Berlatih Mati, Lalu Hidup untuk Orang Lain: Cerita Hartini Perempuan dengan HIV 

Hartini Rahayu, adalah perempuan yang hidup dengan HIV/ AIDS. Di momen Hari AIDS sedunia ini, Ia membagikan kisah hidupnya pada kami, juga soal anaknya yang kena HIV/AIDS.

Hartini Rahayu panik ketika tiba-tiba anaknya didiagnosis kena HIV/AIDS. 

Peristiwa itu terjadi di tahun 2007. Anaknya yang berusia tiga bulan tiba-tiba sakit. Kala itu anaknya didiagnosis menderita penyakit tuberkulosis (TB). 

Namun setelah memeriksa ke dokter lebih lanjut, ternyata anaknya terkena HIV.

“Sebenarnya baby-ku [saat itu] baik-baik saja. Nah, begitu mix-feeding. Aku nggak tahu, ya, bahwa ternyata aku punya virus HIV. Anakku sudah mulai sakit-sakitan.”

Ia lalu minta suaminya untuk tes untuk mengetahui kenapa anak mereka bisa kena HIV. Tapi kala itu suaminya menolak untuk tes, sebab suaminya bilang, bahwa orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) adalah mereka para pekerja seks atau pengguna jarum suntik. Dirinya pun percaya apa yang dikatakan suami.

“Pasanganku bilang, kalaupun anak kita hidup positif, itu bukan dari kita, tapi dari peralatan rumah sakit,” ulang Hartini.

Tak lama setelah itu, anak Hartini tersebut meninggal. Setelah itu, kondisi Hartini juga sakit. Ia semakin parah dengan gejala AIDS yang berdatangan pada saat itu. Berat badannya turun hingga 36 kg, infeksi jamur (kandidiasis) sampai ke tenggorokan. Ia juga mengalami anemia berat, SGOT-SGPT tinggi, diare lebih dari tiga bulan, hingga koreng bernanah dan berdarah di sekujur tubuhnya.

“Aku aja mikirin, aku nggak akan pernah bertahan hidup karena memang nafasku sudah pendek, jalan tiga langkah sudah lelah, makan harus bubur dan pakai sedotan. Makan dan minum, tuh, adalah penyiksaan.”

Baca Juga: Riset: Perempuan Positif HIV/AIDS di 8 Kota Indonesia Alami Penyiksaan dan Kekerasan Seksual

Hartini lalu dirujuk untuk pergi ke Rumah Sakit Persahabatan. Dokter khusus penyakit dalam curiga dirinya terkena HIV, sehingga dibawa untuk tes. Selama dua minggu menunggu hasil, ia diberi obat antibiotik kotrimoksazol. Selama dua minggu itu juga, Hartini “belajar mati”. 

“Aku latihan mati. Aku tidak menyalakan lampu, tidak membiarkan matahari masuk ke kamar, nggak pernah nonton TV. Lampu yang nyala hanya kamar mandi. Aku pikir di kuburan nggak ada itu.”

Dirinya lalu diketahui positif HIV dengan AIDS Stadium 4 dan jumlah CD4 hanya 7 (normal di antara 500–1.600). 

Hartini bercerita hasil tes itu tidak membuatnya menangis. Satu-satunya yang ada di pikiran perempuan ini yang juga korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), adalah orang tuanya.

“Aku cuma berpikir, orang tuaku akan lebih menerima aku meninggal karena sakit, ketimbang aku meninggal karena dipukuli.’”

Setelah Terapi ARV, Hartini Pelan-Pelan Bangkit

Obat Antiretroviral (ARV) mengubah hidupnya secara drastis. Hartini, yang kala itu sudah begitu pasrah sampai latihan mati, pelan-pelan bangkit. Perubahan yang dinilainya ajaib dan luar biasa setelah ia minum obat ARV.

Pada dua minggu pertama minum ARV, kandidiasisnya berkurang, korengnya juga kering, 

Hartini mulai bisa berjalan lebih dari tiga langkah dan makan nasi. Perlahan, berat badannya bertambah. Perlahan, setelah enam bulan tersiksa, ia sudah bisa menikmati makanan.

“Makanan yang masuk adalah makanan yang paling enak seumur hidupku.”

Sejak 2014, pemerintah memberikan ARV secara gratis pada seluruh Orang dengan HIV/AIDS atau ODHIV. Siapa pun bisa menerimanya di fasilitas kesehatan. 

Orang yang hidup dengan HIV bisa menekan penularan hingga 100 persen jika rutin meminum obat ini.

Walau akses ARV gratis, miskonsepsi soal pencegahan dan penularan HIV masih besar. UNAIDS Indonesia menyatakan bahwa 2 dari 3 ODHIV belum mengakses obat. 

Indonesia ternyata masih jauh dari target 95-95-95, jauh juga dari target maksimal 5.000 penambahan kasus baru per tahun.

Baca Juga: Dicap ‘Perempuan Tidak Benar’: Stop Stigmatisasi Perempuan Positif HIV 

Kurangnya sosialisasi kesehatan seksual dan reproduksi di tengah masyarakat, termasuk stigma yang muncul pada orang dengan HIV, dapat menjadi faktor penghambat. Misalnya, HIV dianggap hanya menular pada populasi kunci rentan, yaitu pekerja seks perempuan, lelaki seks dengan lelaki, pengguna narkotika, dan/atau transpuan.

Padahal, HIV dapat menular pada siapa saja. Bak COVID-19, penyakit menular tidak pilih-pilih identitas seorang. Hartini jadi contoh nyata bahwa seorang ibu rumah tangga–tidak termasuk dalam populasi kunci–juga bisa terinfeksi. 

