Ilustrasi tradisi Rewang

Domestikasi di Tradisi Rewang Perlihatkan Urusan Dapur yang Dilimpahkan ke Perempuan

Ini adalah refleksiku soal tradisi rewang termasuk di daerah Jawa, tempatku berasal. Bagaimana posisi perempuan yang acapkali didomestikasi. Aku membedahnya dengan konsep ilmu pengetahuan yang masih terus relevan sampai kini. Yuk, simak!

Transformasi pergeseran zaman tidak hanya mengubah sistem secara sederhana. Melainkan, memunculkan banyak kompleksitas sekumpulan individu. 

Subjek dari dampak transformasi tersebut adalah masyarakat. Sebagai produksi negara, masyarakat serta seluruh tatanan simbolik terperangkap dalam beberapa situasi tertentu yang disebut kesepakatan dan bersifat arbitrer (manasuka). 

Tradisi adalah wujud dari kesepakatan simbolik dari perjalanan historis. Ia tetap dilestarikan dan dilanggengkan karena beberapa alasan tertentu. Masing-masing daerah di Indonesia sangat kaya akan tradisi. Keberadaannya pun dikaitkan dengan latar belakang historis, tujuan hingga dampak pelanggaran. 

Beberapa tradisi tersebut, menunjukkan peran perempuan yang sangat dominan. Salah satunya adalah tradisi rewang yang masih banyak ditemui di Indonesia seperti daerah Jawa. 

Tradisi ini menjadi tradisi lama yang masih lestari hingga sekarang. Wujudnya dengan saling membantu dan gotong royong untuk membantu tetangga yang sedang memiliki hajat atau acara. 

Rewang ini memang tidak hanya dilakukan oleh perempuan. Namun, persentase jumlah antara perewang laki-laki dan perempuan dalam sebuah acara (masih) selalu didominasi oleh perempuan. 

Ini dikarenakan, tenaga perempuan “banyak dibutuhkan” dalam acara tersebut. Sebut saja pekerjaan dapur, seperti memasak berbagai macam jamuan untuk tamu dan perewang sendiri. Pekerjaan-pekerjaan domestik itu, seolah selalu saja diarahkan langsung kepada perempuan. 

Menelaah Tradisi Rewang di Era Kini

Anggapan paradigma ini, sebagai wujud adanya hirarki antara base structure dan superstructure. Dua unsur struktural tersebut menjadi perdebatan yang menarik dalam kajian Fredric Jameson.

Fredric Jameson banyak mengungkapkan gagasannya tentang unsur totalitas, yang mana elemen superstructure secara keseluruhan ditentukan dari elemen base structure

Berkaitan dengan tradisi rewang di era modern, Jameson menyumbangkan gagasannya dalam menelaah. Bahwa tradisi rewang sebagai base structure dan upaya melanggengkan tradisi adalah bagian dari superstructure yang terus berubah atau dinamis. 

Pendeklarasian tersebut tidak mengesampingkan fakta bahwa keberadaan dasar fundamental tradisi rewang didorong karena kekayaan historis dan adat istiadat. Hal itu membatasi perubahan atau pergeseran fungsi tradisi meskipun di era modern. 

Elemen superstructure yang dalam hal ini diduduki oleh proses pelanggengan dan pembiasaan implikasi tradisi itu sendiri, yang menyerang perempuan sebagai subjek tertindas. Perempuan banyak disibukkan dengan pekerjaan yang berbau dapur dan pekerjaan kasar lainnya di era modern seperti saat ini.

Penggambaran tersebut diwakilkan oleh tradisi budaya Jawa. Rewang yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Budaya rewang memberikan dampak tertentu pada sebuah pelanggaran jika tidak ditaati oleh sekelompok masyarakat tertentu. 

Sanksi yang diperoleh adalah celaan sosial hingga menjadi beban sosial apabila individu yang tidak datang sedang memiliki acara hajatan. Kausalitas ini menjadi rantai yang terus menerus bertalian dan sulit untuk diputuskan. 

