Nakes membuat konten medsos yang tidak etis

Nakes Bikin Konten Kurang Sensitif di Sosmed, Kita Bisa Apa?

Berseliweran dapat kita temui tenaga kesehatan (Nakes) yang bikin konten di sosial media. Niatnya buat hiburan atau edukasi, tapi malah seringnya bias dan kurang sensitif. Jika begini, apa yang bisa kita lakukan?

Belum lama ini, grup obrolan pertemanan di aplikasi Whatsapp-ku ramai sama pembahasan tenaga kesehatan (nakes) yang kontennya kurang sensitif. 

Ini bukan kali ini saja terjadi, usai ditelusuri ternyata Ia lumayan sering membuat konten sejenis. 

Kami membahas salah satunya dokter kebidanan dan kandungan (obgyn) berinisial A. Ia tak jarang mengekspos cerita-cerita pasiennya secara detail, meskipun tak menyebutkan nama. Di beberapa videonya, dia juga menunjukkan momen saat dirinya berbincang dengan pasien. Walaupun tak langsung menyorot ke wajah pasien. 

Pada video monolog terbarunya, dia menceritakan soal pasien perempuan, disebutkan usia 19 tahun, yang mengalami Kehamilan Ektopik Terganggu (KET). 

Soal penyebab dan risiko akibat KET ini memang bisa mengedukasi publik, tapi ada perkataannya yang beberapa menyebut soal “tanggung jawab” perempuan untuk menjaga kepercayaan orang tuanya (untuk tidak berhubungan seksual di luar nikah–red). 

“Jauh-jauh disekolahkan ortu dari suatu daerah di X (redaksi samarkan), punya pacar dan melakukan aktivitas seksual. Kehamilan di luar nikah, lebih sedihnya KET,” katanya. 

Sebaliknya, tak ada pernyataan untuk para laki-laki ataupun orang tua untuk mengedukasi anak laki-lakinya soal hubungan seksual berisiko. Bukankah ini, timpang? 

Penyederhanaan persoalan kehamilan tidak diinginkan (KTD) hingga mengancam nyawa, sebatas “salah” perempuan: kenapa tak menjaga diri? Tentu menyakitkan. 

Kita jangan lupakan, ada potensi ketimpangan relasi kuasa dalam hubungan. Dampaknya, kekerasan dalam pacaran (KDP) termasuk kekerasan seksual bisa saja terjadi. Ingat, Data Pengaduan ke Komnas Perempuan pada CATAHU 2023, KDP ini menjadi kasus kekerasan di ranah personal yang paling tinggi kedua setelah KDRT. 

Hal-hal seperti inilah, yang semestinya juga bisa ditelusuri dan dikenali dalam pelayanan hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) terhadap perempuan. 

Konten Melecehkan hingga Nirempati

Beberapa tahun ini, pemberitaan soal nakes yang viral akibat kontennya yang kontroversial banyak kita bisa temui. Publik ramai memperbincangkan karena konten-konten mereka yang dinilai melecehkan gender tertentu sampai tidak punya empati terhadap pasien (nirempati). 

Dokter obgyn Kevin Samuel Marpaung misalnya. Dia membuat video reaksi ketika dirinya sedang memeriksa pasiennya yang sedang pembukaan persalinan. Ia menunjukkan ekspresi tatapan tajam ‘mesum’, mengerutkan alis, dan menggigit bibirnya. Lalu, Ia membubuhi caption ‘awkward moment’. 

Ada lagi, mahasiswi keperawatan di Yogyakarta yang sempat pula viral di sosmed. Dia mengunggah konten video soal pengalamannya memasang kateter urine kepada pasiennya yang diberi caption ‘pria cakep’. Lalu dibubuhi emoji api. 

Kedua konten tersebut viral dan “dirujak warganet”, karena dinilai melanggar etik dan termasuk bentuk pelecehan. 

Contoh lainnya, konten yang dinilai nir empati terhadap pasien. Pernah ramai youtuber Jerome Polin bersama kedua temannya yang adalah dokter co-ass, Farhan Firmansyah dan Ekida Firmansyah. 

Berlatarkan mudik “OMG” dari New Jeans, ketiganya berjoget dengan atribut jas dokter dengan mengalungkan stetoskop. Caption video itu dinilai kurang empati terhadap keluarga pasien karena menuliskan “Mohon maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin.” 

Sebagaimana kita tahu, kalimat itu umumnya diucapkan dokter kepada pihak keluarga ketika tidak berhasil menyelamatkan nyawa pasien. Namun mereka malah menggunakannya sebagai guyonan. 

Jika kamu ketikkan tagar #nakes #bidan #perawat, kamu bisa menjumpai konten-konten nakes lainnya, ada yang kurang sensitif lainnya. Termasuk, soal hak privasi pasien. 

