Chikita Meidy (sumber foto: Instagram @chikitameidy)

Curhat Chikita Meidy Dibully Saat Sekolah: Tidak Ada Solusi dan Meninggalkan Trauma

Menjadi artis cilik ternyata tidak menjadikan Chikita Meidy mendapatkan pertemanan yang mulus saat sekolah. Ia kerap dibully oleh teman-temannya. Rasa takut saat sekolah terbawa menjadi trauma.

Bagi anak-anak 90an pasti akrab dengan artis cilik Chikita Meidy. Semua stasiun televisi dan radio sering memutar lagu-lagu Chikita. Wajahnya banyak menghiasi majalah dan tabloid anak-anak pada masa itu.

Tapi siapa menyangka, artis yang dulu terkenal dengan lagu ‘Kuku ku’ dan ‘Gigi Gigi’ ini ternyata menyimpan trauma masa kecil akibat perundungan.

Beberapa waktu lalu Chikita Meidy mendapat sorotan oleh netizen karena curhatnya mengenai kasus bullying yang dialaminya sewaktu dia masih sekolah. Kisah ini ia ceritakan saat menjadi tamu di saluran YouTube Ferdy Element. 

Chikita yang saat itu berada di sekolah dasar kelas 4 kerap dibully oleh teman-teman dan kakak kelasnya. Chikita mengaku trauma atas hal ini meskipun kejadian itu telah lama berlalu.

Bentuk bullying yang diterimanya bermacam-macam. Salah satunya teman-temannya memaksa meminta kunci jawaban karena ia lebih dulu selesai ujian 

“Eh Chikita! Kan lu ujian duluan, kasih tau dong bocorannya apa!,” curhat Chikita. 

Baca Juga: Sejarah Perpeloncoan di Indonesia dan Dunia, Bullying Berkedok ‘Tradisi’

Saat itu Chikita menjelaskan bahwa dirinya mengikuti ujian lebih dulu dibanding teman-temannya karena ia bersekolah sambil bekerja sebagai penyanyi.

Chikita yang merasa dirinya adalah penyanyi cilik sekaligus pelajar, merasa tak membocorkan jawaban ujian. 

“Aku bilang ke temen-temenku nggak boleh ya, karena aku tadi udah dikompakin sama ibu, nggak boleh dikasih ke temen-temen semua,” kenang Chikita saat menolak paksaan teman-temannya.

Kakak kelasnya juga selalu menyuruhnya membelikan jajanan. Jika Chikita menolak, maka akan dilempar gumpalan sampah snack.

Bullying yang ia terima bukan cuma itu, sepatu dan alat sholat yang ia miliki juga dilempar ke genteng. Chikita juga merasakan bullyan psikis dari teman-temannya yang iseng memasukkan kecoak ke dalam tas Chikita.

Statusnya sebagai artis saat itu bukannya membuat ia diterima teman-temannya, melainkan malah mendapat kebencian. 

Beberapa temannya mengatakan,“Ngapain sih Chikita keluar lagi (di TV), kan dia udah artis nggak laku?,” cerita Chikita. 

Chikita menyebut hal inilah yang menjadi salah satu alasan yang membuatnya berhenti bernyanyi dan ingin fokus sekolah.

Atas perlakuan yang selalu ia terima, akhirnya Chikita mengadu ke guru BK. Namun pihak sekolah tidak menggubris karena menurut Chikita, orang tua pelaku perundungan adalah orang ternama. Orang tua Chikita pun akhirnya turun tangan, datang ke sekolah dan menanyakan apakah pelaku bisa dipanggil. Namun, lagi-lagi sekolah tidak menganggap masalah ini sebagai masalah besar.

Bullying Sudah Sangat Mengkhawatirkan

Cerita Chikita Meidy mencerminkan betapa seriusnya masalah bullying di lingkungan pendidikan. Kalau kamu menelusuri pencarian di internet tentang perundungan, kasus-kasusnya amat banyak. Laporan-laporan tentang perundungan selalu berulang tanpa menemukan penyelesaian.

Dampak dari bullying bisa berujung kematian. Mengutip BBC, Salah satu insiden perundungan yang sampai menimbulkan kematian terjadi di Medan, Sumatera Utara. 

Seorang siswa kelas 1 SD di Kota Medan, Ibrahim Hamdi, meninggal setelah menjadi korban tindak perundungan dari lima kakak kelasnya. Anak tersebut sebelumnya telah mengadu kepada ibunya bahwa ia dipukuli oleh para kakak kelasnya.

Meminjam data dari Kompas, Berdasarkan data hasil survei Asesmen Nasional tahun 2022, sebanyak 34,51 persen peserta didik (1 dari 3) berpotensi mengalami kekerasan seksual, lalu 26,9 persen peserta didik (1 dari 4) berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen (1 dari 3) berpotensi mengalami perundungan.

Temuan itu juga dikuatkan oleh hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (SNPHAR, KPPPA) tahun 2021 yakni 20 persen anak laki-laki dan 25,4 persen anak perempuan usia 13 sampai dengan 17 tahun mengaku pernah mengalami 1 jenis kekerasan atau lebih dalam 12 bulan terakhir.