Baca Juga: ‘Percuma Sekolah Tinggi, Nanti ke Dapur Juga’: Stop Ungkapan Jadul untuk Perempuan

Superstructure yang mendukung tradisi ini karena perlambang yang dihasilkan seperti nilai saling menghargai hingga kebersamaan. Nilai-nilai tersebutlah yang mendominasi anggapan bahwa dalam era modernitas sangat memperbesar jejak-jejak kapitalis.

Jameson dalam memandang potret fenomena ini mendalami suatu bentuk gabungan faktual dari keberadaan nyata melalui proses penafsiran atau interpretasi. Penafsiran yang dilakukan harus berlandaskan dalam dominasi ideologi terkuat yang akan dimanifestasikan dengan kepercayaan masyarakat sekitar. 

Upaya untuk menggali bentuk ideologi yang berlatar pada kebudayaan harus memandang dimensi lain yang memiliki kriteria khusus. Realitas sosio-ekonomi dalam kasus tradisi rewang menjadi unsur penting, bahwasanya dari sisi sosial, rewang menjadi tradisi yang berorientasikan pada kesadaran sifat manusia sebagai zoon politicon

Pembawaan manusia untuk memerlukan manusia atau individu lain dikolaborasikan dengan sisi ekonomi. Secara pandangan ekonomi, tradisi rewang menjadi tradisi yang memanfaatkan tenaga individu lain secara sukarela.

Tentunya dengan landasan nilai kebersamaan seperti gotong royong dan saling membantu itulah yang mendukung pernyataan nilai kapitalisme dapat terekam dalam tradisi budaya rewang.

Pembentukan tradisi melalui sejarah juga berurusan dengan interpretasi atau penafsiran yang dibangun melalui nilai relatif yang cukup tinggi. Sekaligus ditilik dari relasi resiprokal yang mendukung interpretasi tentang sejarah dan muncul penasaran pada pertanyaan lainnya. 

Domestikasi dalam Tradisi Rewang

Model relasional ini tergambar di tengah-tengah budaya rewang yang menunjuk perempuan Jawa sebagai ranah lebih sempit. Domestikasi menjadi sebutan yang tepat untuk ranah perempuan Jawa. Yaitu, dalam memposisikan diri untuk berpartisipasi dalam menjaga kebudayaan ini di era modern. 

Dibalik pernyataan adanya relasional yang berkembang dalam situasi tersebut, terdapat nilai moral lain yang bisa dikonstruksikan. Ini dilakukan dengan memanfaatkan waktu penyelenggaraan tradisi sebagai ajang untuk mempererat kekeluargaan dan persaudaraan. 

Selain itu, waktu tersebut dapat menjadi alat untuk meminimalisir perbedaan. Dikarenakan dalam pandangan Fredric Jameson yang juga meminjam pandangan Sigmund Freud. Yaitu tentang ketidaksadaran menunjukkan adanya nilai kolektif yang terkembang dalam adat Jawa.

Dari beberapa paparan yang memberikan sebuah dukungan pada tradisi reang ditilik dari berbagai pandangan bahkan paradigma para ahli. Di lain pihak, tradisi ini menciptakan ruang tersendiri bagi perempuan. 

Ruang kedua menjadi sekotak tempat yang dapat dimanfaatkan oleh perempuan untuk menunjukkan partisipasinya dalam tradisi ini. Keterbatasan ruang ini merujuk pada implikasi sebuah stereotip tentang perempuan Jawa. 

Kekentalan patriarki yang langgeng di tanah Jawa sangat mendukung pandangan Jameson untuk mendobrak adanya kapitalisme dalam memanfaatkan gender tertentu. 

