mental

Fatum Ade: Wahai Presiden Baru, Isu Disabilitas Mental Bukan ‘Objek Jualan Politik’

Kapan para perempuan disabilitas mental tak mengalami diskriminasi berlapis? Mereka ada yang dipasung dan diisolasi. Apakah para calon presiden akan sebatas menjadikan penyandang disabilitas sebagai objek momentum politik?

Konde.co menyajikan Edisi Khusus Akhir Tahun soal refleksi perempuan muda yang  berjudul: Ini Tahun Politik, Girls, Refleksi Perempuan Muda di Akhir Tahun 2023. Edisi ini bisa dibaca 28 Desember 2023- 1 Januari 2024

Fatum Ade (35) merasa sakit, sedih, sekaligus sangat marah ketika mengingat peristiwa setahun silam. Suaranya terdengar tercekat dan bergetar. 

Di siang bolong, perempuan yang akrab disapa Dhede itu, tiba-tiba bertemu dengan seorang perempuan yang umurnya mungkin belum genap 40 tahun. Sebut saja namanya Dasiah. Dasiah sedang dirantai di sebuah panti disabilitas mental, tepatnya di samping gedung panti yang beralaskan tanah, tanpa atap penutup. Terik matahari maupun air hujan bisa masuk begitu saja, dan membuat suasana sekitar jadi lembab. 

“Panti itu (lebih mirip) kandang kambing,” ujar Dhede ketika berbincang dengan Konde.co, Selasa (12/12/2023). 

Dasiah tampak duduk beralaskan karung goni bekas. Bentuknya tak utuh dan seperti sisa-sisa seadanya. Tangan Dasiah sedang memegang sebuah paku. Dia terus hantam-hantamkan paku itu ke rantai yang membelenggu kakinya. 

Masih dalam suasana kaget, Dhede bertanya kepada Dasiah. “Mbak, lagi apa?”

“Saya mau rantai ini lepas. Anak saya menunggu di rumah,” jawab Dasiah kepada Dhede. Perempuan itu terus saja menghentak-hentakkan paku di tangannya ke rantai. Situasi yang membuat hati Dhede begitu teriris. 

Dhede melihat, Dasiah saat itu tengah dalam kondisi menstruasi. Dasiah tak pakai pembalut, dia pun hanya pakai baju lusuh yang tampak lama tak diganti. Pun dengan pakaian dalamnya. 

“Waktu saya ngobrol sama dia, (darah) haidnya itu lagi keluar. Terus dia ambil daun kering, daun-daun apa yang bisa digapai terus ditempel di selangkangan. Nah, karena masih mengalir, karung sisa-sisa tadi ditempelin lagi,” tutur Dhede. 

Baca Juga: Pengalamanku Kunjungi Panti Rehabilitasi: Bau Pengap dan Dengar Cerita Perempuan Dirantai

Tak lama setelah itu, Dasiah pun memberi tahu Dhede kalau payudaranya terasa sakit. Ada luka yang kemungkinan akibat gatal-gatal. “Pas dia angkat (pakaiannya) ada bolong-bolong (luka) banyak tuh. Itu aku benar-benar ke-trigger,” lanjutnya. 

Di menit ini dalam wawancara dengan konde.co via daring, badan Dhede gemetaran. 

“Aku cerita kayak gini tuh, kayak masih gemetaran,” katanya.

Dhede ingin menceritakan bahwa cerita ini harus disampaikan pada orang lain karena menurutnya, ada banyak perempuan disabilitas mental yang bernasib sama dengan Dasiah. Di lokasi panti tempat Dhede berkunjung pada tahun 2022 itu pun, ada sekitar 8 perempuan yang juga dirantai. 

Jika ditanya kondisinya? Tak jauh beda. Baik itu panti yang dikelola swasta maupun pemerintah. Itulah yang membuat Dhede hingga kini terus berjuang untuk perempuan disabilitas mental bersama Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS)

Fokus advokasi PJS, salah satunya adalah deinstitusionalisasi panti disabilitas mental. Ini adalah proses mengganti ‘panti rehabilitasi’ dengan pelayanan kesehatan mental yang lebih terbuka (tidak terisolasi) bagi mereka yang didiagnosis dengan gangguan mental.  

Di samping itu, mendorong pemerintah agar menunaikan tugasnya untuk memenuhi hak perlindungan dari kekerasan dan jaminan sosial. 

Data soal jumlah panti disabilitas mental yang ada di Indonesia, Dhede bilang, memang tak ada data resmi yang dirilis pemerintah. PJS kemudian berinisiatif untuk mendata mandiri panti-panti ini. Lembaga itu baru bisa mengumpulkan sebanyak 200 panti (swasta dan pemerintah). 

“(Sepertinya) lebih dari itu. Di Jawa Tengah saja, itu yang kami tahu ada sekitar 40-an. Belum yang (provinsi) lain,” katanya. 

Ada Banyak Dasiah Yang Bersuara Dalam Senyap

Dhede yang adalah koordinator Advokasi PJS mengungkap, apa yang dialami Dasiah ini adalah realita yang banyak terjadi di panti disabilitas mental. Hanya saja, suara mereka seringkali ‘senyap atau bahkan disenyapkan’. 

Perempuan disabilitas mental ini mengalami berbagai lapis diskriminasi dan kekerasan. Bahkan itu terjadi saat para perempuan ini baru didiagnosis menyandang disabilitas mental ataupun bahkan masih adanya indikasi. 

