Suara Riska Carolina terdengar berat. Raut kesedihan tampak menyelimuti wajahnya. Itu terjadi saat Ia diminta membacakan kesaksian para penyintas kekerasan seksual dan menanggapinya, dia tak tertahankan menangis.
“Mustahil bagi saya, sebagai manusia biasa untuk tidak merasakan (kesedihan) itu,” ujar Riska, aktivis Crisis Response Mechanism (CRM) saat pembukaan Panggung Perempuan Merdeka 2023, di Pendopo Ajiyasa Bloc Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta, Sabtu (9/12).
Baginya, cerita para korban begitu kuat. Meskipun dia telah lama bekerja di konsorsium yang menangani krisis minoritas seksual dan gender, cerita mereka tetap saja menyayat hati.
Sebanyak 25 perempuan penyintas kekerasan seksual mengalami trauma, kesakitan bahkan ancaman kematian. Mereka juga mengalami stigma, diskriminasi dan kata-kata tanpa empati. Di samping menanggung kasus kekerasan yang mereka alami.
“Berhubung saya kerja di krisis, saya kira cukup kuat. Ternyata 25 cerita itu cukup menyayat hati. Dan selama ini, kita terkungkung dalam diri kita sendiri tanpa tahu apa yang mereka alami,” ucapnya dengan helaan napas.
Para peserta yang hadir pun, tampak ikut termenung. Seolah turut merasakan apa yang dirasakannya.
Riska manyampaikan contoh kasus perkosaan yang berujung kehamilan tidak diinginkan. Dia menyesalkan, korban justru tak mendapatkan haknya untuk mengakses aborsi aman karena terbentur aturan.
Baca Juga: Belanja di Give Back Sale: Upaya Bantu Perempuan Korban Lewat Thrifting
Menyoal aborsi aman bagi korban perkosaan memang sudah diatur dalam Pasal 75 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun, Pasal 76 mensyaratkan aborsi dilakukan sebelum kehamilan berusia enam pekan dihitung dari haid pertama haid terakhir.
“Itu tak masuk akal. Karena kita menstruasi saja empat minggu ya. Berarti hanya dua minggu dikasih kesempatan,” katanya.
Sementara ada UU Kesehatan baru, yakni UU Nomor 17 Tahun 2023. Ada peluang karena UU baru mengatur syarat aborsi hingga kehamilan 14 minggu. Namun, tak ada aturan pelaksana yang mengatur akses layanan aborsi.
Sulitnya mengakses layanan aborsi aman korban perkosaan, juga berdampak pada persoalan lain. Seperti, praktik aborsi tidak aman yang lagi-lagi menjadikan perempuan sebagai korban. Tak hanya berdampak pada kerusakan organ reproduksi, tapi juga mengancam nyawa.
“Jika tak ada itikad dan perspektif yang baik dari pemerintah untuk memberi layanan aborsi bagi perempuan, maka kondisi akan sama saja seperti sebelumnya. Kita harus terus mengawal implementasinya agar bisa terwujud,” ucap Riska.
Di satu sisi, juga adanya kasus pemaksaan aborsi pada perempuan. Ini sebagaimana yang diatur dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) bahwa bentuk-bentuk kekerasan seksual itu seperti pemaksaan alat kontrasepsi.
Mengapa ini berbahaya? Sebab setiap alat kontrasepsi bisa menimbulkan efek samping dan belum tentu cocok bagi setiap tubuh perempuan. Maka di sinilah, Riska menegaskan, perempuan semestinya mempunyai kedaulatan atas tubuhnya. Itu harusnya dijamin perlindungannya.
“Tubuh perempuan bukan ruang pertarungan politik dari para pembuat kebijakan, aparat penegak hukum dan aparat kesehatan. Tubuh perempuan adalah milik perempuan. Dan perempuan berhak memilih atas reproduksi dan seksualnya,” tegas dia.
