Perempuan di Jabodetabek mengalami kekerasan seksual berbasis elektronik

Perempuan di Jabodetabek Paling Banyak Jadi Korban Penyebaran Foto Bernuansa Seksual

Catatan Tahunan (Catahu) LBH Apik Jakarta tahun 2023 melaporkan, total ada 1.141 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan di Jabodetabek. Sebanyak 250 kasus dari 497 pengaduan dari klasifikasi kasus kekerasan seksual terbanyak adalah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE).

Di era serba online, kekerasan terhadap perempuan kini bisa mengancam dari genggaman tangan. Hal ini disebut kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) termasuk yang belakangan banyak terjadi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). 

Laporan Tahunan LBH Apik Jakarta tahun 2023 mengonfirmasi hal itu. Dua kasus KSBE yang paling marak ditemukan adalah ancaman penyebaran gambar/foto bernuansa seksual (111 kasus) dan penyebaran konten intim tanpa konsensual (77 kasus). 

KSBE mendominasi sebanyak 250 kasus dari total 497 pengaduan dari klasifikasi kasus kekerasan seksual. Masih dalam pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan (Ktp) dengan total 901 kasus (79%), ada pula kasus KDRT (201 kasus), Kekerasan dalam Pacaran (141 kasus) dan Kekerasan Berbasis Gender Online/KBGO (63 kasus). 

Sementara, pengaduan kasus non-KtP sebanyak 240 kasus (21%) mencakup beberapa hal. Mulai dari perdata keluarga (60 kasus), tindak pidana umum (47 kasus), hak anak (44 kasus), kasus di Luar Kategori APIK (41 kasus), kasus dari komunitas paralegal (26 kasus) dan ketenagakerjaan (22 kasus).

Perlu diketahui, LBH APIK Jakarta memisahkan data kasus KSBE dan KBGO. Kasus KSBE sendiri adalah segala bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sementara kasus KBGO adalah kekerasan yang berniat atau bermaksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual dengan menggunakan teknologi.

“Sejak adanya UU TPKS ada pengaturan tentang KSBE. Tapi memang di KSBE itu hanya mengatur tiga bentuk. Ada kasus kekerasan berbasis gender online yang tidak diakomodir oleh pasal UU TPKS, kita masih menggunakan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik),”ujar Tuani saat dihubungi Konde.co pada Rabu (20/12/2023).

Baca Juga: 25 Penyintas Kekerasan Seksual Tuntut Keadilan di Panggung Perempuan Merdeka 2023

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, angka kasus kekerasan terhadap perempuan memang mengalami penurunan. Pada tahun 2022, terdapat 1.512 aduan yang masuk ke LBH APIK Jakarta. Sementara pada tahun 2021, angkanya mencapai 1.321 aduan kasus.

“Terdapatnya penurunan ini bukan berarti kasus kekerasan itu makin menurun, tidak, Tapi ada perubahan memang waktu 2022 dan 2021 terdapat kenaikan itu karena situasi pandemi yang berdampak pada kekerasan rumah tangga,” ujar Tuani Sondang, Koordinator Bidang Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta dalam acara yang dihadiri Konde.co, pada Jumat (8/12).

Peluncuran Laporan Akhir Tahun LBH APIK Jakarta 2023 ini dilaksanakan pada Jumat (8/12/2023) di Ballroom Hotel Akmani, Menteng, Jakarta Pusat. Tema acara peluncuran kali ini yaitu “Implementasi Penanganan Kasus Perempuan belum Komprehensif Ditengah Aturan Hukum yang Progresif”.

Acara ini turut mengundang penanggap diantaranya AKBP Ema Rahmawati dari Polri, Dr. Livia I. DF Iskandar dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Theresia Sri Endras Iswarini dari Komnas Perempuan, dan Asfinawati dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera.

Penanganan Kasus KSBE

Kasus KSBE atau KBGO memang masih sering menimbulkan secondary trauma bagi korban. Tak mudah bagi korban untuk melaporkan kejadian yang menimpanya. Ia harus berhadapan dengan stigma masyarakat, ancaman dari pelaku, bercerita tentang pengalamannya terus menerus, serta disudutkan oleh aparat penegak hukum.

Bentuk KSBE ada bermacam-macam yaitu ancaman penyebaran konten bernuansa seksual, penyebaran konten intim tanpa persetujuan, merekam sesuatu yang bernuansa seksual tanpa izin, perusakan reputasi, menguntit secara online, dan mengambil alih akun untuk menguasai konten bermuatan seksual.

