangan yang sudah umum dianut oleh masyarakat terkait dengan cara berpakaian yang ‘seharusnya’ dipilih oleh individu berdasarkan jenis kelamin mereka. 

Stereotipe ini sering kali didasarkan pada asumsi yang kaku tentang apa yang dianggap sebagai pakaian yang ‘cocok’ atau ‘tepat’ untuk laki-laki, perempuan, atau genderqueer. Alhasil, muncul batasan yang ketat terkait dengan ekspresi gender dalam konteks fashion.

Stereotipe gender mungkin muncul dalam bentuk warna. Asumsinya, warna tertentu cocok atau tidak cocok untuk jenis kelamin tertentu. Misalnya, warna merah muda dianggap ‘feminin’. Sedangkan warna biru dianggap ‘maskulin’. Ini kerap membatasi pilihan warna bagi individu berdasarkan jenis kelamin mereka.

Hal ini juga tampak pada komentar-komentar terkait video musik ‘w u at?’ VIDI. Warganet mengkritik video musik dengan pemilihan warna-warna terang itu, terutama pada pakaian yang digunakan VIDI. Menurut mereka, pilihan warna merah muda hingga hijau neon itu enggak ‘laki’.

Baca Juga: Di Balik Viral Obrolan ‘Provider’ bareng Prilly Latuconsina, Ada Jebakan Maskulinitas Toksik

Persoalan lain dalam stereotipe gender di fashion adalah gaya yang ditampilkan. Pandangan umum sering kali menyatakan bahwa gaya yang bersifat kuat dan tegas adalah gaya yang sesuai dengan laki-laki. 

Sementara gaya yang lebih lembut dan romantis lebih cocok untuk perempuan. Ketika laki-laki bergaya ‘lembut’ dan ‘manis’, masyarakat yang lekat dengan stereotipe gender tidak menyukainya karena ia tidak terlihat ‘maskulin’. 

Lebih jauh lagi, muncul pemikiran bahwa penampilan laki-laki seperti itu mencerminkan orientasi seksualnya yang tidak heteronormatif. Ini bisa menghasilkan pembatasan yang signifikan dalam menciptakan dan mengadopsi gaya yang berbeda-beda.

Belum lagi penggunaan istilah ‘boti’ dan asumsi-asumsi tentang orientasi seksual dalam komentar terkait video musik VIDI. Semua itu bermunculan hanya dari cara penyanyi itu berpenampilan di video tersebut. Aku jengah dengan fakta bahwa banyak orang di sekitar kita yang, sudah seksis, stereotyping gender, homofobik pula.

Maskulinitas Toksik dan Standar Gandanya

Dalam perdebatan mengenai penampilan VIDI, kita mungkin juga harus menyinggung tentang standar ganda maskulinitas toksik. Seperti apa?

Maskulinitas toksik adalah konsep yang mengacu pada karakteristik maskulinitas yang beracun atau merugikan, yang diinternalisasi oleh individu laki-laki atau masyarakat pada umumnya. Konsep ini menyoroti norma-norma yang diterima secara luas terkait dengan maskulinitas, yang dapat membatasi dan merugikan baik laki-laki maupun perempuan. Serta berkontribusi pada ketimpangan gender.

Dalam fashion, jangan-jangan ada standar ganda maskulinitas toksik. Ini mengacu pada pandangan yang membatasi definisi maskulinitas dan menekankan kejantanan berdasarkan stereotipe tertentu. Ketika laki-laki memilih untuk mengenakan pakaian yang umumnya dianggap feminin, seperti rok atau spandex warna-warni, pandangan negatif sering kali muncul sebagai hasil dari berbagai faktor sosial dan budaya.

Masyarakat bukannya tidak menyadari perubahan tren dalam fashion. Seiring berjalannya waktu, kategorisasi busana berdasarkan gender mulai melebur. 

Di kalangan artis, musisi, dan sebagainya, masyarakat mulai menerima perempuan memakai celana jins sobek dan sepatu lars, serta laki-laki memakai rok dan aksesoris warna-warni, dan sebagainya. Bagiku sebagai penggemar K-pop, misalnya, konsep berpakaian tidak lagi memiliki sekat-sekat gender yang kentara. Hal itu tampaknya sudah cukup lumrah juga di sektor-sektor industri hiburan lainnya. Fashion mulai diterima sebagai sesuatu yang genderless, kalau bukan sesuatu yang tidak mesti lekat dengan gender tertentu.

Namun bukan tidak mungkin, masih ada standar ganda dalam fashion dan maskulinitas. Misalnya, seorang musisi laki-laki dapat memakai rok dan tidak dihujat masyarakat karena ia tidak menghilangkan kesan maskulinitas pada penampilannya, misalnya dengan menggunakan warna-warna gelap atau membawakan musik rock.

Baca Juga: Maskulinitas Laki-Laki Terlihat Dari Cara Mereka Pilih Makanan: Lebih Suka Makan Daging Daripada Vegan

Tapi ketika seseorang seperti VIDI, yang membawakan lagu yang lebih ‘lembut’ serta memakai pakaian ketat, dengan warna-warna mencolok dan menari-nari di video musiknya, masyarakat bereaksi negatif. Sebab mereka tidak mendapati maskulinitas yang selama ini mereka sepakati di situ.

Padahal, preferensi berpakaian merupakan bagian dari ekspresi identitas individu. Penampilan dan pakaian VIDI dalam video ‘w u at?’, tidak seharusnya menjadi alasan bagi penilaian atau perlakuan yang merendahkan. Apa lagi sampai mengasumsikan orientasi seksual penyanyi itu dan menyebutnya sebagai ‘boti’.

Penting juga untuk mempromosikan kesadaran dan penerimaan terhadap keragaman identitas gender dan ekspresi. 

Serta menghormati kebebasan setiap individu untuk memilih cara mereka mengekspresikan diri tanpa takut dihakimi atau dikucilkan. 

Sudah saatnya masyarakat keluar dari stereotipe gender dan konsep maskulinitas beracun. Juga sudah waktunya semua orang belajar mengapresiasi karya orang lain tanpa nyinyir soal penampilan hingga orientasi seksualnya.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!