Persidangan Perempuan
Panggung Perempuan Merdeka merupakan puncak rangkaian Feminist Festival (Femfest) 2023 yang digelar pada 9-10 Desember 2023. Femfest merupakan gelaran dua tahun sekali sejak 2017 yang diinisiasi Jakarta Feminist. Tujuannya, mengeksplorasi feminisme dan keadilan gender dengan menggandeng komunitas dan LSM yang bergerak di bidang terkait.
Seperti sebelumnya, gelaran ini menggunakan momentum Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dari 25 November hingga 10 Desember.
Dan pada 2023 ini, kali pertama Femfes digelar di luar Jakarta. Yogyakarta menjadi jujugan perdana.
Program Director Jakarta Feminist, Anindya Restuviani menjelaskan Panggung Perempuan Merdeka merupakan panggung untuk perempuan, kelompok rentan, juga perempuan pembela hak asasi manusia yang selama ini kontribusinya sering diabaikan negara dan masyarakat.
“Tahun ini, menyoroti bagaimana akses layanan kesehatan reproduksi perempuan dan kelompok rentan. Itu berdampak pada kualitas hidup mati perempuan,” imbuh Vivi, sapaan akrabnya saat memberi sambutan pembukaan acara.
Sementara awalan kegiatan Femfest, pihaknya menggelar persidangan perempuan secara virtual pada 24-25 November 2023.
Forum persidangan tersebut merupakan ruang alternatif bagi perempuan dan kelompok rentan yang mengalami diskriminasi, represi dan kekerasan untuk bisa menyuarakan dan mengadvokasi hak-hak mereka. Serta menceritakan apa yang sering dibungkam dan yang tidak dibungkam pemerintah dan masyarakat.
“Ini adalah persidangan perempuan pertama. Temanya soal keadilan dan kesetaraan perempuan dan kelompok rentan,” ungkap Vivi.
Baca Juga: Pakai Baju Agak Terbuka Dianggap Salah? Ini Obsesi Society yang Hobi Atur Perempuan
Persidangan tersebut menghadirkan kesaksian 25 orang saksi sebagai individu, kolektif perempuan maupun kelompok rentan. Mereka menjadi korban dari para pelaku dengan latar belakang berbeda, baik keluarga, perusahaan, dan lain-lain yang secara sistemik sudah ada.
Para saksi ini dikumpulkan oleh 18 kolaborator yang merupakan para ahli, baik dari komunitas dan jaringan perempuan merdeka yang mendampingi para saksi.
“Para saksi ada yang membaca langsung kesaksiannya atau dibacakan perwakilan panitia atau kolaborator,” kata Vivi.
Persidangan dibagi menjadi enam kluster dan menghasilkan rekomendasi yang dibacakan saat pembukaan acara Panggung Perempuan Merdeka.
Beberapa rekomendasi tersebut meliputi, rekomendasi kluster Kesehatan Seksual dan Reproduksi yang dibacakan Riska Carolina. Kemudian, rekomendasi kluster Kesehatan Mental oleh dokter Sandra Suryadana dari Dokter Tanpa Stigma. Ada pula kluster Dampak Krisis Iklim terhadap Kesehatan Perempuan oleh Masnu’ah dari Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI).
Selain itu, ada kluster Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual oleh Kanzha Vina dari Sanggar Swara, kluster Akses Layanan Kesehatan Bagi Perempuan dan Kelompok Rentan oleh Mario Prajna Pratama dari Trans Laki-laki, serta kluster Kesehatan dan Keselamatan Perempuan Pekerja oleh aktivis perempuan Papua, Esther Haluk.
Baca Juga: Kekerasan Seksual di Kantor Toksik: Saya Tak Bisa Lapor HRD dan Kena Victim Blaming
Ada pula rekomendasi untuk jurnalis dan media. Sebagaimana disampaikan Sandra, bahwa dalam pemberitaan, pihak media harus memperketat kode etik jurnalistik untuk menjaga, melindungi dan menjamin keamanan dan privasi korban.
“Juga menuntut kepekaan isu berbasis gender dalam media untuk ikut serta mendorong keadilan bagi korban,” tegas Sandra.