Beberapa contoh misalnya, akun @umminoerr yang seorang bidan di Deli Serdang, dia merekam bayi-bayi baru lahir tanpa sensor di ruang perawatan khusus. Ada juga akun @serdadumaroon yang mengunggah video para perawat yang sedang berjoget-joget di tengah pasien yang sedang cuci darah.    

Nakes Punya Kode Etik 

Dalam menjalankan profesinya, nakes terikat oleh kode etiknya. Termasuk, kaitannya dalam pembuatan konten di media sosial. Maka, tidak bisa sembarangan. 

Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang ditetapkan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI (MKEK IDI), setidaknya ada dua pasal yang secara terang menjelaskan soal privasi pasien. Nakes wajib untuk melindunginya. 

Pasal 10 menyebut, dokter (nakes) wajib menghormati hak-hak pasien. Juga teman sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya. Serta wajib menjaga kepercayaan pasien. 

Selain itu, ada pasal 16, dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien. Bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. 

Dokter Devia Irine Putri pernah mengatakan di klikdokter , nakes memang tidak boleh menyebarkan informasi yang berkaitan dengan pasien tanpa persetujuan pasien itu. Bahkan, jika itu untuk kepentingan studi apalagi konten sosmed.

Maka dari itu, nakes tak bisa asal jadikan konten soal pasien. Meski tidak menyebutkan nama ataupun foto wajahnya. Nakes tak bisa asal menceritakan tentang pasiennya. Termasuk soal penyakitnya bahkan sampai menyinggung persoalan personalnya. 

“Hubungan dokter dengan pasien harus profesional. Kalau dokter sembarangan menyebarluaskan informasi atau rahasia pasien, pasti akan menimbulkan stigma pada pasien tersebut. Terutama bila berhubungan dengan penyakit kejiwaan dan infeksi seksual,” ujar Dokter Devia. 

Baca Juga: Menikah Lagi Dianggap Salah, Menolak Lamaran Juga Salah: Perempuan Diobjektifikasi di Medsos

Maka dari itu, dia menyarankan, agar nakes tak mengabaikan consent dan izin dari pasien. Termasuk dalam hal pembuatan konten. 

Jika dalam studi saja harus ada etikanya. Seperti, perlu tanya ke pasien, apa boleh kondisi atau kasus kesehatannya dijadikan studi dan diskusi dengan sesama rekan dokter? Jika boleh, maka identitas pasien akan disamarkan. Juga fotonya akan diburamkan. 

Apalagi, jika untuk diunggah di sosmed. Tentu, nakes perlu juga memikirkan mitigasi soal dampak dan resikonya juga, kan? Sebab ada dampak yang akan timbul jika hak privasi pasien itu dilanggar. 

Menurut Dokter Devia, saat dokter atau nakes melanggar secara sengaja atau tidak sengaja soal penyebaran informasi pasien, maka ada konsekuensinya. Mulai dari etik, disiplin, sampai hukuman. Terlebih, jika dilakukan tanpa sepengetahuan pasien. 

“Dokter hanya boleh memberikan informasi tentang pasien kepada pasien itu sendiri atau orang lain yang diizinkan, seperti pasangan (suami atau istri), orang tua, dan anak untuk mengetahui kondisinya,” ujarnya. 

Baca Juga: Detoks Medsos Bikin Hidup Tenang? Ini Kata Riset

Lalu, apa yang bisa kita lakukan jika ada nakes yang membuat konten dengan melanggar etik tersebut? 

Kita bisa mengadukan nakes itu ke MKEK. Mereka menerima pengaduan, kemudian melakukan penelaahan, persidangan sampai putusan. Putusan MKEK ini, bisa menetapkan bersalah atau tidak bersalah pada nakes (dokter) yang diadukan. Apa dia melanggar butir sumpah dokter, pasal-pasal kode etik kedokteran atau fatwa etik kedokteran. 

Menurut Pasal 29 (1) Pedoman MKEK 2018, ada empat kategori sanksi. Mulai dari pembinaan, penginsafan tanpa pemberhentian keanggotaan, penginsafan dengan pemberhentian anggota sementara, sampai pemberhentian anggota tetap.  

Di samping itu, fitur sosmed juga memberikan kita layanan untuk melakukan report/pengaduan. Jika memang konten sosmed itu bisa menimbulkan misinformasi, bias, pelecehan, dan hal berbahaya lainnya bisa dilaporkan. 

Kita juga bisa terlibat aktif di sirkelmu buat edukasi soal konten-konten yang lebih ramah terhadap gender. Serta kritis menyikapi maraknya konten yang bias dan kurang sensitif. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!