Baca Juga: Feminisme Berkontribusi Bongkar Sistem Patriarki Dalam Islam

Marginalisasi yang diwujudkan dengan banyaknya dominasi perempuan dalam berkecimpung pada tradisi rewang ini tidak memberikan gubahan pada dukungan ideologi feminis.

Perempuan Jawa yang telah berada di tengah lingkungan dengan tradisi ini, tidak bisa melepaskan diri dari interaksi sosial. Bahkan mereka mengonstruksi gap antara tradisi dengan dirinya. 

Fenomena tersebut karena telah munculnya sebuah pertalian yang kokoh dan dibentuk dari pengalaman historis masa lampau. Akibat dari retorika stereotip yang mendukung peranan perempuan lebih besar. Daripada laki-laki pada tradisi rewang. Ini membuat perempuan terpenjara dalam konstruksi sosial dan budaya tersebut. 

Jameson menunjukkan keprihatinan pada dimensi arche ini melalui gagasan Sigmund Freud. Gagasannya mengungkapkan adanya fase kesadaran dan ketidaksadaran. Tradisi ini memberikan dampak dalam diferensiasi level makna yang berbeda, yakni makan yang laten sekaligus makna yang termanifestasikan.

Asosiasi dari kasus tradisi rewang dengan suatu lintasan dari ketidaksadaran menuju kesadaran, adalah pergerakan dari makna laten menuju arah makna yang termanifestasikan. 

Kontrol menjadi pengawas yang sejatinya terus ada tanpa mengutamakan adanya konsep arbitrer. 

Jadi bisa dipahami bahwa konsep pergerakan makna tersebut bersifat kebalikan dan asosiasi tradisi rewang akan terus mendapat desakan dari kaum laki-laki. Yaitu, untuk menyebarkan doktrin bahwa rewang menjadi pekerjaan besar bagi perempuan. 

Alienasi (berbeda dan bersifat individual) ini masih lestari di kalangan masyarakat umum. Wujud dari asosiasi tradisi rewang di Indonesia masih diramaikan dengan konsep patriarki. 

Baca Juga: Kebijakan Gender Kita: Maju di Luar Negeri, Tapi Mundur di Dalam Negeri

Modal sosial yang erat kaitannya dengan kondisi kultur di Indonesia, khususnya di Jawa masih dipegang monopolinya oleh laki-laki. Acuan modal sosial untuk melanggengkan konsep ini berasal dari relasional kausal yang memunculkan simbiosis mutualisme dalam fase resiprokal yang bersumbu pada kepercayaan.

Dalam ideologinya, mengenai konsep kapitalis yang dikonstruksi menjadi produksi uang, Jameson juga meminjam konsep represi yang nantinya bisa digunakan untuk menganalisis kacamata tradisi rewang melalui celah-celah siluet cahayanya. 

Namun, tradisi rewang apabila dilihat dari unsur represi yang ada, tidak dapat dilepaskan secara global. Yaitu untuk menghadapi berbagai situasi atau menghadapi gejala-gejala yang akan merujuk pada sumbu utama. 

Salah satu tindakan represi dalam menilai tradisi rewang ini dengan banyak memberikan pekerjaan kepada laki-laki dalam bekerja di dapur. Namun, hasilnya akan tidak terhapus secara keseluruhan. Melainkan masih tersisa jejak-jejak yang kompleks dalam tradisi tersebut. 

Hal ini memiliki korelasi bahwa kesadaran tersebut masih belum secara totalitas bisa disajikan dalam stereotip masyarakat Jawa.

Baca Juga: 22 Desember Disebut Hari Ibu Atau Hari Gerakan Perempuan? Kepentingan Politik Ubah Maknanya

Kuatnya cerminan dari modal sosial yang membentuk sebuah jaringan sosial di atas, memenjara mobilitas perempuan untuk memilih tidak membantu dalam tradisi rewang. 