Selanjutnya, kata Vivi, berdasarkan rekomendasi tiap-tiap kluster itu akan dibuat tuntutan-tuntutan untuk dijadikan alat advokasi. Hasilnya nanti diberikan kepada para pemegang kebijakan.
Ke Manakah Keadilan?
Sebelum pembacaan rekomendasi persidangan perempuan, Laksmi Shitaresmi hadir menyapa peserta. Perupa sekaligus seniman pertunjukan itu muncul dengan kostum serba hitam. Mulutnya dibungkam plester merah.
Dari ujung kepala hingga setengah badan ditutup kelambu putih transparan yang kemudian disingkapnya. Seutas tali mengikat dari leher, perut hingga sebelah kakinya. Salah satu ujungnya mengikat lonceng dari kalung sapi.
Seniman dan aktivis lingkungan Yogyakarta itu berjalan pelan, sesekali menggoyangkan kalung sapinya. Bunyinya gemerincing. Semakin lama semakin kencang dengan tempo cepat.
Sementara sebelah tangannya memegang karya instalasi berwujud kapal yang dihiasi bunga hias berbentuk seperti gunungan wayang. Keduanya terbuat dari benda-benda daur ulang. Sesekali pula, Laksmi menyorongkan kapal ke depan.
Laksmi berjalan terus di antara peserta. Berhenti sejenak di depan salah satu kursi peserta, membunyikan lonceng sapinya. Lalu berlanjut ke kursi peserta yang lain. Peserta pun terdiam menikmati sajian performance art itu. Sesekali memotretnya dengan kamera gawai mereka.
“Saya mengkritik masyarakat, terutama masyarakat yang paling dekat dengan profesi saya. Juga mengkritik hukum di Indonesia, dalam hal ini kepolisian. Saya merasa ada ketidakadilan,” ucap Laksmi yang juga penyintas kekerasan seksual itu, setelah membuka plester mulutnya.
Saat ditemui Konde.co usai acara pembukaan, Laksmi mengaku syok. Persis sehari sebelum ia pentas, tepatnya Jumat, 8 Desember 2023 sekitar pukul 13.00-14.00 WIB, sepucuk Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Kepolisian Daerah DIY datang kepadanya.
Isinya mengabarkan, penyidikan atas laporan pengaduannya atas tindakan pelaku yang mempertontonkan foto-foto telanjangnya, dihentikan polisi. Padahal laporan itu telah diajukan pada 2019.
Baca Juga: Catahu Kekerasan Seksual di Kampus: Seksisme Banyak Terjadi di Guyonan Tongkrongan
Selama itu pula, Laksmi merasa tidak ada kemajuan tindak lanjut kasusnya, meski barang bukti telah dilengkapi dan diberikan pihak penyidik. Tiba-tiba di penghujung 2023, penyidikannya dihentikan.
“Surat itu menyatakan, bahwa tidak ada tindak pidana itu,” keluh Laksmi.
Gara-gara surat itu pula, Laksmi tak bisa tidur. Antara gelisah, kecewa dan marah. Bahkan pementasan yang disiapkan untuk memeriahkan Panggung Perempuan Merdeka, langsung diganti sebagaimana telah ditampilkan siang itu. Diganti pertunjukkan yang mementaskan gambaran nasib dirinya.
Ia membawa instalasi kapal yang merupakan simbol keadilan akan dibawa kemana. Sedangkan lonceng sapi yang dibunyikan adalah seruan kepada semua orang, bahwa banyak perempuan, tak hanya dirinya, yang berurusan dengan hukum, tetapi tak pernah dituntaskan kasusnya.
“Banyak kasus ditutup. Akhirnya ada yang bunuh diri, karena ada ketidakadilan, ada permainan. Saya mengalami sendiri,” aku Laksmi.