Kementerian Kesehatan/ Kemenkes pada awal Mei 2023 menyatakan bahwa 35% ibu rumah tangga hidup dengan HIV dan 30% di antaranya ditularkan suami. Pernikahan monogami tidak menjauhi siapa pun dari penyakit menular seksual. 

Bagi Hartini, orang yang paling dipercayainya adalah ibu. Walau begitu, selama sakit, dirinya membatasi obrolan bersama ibu, ia hanya berkomunikasi dengan pesan teks. Tak ingin sang ibu tau kondisi dirinya lewat sambungan telepon, atau bertatap muka. 

Baca Juga: Mengapa Kami Beda dan Harus Minum Obat Tiap Hari? Cerita Anak dengan HIV

Setelah tiga bulan rutin minum ARV, Hartini memberanikan diri membuka status pada ibunya. Ibunya menangis lewat telepon dan terus bertanya.

“Mengapa harus kamu?.” Hartini pun tak dapat benar-benar menjawab.

Menurutnya, yang ia lakukan selama ini hanya apa yang ibu rumah tangga pada umumnya lakukan. Menunggu suami pulang dan mengurus anak. Tak lebih, tak kurang. 

“Tapi, di pertengahan malam, anakku yang usianya 10 tahun telepon. Dia bilang, ‘Umi, aku yakin sampai aku lulus sekolah, kuliah, dan punya anak, Umi masih ada buat aku.’ Habis itu dia tutup tanpa penjelasan,” ucapnya mengulang rangkaian kata yang didengarnya 14 tahun lalu. Ia menceritakan anaknya yang lain.

Perkataan anak pertamanya itu bagai angin segar bagi Hartini, bagai asa di tengah kesenyapan. Ucapan anak pertama nyalah yang mendorong Hartini sampai kini bekerja menjadi Kepala Divisi Program Pencegahan Penularan Ibu ke Anak (PPIA) Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI).

“Semua impiannya, semua doanya terwujud. Sekarang, dia sudah punya anak dua,” terang Hartini menceritakan anak pertamanya itu.

Melanjutkan Perjuangan dalam Komunitas

Mak Club menjadi salah satu program, sesuai prong PPIA, yang fokus memberikan dukungan pada ibu hamil (bumil). Perwakilan UNAIDS Indonesia Krittayawan Boonto pada Selasa (28/11) menyatakan bahwa dalam dua tahun terakhir, 455 bumil yang tergabung dalam Mak Club berhasil melahirkan anak tanpa terinfeksi.

(Gambar: Hartini presentasi terkait praktek baik ‘Emak Club’. Dok: Fiona/Konde.co)

Sebelum masuk IPPI, Hartini sempat bekerja di Puskesmas Sawah Besar, tempat dirinya biasa mengakses obat. Tempat dirinya juga biasa menyemai harapan dengan para pengunjung lain yang berstatus positif layaknya ia.

“Setiap bulan itu ada [ODHIV] yang baru. Kenapa aku tahu itu [dia] baru? Dia duduknya di pojokan. Menyendiri. Sama seperti pertama kali aku datang ke ruangan itu.”

Hartini bercerita tentang satu pengalamannya. Suatu kala, ia mengajak seorang perempuan berbicara, lalu menunggunya keluar usai tes. Perempuan itu menangis di depan Hartini, lalu bercerita panjang lebar, dan ditenangkannya.. 

Tak hanya terjadi satu-dua waktu, perjalanan Hartini memberikan harapan hidup bagi ODHIV berlanjut. Ia mulai diajak ke dalam berbagai jumpa wicara di media massa dan daring. Terakhir adalah delapan bulan lalu dalam acara “Uncensored with Andini Effendi”.

“2014 itu aku pernah menjadi narasumber Kick Andy. Ada tiga orang yang telepon aku dan dia mengurungkan bunuh diri karena melihat acara itu. Itu, tuh, sampai sekarang [terpikir] kayak luar biasa banget kalau informasi ini terus dikasih.”

Baca Juga: Lindungi Hak Kelompok Rentan, Butuh Kebijakan Stop Diskriminasi!

Pada awal tahun ini, Hartini mulai memanfaatkan TikTok untuk menyebarkan edukasi soal HIV walau menilai dirinya masih kesulitan akses teknologi. Pengikutnya kini berjumlah 5.913. Salah satu videonya mencapai 866 ribu tayangan yang disambut dengan komentar ODHIV seperjuangan lainnya.

(Konten Edukasi Sosial media Hartini soal HIV. Dok: Fiona/Konde.co)

Sampai kini, dirinya masih menerima pesan pertanyaan dan cerita dari penonton videonya yang menggemari akun TikTok-nya. Beberapa bercerita kepada Hartini baru akan memulai terapi ARV.

Pada Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2023 hari ini, Hartini menyampaikan mimpi besarnya pada negara. Ia berharap tidak ada lagi perempuan lain seperti dirinya yang tanpa informasi soal otoritas tubuh dan tertular HIV/ AIDS. 

Ia juga berharap semoga pemahaman soal pencegahan dan penularan HIV bebas dari stigma.

Hartini menilai bahwa harapan ini tak dapat terwujud jika beban hanya digantungkan pada Kementerian Kesehatan dan komunitas saja. HIV bukan hanya persoalan medis dan obat-obatan, melainkan juga sosial. Semua sektor lain perlu ikut berkontribusi untuk menjunjung kehidupan ODHIV dan eliminasi penularan.

“Jadi, nggak cuma di tanggal 1 Desember saja kementerian ini ngadain Hari AIDS Sedunia. [Untuk] kerja ke depannya, kita nggak bisa sendiri-sendiri.”

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!