“Mereka dimasukkan panti tanpa seizin (consent) mereka. Mereka seringnya dibawa secara paksa. Entah oleh keluarga atau pun pemerintah terkait. Bahkan, oleh pemilik (panti),” kata perempuan kelahiran Ternate itu. 

Begitu sampai di panti, mereka akan disambut situasi yang tak layak. Gedung panti yang lebih mirip ruang isolasi. Sanitasi udara dan kualitas air yang jauh dari kata sehat. Belum lagi, kerentanan atas pelecehan dan kekerasan yang minim tertangani. 

Dhede mencontohkan dari kasus yang Ia temui saat kunjungan ke panti. Dia banyak mendengar cerita para perempuan yang jadi korban tersebut. Menyesakkannya, pelakunya justru tak sedikit datang dari oknum petugas panti. 

“Ada petugas yang mengajak berhubungan seks. Kalau tidak mau, ancamannya dia akan dimasukkan ke ruang isolasi atau dipasung lagi,” cerita Dhede. 

Baca Juga: ‘Hidden Torture’ Ungkap Penyiksaan Tersembunyi di Panti Disabilitas

Hal lainnya yang membuat Dhede tak habis pikir, para perempuan di panti disabilitas mental ini juga acapkali dipaksa memasang alat kontrasepsi. Dalihnya, supaya mereka tidak mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD). 

Ini menjadi pertanyaan besar di benak Dhede. Sebab banyaknya panti ini dipisahkan dengan lawan jenis. Tembok pembatas panti pun tinggi dan ketat. Bagaimana mereka bisa mengalami kehamilan akibat kekerasan seksual? Jika tidak, kemungkinan KTD itu justru pelakunya adalah oknum petugas. 

Sedihnya, Dhede mengatakan, kasus kekerasan seksual di panti disabilitas mental ini seringnya tidak bisa diproses sampai selesai. Bukan saja kesulitan proses pelaporan yang mereka hadapi, namun juga ada relasi kuasa yang timpang. 

Jangankan untuk berjuang menuntut keadilannya, para perempuan disabilitas ini pun sering dianggap bukan subjek. Mereka dianggap tidak dapat dipercaya ketika memberikan kesaksian. 

Bukan saja kerentanan jadi korban kekerasan seksual, perempuan disabilitas mental ini, juga mengalami hari-hari yang tak mudah lainnya di panti. Ini juga yang jadi alasan kenapa Dhede bersama PJS begitu getol menyuarakan deinstitusionalisasi panti disabilitas mental. Bahwa banyak panti yang melakukan terapi yang justru menormalisasi kekerasan untuk metode “penyembuhan”. 

Terapi di panti ini bisa berupa terapi rantai tiap malam Sabtu sampai Minggu. Ada juga terapi cambuk. Pun ada pula terapi dengan cara merendamkan kepalanya ke air di sungai. Untuk yang terakhir, dalih dari pantinya ini agar perempuan disabilitas mental ini bisa terbebas dari pengaruh roh-roh jahat. 

“Pengobatannya seperti itu, mereka (pihak panti) jarang sekali menggunakan psikiater sama psikolog,” kata Dhede. 

Saatnya Serius Perhatikan Isu Disabilitas Mental 

Proses advokasi yang dijalani Dhede bersama PJS soal isu disabilitas mental ini, tidaklah sebentar. Sejak beberapa tahun lalu, mereka sudah menyuarakan situasi di panti disabilitas mental ini di kementerian dan lembaga negara. 

Hingga saat ini, sudah ada kelompok kerja (pokja) dan pedoman perlindungan penyelamatan disabilitas mental di panti tengah disusun. Meskipun dalam prosesnya, menurut Dhede, keberadaan Pokja ini masih perlu diperkuat.  

“Negara hadir, tapi memang tidak semudah itu,” katanya. 

Fatum Ade ketika orasi memperjuangkan hak disabilitas mental (Sumber: IG @marsinahdhede)

Di lingkup masyarakat dan pemerintahan, stigma terhadap disabilitas mental ini masih kental. Pun soal perspektif bahwa mereka semestinya dimasukkan ke panti, dipasung dan diisolasi, juga menjadikan advokasi deinstitusionalisasi panti disabilitas mental ini masih butuh proses panjang. 

Ini pula yang ditantang oleh Dhede kepada para calon presiden negara ini. Apakah mereka akan mampu memperhatikan serius isu disabilitas mental. Utamanya, menjamin perlindungan dari kekerasan dan melakukan deinstitusionalisasi panti disabilitas mental. 

Perempuan kelahiran tahun 1988 itu bilang, sejauh ini belum melihat adanya komitmen yang kuat dari para kandidat calon presiden dan wakil presiden soal ini. Dia juga mengecam keras jika nantinya ada capres-cawapres ataupun calon legislatif yang hanya menjadikan disabilitas mental ini sebagai ‘objek jualan’ politik. 

Objektifikasi itu bisa berbagai macam. Seperti, mendatangi kelompok disabilitas mental hanya untuk menjadikan mereka pendulang suara atau memoles citra. Parahnya lagi, jika oknum-oknum tertentu seperti panti malah “menjual suara” disabilitas mental ini. 

Dhede mengungkap, tantangan disabilitas mental sebagai subjek yang menentukan pilihannya di pemilu juga tak mudah. Bukan saja terhambat soal mendapatkan hak pilih, tapi juga akses mendapatkan informasi kampanye. 

“Sumber informasi berkaitan dengan visi misi di calon-calon itu, mereka kan gak akses. Lalu, gimana mereka bisa tahu bahwa si calon-calon itu adalah ideal?” pungkas Dhede.

(Sumber Gambar: Instagram @marsinahdhede)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!