Objektifikasi perempuan di medsos

Menikah Lagi Dianggap Salah, Menolak Lamaran Juga Salah: Perempuan Diobjektifikasi di Medsos

Objektifikasi perempuan terjadi di media sosial. Contohnya, artis Bunga Citra Lestari dianggap salah ketika menikah lagi, tapi hujatan tidak terjadi pada laki-laki. Ini adalah ‘produk’ konstruksi bias gender, dan kita tidak boleh mendiamkannya.

Kamu pernah berada dalam situasi ini? Kamu sedang menelusuri linimasa media sosial (medsos), lalu menemukan sebuah video. 

Isi video tersebut, ada seorang laki-laki yang sedang melamar pasangan perempuannya di tempat umum dan disaksikan ratusan orang, namun perempuan dalam video itu menolak lamaran laki-laki pacarnya itu. 

Tapi yang kemudian terjadi, warganet menghujat perempuan tersebut, mengatainya ‘tidak tahu terima kasih’, ‘sok jual mahal’, atau ‘tidak kasihan pada pasangannya’. Ini adalah salah satu contoh objektifikasi perempuan yang kerap terjadi di media sosial.

Ya, semua itu tidak terjadi dalam kepalamu saja. Hal ini sungguh terjadi. Nyatanya, perempuan masih sering dijadikan sebagai objek konten bermedia sosial, sering kali tanpa ditanya dan tanpa izin (consent). Tentu bentuknya tidak selalu berupa video lamaran di ruang publik yang viral. Salah satu contoh kasus terbaru adalah kejadian yang dialami penyanyi Feby Putri baru-baru ini.

Pada 27 November 2023, ibu dari Feby Putri meninggal dunia. Di tengah duka yang dirasakannya sebagai anak, Feby terusik oleh kehadiran seorang laki-laki yang merekam momen pemakaman ibunya di rumah duka untuk dijadikan konten vlog. Konon, orang itu adalah penggemar Feby. Selain menambahkan voiceover, laki-laki bernama AE itu juga mengunggah videonya di media sosial hingga masuk For You Page (FYP). 

Bahkan, menurut keterangan Feby Putri, pelaku memaksa berfoto dengannya saat mereka masih berduka. Semua itu dilakukan tanpa izin, sehingga Feby mengungkapkan kemarahannya melalui akun Instagram pribadinya.

Baca Juga: Objektifikasi Perempuan di Medsos: Kekeliruan Personal atau Konstruksi Budaya?

Contoh lainnya adalah pernikahan artis Bunga Citra Lestari (BCL) dengan Tiko Arya Wardhana. Video dan foto dari momen bahagia itu menyebar di medsos. Meski banyak warganet yang turut berbahagia, tidak sedikit yang menyesalkan dan tidak rela atas keputusan BCL untuk menikah lagi usai suami terdahulunya, Ashraf Sinclair, meninggal akibat serangan jantung pada Februari 2020 silam. 

Perempuan memang kerap disalahkan gara-gara memilih untuk menikah lagi, sementara laki-laki yang menikah lagi tidak mendapat perlakuan serupa.

Lagi-lagi, perempuan menjadi objek konstruksi gender masyarakat, dan kondisi ini makin buruk dengan munculnya konten-konten di internet. Waktu berjalan, tapi objektifikasi perempuan tak pernah berhenti. Kenapa demikian?

Objektifikasi Perempuan di Internet

Ada berbagai bentuk objektifikasi perempuan di internet dan medsos. Ini sebetulnya cuma kelanjutan dari kecenderungan masyarakat menjadikan perempuan sebagai objek di dunia nyata. Misalnya penggunaan gambar atau video perempuan yang menekankan pada aspek-aspek fisik atau seksualitas mereka tanpa mempertimbangkan kepribadian, kecerdasan, atau prestasi lainnya.

Juga pemberian label atau komentar yang bersifat seksual terhadap perempuan di media sosial. Hal ini bisa termasuk komentar yang merendahkan perempuan berdasarkan penampilan mereka.

Perempuan juga sering kali menjadi korban perundungan dan pelecehan online di media sosial. Apa lagi ketika perempuan menjadi objek konten tanpa persetujuan, identitas mereka direduksi hanya menjadi objek konsumsi atau hiburan. Ini dapat memicu penghinaan, komentar negatif, dan pelecehan online.

Perempuan yang menjadi korban penyebaran konten tanpa persetujuan dapat mengalami dampak psikologis yang serius. Seperti stres, kecemasan, dan depresi. Hal ini dapat mempengaruhi kesejahteraan mental dan emosional mereka.

Tindakan penyebaran konten tanpa persetujuan juga memperkuat budaya yang tidak aman di media sosial. Alhasil, individu perempuan jadi tidak merasa aman atau dihormati secara online.

‘Dosa’ Perempuan dalam Konstruksi Bias Gender

Menurut Shelly Adelina, dosen program studi Kajian Gender Universitas Indonesia, objektifikasi perempuan melalui konten media sosial adalah dampak dari konstruksi bias gender yang selama ini terbentuk di tengah masyarakat.

“Itu sangat mengobjekkan. Itulah, cara pandang masyarakat kita yang bias. Memang begitu,” ujar Shelly kepada Konde.co, Kamis (7/12/2023). “Kalau ada apa-apa mudah sekali menghakimi perempuan.”

“Karena kan di dalam benak masyarakat yang dikonstruksi seperti itu. Dikonstruksi bias gender seperti sekarang ini, kan,” jelasnya. “Dari awal kan, memang perempuan (dianggap) adalah makhluk yang membawa dosa. Jadi nilai negatif itu memang lebih banyak pada perempuan.”