Menyikapi hal ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim membuat Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP). Peraturan Menteri ini berisi bentuk-bentuk perundungan serta tata cara pencegahan hingga sanksi yang diberikan.

Peraturan ini lahir untuk secara tegas menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, perundungan, serta diskriminasi dan intoleransi. Selain itu, untuk membantu satuan pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang terjadi mencakup kekerasan dalam bentuk daring, psikis, dan lainnya dengan berperspektif pada korban.

Baca Juga: Pengalamanku Mengajar No Diskriminasi, Tapi Aku Malah Dibully

Dalam kasus Chikita Meidy, hal yang dialaminya berupa perundungan psikis juga diatur dalam peraturan ini. Dalam pasal 8 berbunyi :

(1) Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b adalah setiap perbuatan nonfisik yang dilakukan bertujuan untuk merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman.

(2) Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. pengucilan;

b. penolakan;

c. pengabaian;

d. penghinaan;

e. penyebaran rumor;

f. panggilan yang mengejek;

g. intimidasi;

h. teror;

i. perbuatan mempermalukan di depan umum;

j. pemerasan; dan/atau

k. perbuatan lain yang sejenis

Dalam Permendikbudristek PPKSP ini, diatur juga mengenai penanganan yang dapat dilakukan sekolah. Dimulai dengan sosialisasi Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 ini kepada pemerintah daerah, peserta didik, pihak sekolah, orang tua/wali sampai kepada masyarakat. Kemudian setelah ditemukannya kasus, langkah selanjutnya adalah menyampaikan pemberitahuan pada orang tua/wali dari peserta didik yang terlibat kekerasan.

Berikutnya, melakukan pendampingan korban yang dilakukan oleh ahli. Sanksi yang diberikan kepada pelaku dibagi menjadi 3 kategori, yaitu ringan, sedang dan berat. Pada tingkat berat, pelaku dapat dipindahkan ke satuan pendidikan lainnya.

Dari kasus yang dialami Chikita saat itu, dapat diambil kesimpulan bahwa bullying tidak dianggap sebagai masalah yang serius. Sekolah sepertinya juga bingung bagaimana menyikapi bullying.

Baca Juga: Darurat Bullying Anak, Orang Tua dan Guru Jangan Lengah

Ketidakpahaman sekolah dalam menyikapi kasus bullying bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama, mungkin sekolahnya kurang tahu betul tentang tanda-tanda dan efek buruk dari bullying. Jadi, mereka bisa bingung dalam mengidentifikasi kasus bullying.

Kedua, mungkin sulit bagi sekolah untuk tahu semua informasi yang diperlukan karena siswa takut melaporkan, malu, atau bahkan orang tua nggak tahu apa yang anak mereka alami. Jadi, proses penanganannya jadi rumit. Bahkan Chikita yang sudah speak up saja, tidak mendapatkan solusi.

Selain itu, kadang ada konflik dalam penanganan kasus yang melibatkan sesama orang tua atau keluarga pelaku bullying, seperti yang dialami Chikita. Sekolah bisa merasa kesulitan atau merasa nggak punya kuasa untuk mengatasi masalah yang melibatkan orang lain di luar sekolah.

Ada juga yang belum ada kebiasaan atau pemahaman yang kuat tentang seberapa pentingnya menangani kasus bullying di sekolah. Beberapa sekolah mungkin belum memasukkan program anti-bullying ke dalam aturan atau kegiatan mereka, jadi usaha untuk mencegah dan menangani kasus bullying jadi kurang maksimal.

Yang terakhir, mungkin guru dan staf sekolah juga belum cukup terlatih untuk mengenali dan menangani kasus bullying. Jadi, mereka bisa kesulitan dalam menangani situasi ini dengan baik.

Baca Juga: Kesehatan Mental: Bullying Bisa Sebabkan Depresi Fatal Pada Anak

Untuk mengatasi masalah ini, penting banget bagi sekolah untuk lebih tahu tentang bullying, komunikasi yang baik dengan siswa dan orang tua, serta menerapkan aturan yang jelas dan aktif melibatkan diri dalam mencegah bullying. Pelatihan rutin untuk guru dan integrasi program anti-bullying ke dalam pelajaran bisa jadi langkah yang membantu menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman buat semua siswa, sesuai yang diamanatkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023.

Penanganan kasus perundungan memang bukanlah hal yang mudah ya. Banyak aspek yang diperhatikan dalam hal ini, karena pelaku dan korban juga tetap anak di bawah umur yang harus tetap dilindungi hak-haknya dalam mendapat pendidikan. Terbitnya Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 bisa jadi instrument yang bisa digunakan sebagai panduan. Meskipun begitu, penerapan dari aturan ini sendiri juga harus diawasi agar benar-benar terlaksana dengan baik. Harapannya, kasus-kasus seperti yang dialami Chikita Meidy tidak lagi terulang di masa depan, dan setiap anak dapat tumbuh dan belajar dalam lingkungan yang aman dan mendukung.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!