Sanksi sekaligus dampak yang akan diperoleh dapat menjadi buntut panjang dalam tatanan sosial masyarakat khas desa dari waktu ke waktu. Eratnya hubungan timbal balik ini, memungkinkan adanya paksaan yang akan membatasi pilihan manusia dalam mendukung sebuah tindakan tertentu. 

Bukan karena rasa sumbangsih melainkan akan adanya sanksi. Sehingga, individu tersebut terpaksa menjalani tradisi ini.

Tradisi ini masih memberikan beban yang berat bagi perempuan dalam mengepakkan sayapnya pada jaringan sosial bermasyarakat. Meski saat ini, kita berada dalam fase modern, tradisi tersebut tetap mendapat ruang dan masih langgeng hingga saat ini. Hal ini karena adanya konstruksi historis yang berada di belakangnya. 

Hakikat ini juga dielu-elukan sebagai wujud identitas yang berkembang dari masa ke masa. Juga waktu ke waktu sesuai dengan beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti politik, ekonomi dan sosial. 

Berdasarkan campur tangan Jameson dalam mengkritisi sebuah fenomena sosial termasuk rewang ini, terdapat segelintir orang yang mulai meninggalkan tradisi ini. Dikarenakan, alasan perubahan budaya menjadi lebih individualistik dan melanggengkan unsur kapitalis. 

Sebagai tokoh yang banyak mengkritisi konsep kapitalis mendukung adanya pergeseran tradisi rewang, apabila dilihat dari beberapa konstruksi yang berada di balik layar tradisi ini.

Mendorong Perempuan Berdaya 

Sudah seharusnya tradisi ini tidak memenjara sumbangsih perempuan dalam memilih jenis pekerjaan yang dilakukan. Kesenjangan yang terbentuk karena stereotip sudah jauh dari konsep kebebasan maupun kesetaraan.

Subalternasi yang ditunjukkan dalam tradisi ini menggiring penilaian jika perempuan tidak berhak atas pilihannya dan tidak diberikan ruang untuk menentukan pilihan.

Dari uraian diatas, dapat dideskripsikan bahwa proses analisis yang dilakukan Jameson dalam menelaah struktur gagasannya untuk menilai perkembangan tradisi rewang di Indonesia, dapat distrukturkan secara rinci. 

Tradisi rewang sebagai base structure merupakan hasil dari konstruksi superstruktur yakni sebuah upaya melestarikan budaya itu sendiri. Korelasi di antara keduanya bukanlah relasi yang bersifat deterministic sederhana. 

Adanya pergeseran atau transformasi yang mendasari relasi tersebut melalui kapitalisme maupun aspek ekonomi hingga melahirkan unsur historis. Apabila ditelaah lebih jauh, relasi yang muncul dari tradisi tidak bisa dilenyapkan dari sumbu historis masa lampau, sehingga pengaruh tersebut hadir dalam level unconsciousness. 

Kesejajaran keduanya, yakni sejarah dan tradisi rewang tetap menghadirkan perempuan sebagai subjek dominan daripada laki-laki. Subjek dominan ini mendapatkan ruang yang lebih sempit karena konstruksi yang sedemikian rupa untuk menginterpretasikan sebuah tatanan tertentu. 

Baca Juga: Komnas Perempuan: Rekrutmen Pekerja Perempuan Tak Boleh Dipangkas Karena RUU KIA

Ketegangan-ketegangan yang hadir dalam polemik tradisi, apabila dikaitkan dengan level sejarah diprediksi bisa saja melalui level yang lebih jauh dengan mendestruksi kondisi riil yang sebenarnya, dan jauh dari level otentik. 

Meskipun era modernitas telah menjadi bagian dari panggung masyarakat untuk mengaktualisasikan pengaruhnya pada jaringan sosial. Namun, tidak mengubah secara keseluruhan perubahan tradisi ini untuk mencapai sebuah kesetaraan.

Etsha Ari Kusuma Dianti

Pembaca dan penulis di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!