Lanjut Shelly, hal yang terjadi dalam masyarakat tersebut adalah implikasi dari konstruksi bias gender yang bias itu. Dalam konstruksi masyarakat yang bias gender, perempuan berada pada posisi subordinat di bawah laki-laki. Alhasil, perempuan kerap menjadi objek dan hal-hal yang dilakukannya selalu dianggap salah. Di sisi lain, perilaku laki-laki sering diwajarkan dan dianggap lumrah karena posisinya superordinat dalam konstruksi tersebut.

Baca Juga: ‘Inem Pelayan Seksi’: Film tentang Objektifikasi PRT

“Kalau posisinya subordinat, ya, dia memang akan selalu menanggung segala kesalahan, kan. Disalahkan ke dia, dihukum ke dia, di-bully dia, gitu,” kata Shelly. “Nah, itulah yang namanya bentuk ketidakadilan gender yang kita sudah pelajari. Sudahlah subordinat, dia marginal, dipinggirkan, dia menjadi korban stereotipe, gitu-gitu. Akhirnya jadi korban kekerasan.”

Ia mencontohkan bagaimana pemimpin perempuan lebih cenderung diserang atas kesalahannya ketimbang laki-laki di media sosial. Misalnya, ketika korupsi dilakukan oleh pemimpin perempuan, masyarakat menghujatnya habis-habisan. Padahal di luar itu, ada banyak sekali pemimpin laki-laki yang juga korupsi dan tidak dihantam sekeras pemimpin perempuan atas kesalahannya.

“Kalau dia subordinat, biasanya dia rentan untuk di objekkan. Dalam segala situasi, dalam segala aspek gitu ya,” Shelly meneruskan. “Sampai di berita-berita, baik berita serius maupun berita hiburan, perempuan diobjekkan. Itu tantangannya, gimana kita membalik itu? Untuk… Justru dia bukan objek, lho. Dia adalah subjek yang juga punya akal budi. Dia juga punya agency sebagai perempuan. Bukan korban aja, gitu kan.”

“Itu yang nggak pernah tampil, tuh. Apalagi medsos liar banget, kan. Medsos tuh kalau komen, liar banget.”

Melawan Bias Gender di Internet

Konstruksi bias gender muncul di tengah masyarakat, termasuk warganet pengguna media sosial. Oleh karena itu, ia harus direkonstruksi agar perempuan tidak lagi menjadi objek bulan-bulanan dalam konten media sosial.

Shelly menilai, bias gender di tengah masyarakat dan warganet terjadi karena budaya turun-temurun dan ketidaktahuan. Sosialisasi kesetaraan dan keadilan gender dengan bahasa yang ‘dekat’ menjadi penting untuk dilakukan. Hal itu sekaligus menjadi tantangan.

“Persoalannya kan sekarang bagaimana caranya masyarakat itu bisa berubah, cara pandangnya, cara pikirnya?” katanya. “Berarti kita kan harus merekonstruksi, membongkar dan membangun ulang. Merekonstruksi cara pandang yang bias seperti itu. Kelemahan kita—betul itu salah, betul. Tetapi kan, kita nggak bisa menyalahkan begitu saja, karena mereka memang hidup di tengah masyarakat yang konstruksinya demikian.”

Ia melanjutkan, “Pertama, tantangannya itu memang masyarakat hidup dalam konstruksi. Kemudian bagaimana merekonstruksinya? Dan siapa-siapa yang berperan untuk merekonstruksi dan mensosialisasikan nilai-nilai? Kita sebagai bagian terkecil harus melakukan apa? Sekecil apapun harus dilawan, memang.”

Pada dasarnya, manusia terus belajar. Meski bias gender tentu masih akan hadir, tapi dengan pendekatan yang tepat, kita bisa mulai mengurangi intensitasnya di tengah masyarakat dan menggantikannya dengan nilai-nilai adil gender. Menurut Shelly, itulah alasan perlu ada perlawanan dari perempuan dan para feminis di internet. Perempuan mesti berstrategi untuk merekonstruksi dan membalikkan keadaan secara efektif.

“Feminis punya slogan, kita harus bicara. Diam itu tidak akan menyelamatkan kamu. Nggak ada tuh istilah, ‘diam itu emas’ bagi kita. Nggak boleh,” tegas Shelly.

Baca Juga: Apa Sih Makna dari ‘Male Gaze’ dan ‘Female Gaze’ pada Media Visual?

Lanjutnya, mengutip feminis multikultural Audre Lorde, perempuan sudah berabad-abad tertindas. Maka diam bukan solusi dan malah memperburuk situasi. Di sisi lain, untuk melawan dan mengimbangi konten-konten objektifikasi perempuan di internet, strategi yang tepat juga harus hadir.

“Mekanismenya semua supaya kita efektif, gitu kan. Nggak kontraproduktif,” kata Shelly.

Sementara itu, Shelly juga meminta kepada warganet, khususnya sesama perempuan, untuk coba menempatkan diri di posisi perempuan yang mengalami objektifikasi di internet.

“Coba menempatkan diri kita sebagai orang yang menjadi korban itu. Coba tempatkan,” ujarnya. “Atau, kalau anak perempuan kita gimana? Jadi selalu diajak untuk berefleksi. Seandainya itu terjadi pada kita, apa yang ada dalam pikiran dan perasaan kita? Dia akan mengatakan hal yang sama, nggak? Seperti mengatakan terhadap orang itu, yang diobjekkan itu.”

Shelly menyatakan bahwa diam bagi perempuan itu tidak akan menyelesaikan masalah.

“Memang apa yang diperjuangkan feminis, yang mengatakan ‘diam itu tidak akan menyelesaikan masalah’. Saya sih yakin itu. Saatnya kita berbicara sekecil apa pun,” pungkas Shelly.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!