Ironisnya pula, tak banyak orang yang peduli. Begitu pun tak ada peserta yang merespons karya pertunjukannya itu. Bahwa tak ada respons, menurut Laksmi adalah cerminan sikap masyarakat terhadap kasus-kasus kekerasan seksual. Ada tidaknya respons adalah bagian dari pertunjukan seni itu.
“Saya dibungkam oleh hukum. Dan tali ini kan tali gantungan. Tinggal tarik, saya sudah tercekik. Jadi tolong lepaskan, saya butuh bantuan,” ucap Laksmi yang berharap peserta bereaksi saat lonceng sapi itu didentingkan.
Kegalauan jiwanya membuat Laksmi belum memberi judul karyanya hingga pertunjukan usai. Pukul 2 siang, sebuah pesan singkat masuk darinya ke telepon genggam Konde.co. Mengabarkan tentang judul karyanya. “Hendak Kemanakah Keadilan Berlayar???” begitu tulisnya.
Jangan Paksa Korban Speak Up
Di dalam ruang itu juga dipajang lima manekin tanpa kepala. Ada yang mengenakan jilbab, mukena, ada yang baju anak. Masing-masing manekin punya ketinggian berbeda. Yang tinggi menggambarkan perempuan dewasa, sebaliknya yang pendek adalah anak-anak.
Mereka menyuarakan kisah kekerasan seksual yang dialaminya lewat narasi kertas putih yang dikalungkan di lehernya.
Ada perempuan yang lari dari rumah karena menjadi korban KDRT ayahnya. Seorang teman lelaki yang menawarkan pertolongan malah memperkosanya. Ada bocah perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual pamannya. Bahkan ada perempuan yang mengalami pelecehan seksual saat menjalankan ibadah umroh di Tanah Suci.
Ada pula dua lukisan kolase karya Riska Farasonalia yang diberi judul “Parpuanta”. Satu lukisan menggambarkan organ reproduksi perempuan berupa rahim. Lukisan lainnya menyerupai vagina.
Riska menuliskan narasinya, bahwa budaya patriarki menjadikan tubuh dan organ reproduksi perempuan menjadi objek penindasan dan kekerasan. Banyak perempuan menjadi korban objektifikasi pornografi, perkosaan hingga praktik mutilasi organ reproduksinya, yakni penyunatan.
Ironisnya, perempuan hanya menjadi mesin reproduksi dan tak punya hak atas organ-organ reproduksinya.
Baca Juga: KDRT Perempuan Seniman: Konten Intim Disebar Mantan Suami, Niat Lapor Polisi Barang Bukti Hilang
Atas dasar itu pula, Riska memberi judul karyanya “Parpuanta”. Istilah dari kata serapan “perempuan”, dari etimologi “empu puan” yang berarti perempuan yang dihormati serta punya identitas dan otonomi atas dirinya sendiri.
“Sebab perempuan punya hak dasar atas tubuhnya sendiri yang tak boleh dirampas, dicuri dan diintervensi pihak manapun,” pesan Riska dalam narasinya.
Atas kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan, begitu pun 25 saksi tersebut, Ayu Oktarini dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia mengingatkan, bahwa bentuk terburuk yang terjadi adalah femisida. Dikutip dari laman Komnas Perempuan, “femisida” adalah pembunuhan terhadap perempuan.
“Baik (pembunuhan) secara langsung, baik yang terbunuh karena tindakan atau yang pelan-pelan mati karena keadaan mendesak mereka, sehingga tak bisa bertahan,” kata Ayu.
Diakui Ayu, istilah “femisida” memang bukan sesuatu yang familiar. Tapi banyak perempuan yang meninggal karena tak ada yang menjaga dan melindungi. Ia berharap ini menjadi pengingat, bahwa perempuan tak berjuang sendiri dan tak ada ada yang merasa lebih menderita daripada yang lain.
“Karena penderitaan kita ada perjuangan kita. Jadi jangan paksa perempuan untuk speak up. Tapi paksa pelaku untuk berhenti, paksa negara untuk bertanggung jawab,” seru Ayu memungkasi acara pembukaan itu.