Dari jumlah kasus yang ada menunjukkan bahwa KSBE semakin marak terjadi, khususnya di Jabodetabek. Sayangnya, upaya penanganan kasus KSBE masih menuai banyak hambatan. Belum lagi sikap aparat yang cenderung menyalahkan korban dan mekanisme pelaporannya yang berbelit-belit.

Alih-alih melindungi korban, aparat justru menghadapkan dengan UU ITE dan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Hal inilah yang membuat korban KBGO enggan menempuh jalur hukum. Ibarat pepatah, “sudah jatuh tertimpa tangga pula”.

Apabila ingin menggunakan UU ITE, korban KSBE atau KBGO pun akan mengalami beberapa kesulitan. Aparat akan selalu meminta korban menghadirkan dua saksi pelapor. 

“Belum lagi persoalan pelaku yang sulit ditemukan, penyebaran konten seksual yang sulit dihapus, serta alat digital forensik yang hanya tersedia di Polda Metro Jaya dan Markas Besar Polri,” terang Tuani. 

Tak hanya itu, UU ITE juga bisa diumpamakan sebagai ‘dua sisi mata uang’. Di satu sisi bisa menjerat pelaku penyebaran konten seksual. Di sisi lain, aturan tersebut juga bisa menjerat korban lantaran dianggap berkontribusi membuat informasi elektronik dan/atau dokumen melanggar kesusilaan tersebar.

“Ketika bentuk-bentuk KBGO itu tidak diatur di UU TPKS, kita masih menggunakan UU ITE. Namun, lagi-lagi prosesnya pasti panjang dan pembuktiannya pasti sulit,”tambahnya.

Kendala Lembaga Penegak Hukum

Selama menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, tak jarang LBH APIK Jakarta menghadapi sejumlah hambatan. Korban masih rentan disudutkan dan disalahkan oleh kepolisian, terlebih jika kasusnya menyangkut konten seksual secara online. 

Tak hanya itu, kendala lainnya dalam menangani kasus kekerasan gender berbasis online itu adalah UU ITE yang tak bisa digunakan. Alasannya yaitu harus ada dua saksi pelapor, pelaku yang sulit ditemukan, konten seksual sulit dihapus, serta alat digital forensik yang hanya tersedia di Polda Metro Jaya dan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri).

Korban harus melewati mekanisme pelaporan yang berbelit. Tak jarang kasusnya pun diberhentikan karena bukti yang kurang. Belum lagi jika bicara tentang sumber daya manusia (SDM) di kepolisian sektor (Polsek) yang kurang. Hal ini juga menjadi penghambat korban mendapatkan keadilan.

AKBP Ema Rahmawati dari Polri mengakui bahwa tidak semua peraturan bisa dipahami oleh Lembaga Penegak Hukum, baik kepolisian maupun kejaksaan. Bahkan penyidik di tingkat Mabes, kepolisian resor (Polres), dan Polsek yang berhadapan langsung dengan pelaporan pun belum semua tersosialisasi terkait kekerasan seksual.

“Ada yang sudah dilakukan pelatihan, tetapi kemudian tidak berapa lama dia pindah tugas karena kebutuhan struktur atau organisasi atau akan naik pangkat, kebutuhan dia harus sekolah. Padahal dia sudah terlatih,”ujar Ema.

Untuk menggantikan posisi tersebut, aparat yang baru pun muncul. Sayangnya, mereka tak segera mendapatkan sosialisasi atau pelatihan tentang kekerasan seksual. Sementara pelaporan dari korban terus masuk.

Baca Juga: Belanja di Give Back Sale: Upaya Bantu Perempuan Korban Lewat Thrifting

Oleh karena itu, LBH APIK Jakarta mencoba memberikan rekomendasi kepada lembaga penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. 

Beberapa rekomendasi yang diberikan untuk Kepolisian Republik Indonesia. Pertama, membuat peraturan kepolisian tentang penanganan perempuan berhadapan dengan hukum untuk mengisi kekosongan hukum penanganan di tingkat pengaduan/pelaporan, penyelidikan, dan penyidikan. Aturan ini juga harus mempertimbangkan kebutuhan dan hak perempuan yang berperspektif gender.

Kedua, melakukan sosialisasi, pendidikan, dan pelatihan perspektif gender dan HAM kepada penyidik dan petugas agar memiliki keterampilan menangani TPKS.

Pada akhirnya, LBH APIK Jakarta terus berupaya agar korban KSBE mendapatkan keadilan dan dilindungi oleh undang-undang. Selama ini, pihaknya selalu menambahkan juncto UU TPKS saat melaporkan kasus KSBE dengan UU ITE. Hal ini dilakukan untuk melindungi korban, mengingat sidang UU ITE biasanya dilakukan secara terbuka.

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!