Pada Aksi Kamisan ke-847 (16/1/2025) di Jakarta, seorang perempuan muda berdiri di hadapan massa. Wajahnya yang terbingkai kacamata tak hanya menampilkan keberanian, tetapi juga kemiripan dengan ilustrasi wajah yang tergambar pada kaos hitam yang dikenakannya: Munir Said Thalib. Dalam peringatan Aksi Kamisan ke-18 tahun itu, Diva Suukyi Larasati, anak perempuan Munir, menggugat kejelasan penuntasan kasus pembunuhan sang Abah dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya dari pemerintah
Diva menyebut, hingga tahun 2025 ini, tidak ada kemajuan sama sekali atas kasus kematian Munir. Pun tidak dengan kasus Peristiwa Tanjung Priok, pembunuhan Marsinah, dan sebagainya, meski telah puluhan tahun berlalu. Di sisi lain, pemerintah selalu mengobral janji penuntasan kasus-kasus tersebut.
Baca Juga: ‘September Hitam’, Cerita Diva Suukyi dan Para Korban: Kami Menunggu Usut Tuntas Kasus Pelanggaran HAM
“Sekarang apakah ada hasil, teman-teman?” tanya Diva kepada para peserta Aksi Kamisan.
“Tidak!” kompak mereka menyahut lantang.
“Apakah yang dia janjikan, dari pemerintah juga, apakah terjadi janji tersebut? Dituntaskankah?”
“Tidak!”
Diva melanjutkan, “Presiden silih berganti, berjanji kepada kami untuk menuntaskan kasus Munir, Tanjung Priok, Kanjuruhan, Marsinah, dan banyak kasus lain yang tidak dilakukan sampai sekarang. Mereka ingin kita lupa dengan isu-isu ini. Sekarang bagaimana gampangnya isu kita—-dilupakan, memori kita.”
Keberanian Diva menegaskan pengusutan tuntas kasus Munir di Aksi Kamisan tentu bukan semata-mata karena itu tentang sang ayah. Aktivis Munir Said Thalib adalah salah satu sosok yang identik dengan kata ‘berani’ dan ‘adil’. Kasus kematiannya juga menjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang masih mengambang kejelasannya. Kemudian, pemerintah Indonesia silih berganti berusaha membuat kita lupa. Bersama dengan itu, perjalanan menegakkan demokrasi pun masih panjang untuk ditempuh.
Baca Juga: Buku ‘Mencintai Munir’: Melihat Rekam Jejak Hidup Suciwati Bersama Munir
Nama Munir barangkali sudah tidak asing lagi terdengar di Indonesia. Akrab disapa sebagai Cak Munir, ia adalah seorang aktivis HAM kelahiran Malang, 8 Desember 1965. Pada 7 September 2004, ia tewas diracun dalam perjalanannya untuk menempuh pendidikan lanjut di Amsterdam, Belanda. Namanya melambung tinggi di tengah polemik anti kritik era Orde Baru dan setelahnya. Munir dikenal berani menyuarakan pendapat, terlebih tentang peradilan atas pelanggaran HAM di berbagai wilayah Indonesia. Seperti di Tanjung Priok, Semanggi, Aceh, Timor Timur dan lainnya. Keberanian itu pulalah yang membuatnya dibungkam oleh pemerintah sendiri.
Tahun 2024 silam menandai 20 tahun kejadian kasus yang menimpa Munir. Selama itu, kasus tersebut tak kunjung ditindaklanjuti oleh pemerintah dan para pelaku belum mendapatkan sanksi yang sepantasnya. Sebagai bentuk perlawanan dan mengenang namanya, sejumlah film-film dokumenter mulai bangkit untuk menyuarakan kasus Munir. Dua di antaranya, karya advokasi Watchdoc Documentary tahun 2009 berjudul Kiri Hijau Kanan Merah dan film dokumenter biografi produksi AlienS film yang berjudul Cerita Tentang Cak Munir.
Cahaya di Ruang Kecil Bangka Belitung

Pada 13 September 2024 lalu, cahaya-cahaya kecil dari perjuangan dan keberanian Munir menyala pada sejumlah orang muda di Bangka Belitung. Akses informasi yang semakin maju membuat orang-orang mengenal sosok Cak Munir. Pegiat HAM satu ini memberikan inspirasi bagi anak muda untuk terus melawan ketidakadilan di negara ini.
Para mahasiswa dari LPM Alternatif Universitas Bangka Belitung (UBB) dan LPM Pramoedya Institut Pahlawan 12 (INPALAS) berkumpul untuk menonton film Kiri Hijau Kanan Merah. Film Dokumenter dari Watchdoc ini mengantarkan mereka untuk merawat api perjuangan Munir.
Kegiatan nonton bareng Kiri Hijau Kanan Merah itu pun diikuti dengan bedah dan diskusi film dokumenter tersebut. Diskusi itu juga menghadirkan beberapa pemantik. Antara lain Kevin Aryatama dari komunitas Lingkar Diskusi Gender (LDG) Bangka Belitung dan M. Bilal Effrandi, Litbang LPM Pramoedya. Mengenang 20 tahun kasus Munir dan peringatan September Hitam jadi pilihan mereka untuk mengenalkan Munir secara sederhana.
Film-film dokumenter tersebut tentunya bisa menjadi cahaya kecil mengenal pribadi Munir secara lebih personal. Lantas, bagaimana orang muda di Bangka Belitung menerangi diri sendiri ketika mengetahui perjuangan Munir Said Thalib dalam kesehariannya? Apa perilaku yang bisa dipupuk sejak sekarang yang terinspirasi dari aktivis tersebut?
Belajar Menerangi Diri dari Sosok Munir

Kedua film dokumenter itu memperlihatkan Munir dari segi sosok pribadinya. Terlepas dari kasus kompleks atau membahas sosial politik. Film-film itu malah membawa kita untuk melihat sosok Munir sebagai seorang manusia: anak, suami, ayah, kawan, bahkan rekan kerja. Tentu banyak sikapnya yang memanusiakan manusia.
Berani adalah modal dasar yang dapat dilihat sejak Munir masih kecil. Menurut Jamal Thalib, adik kandung Munir, abangnya sangat berani menyuarakan ketidakadilan dan ketidakbenaran. “Sesuatu yang tidak benar jangan pernah didiamkan,” tutur Munir dari kesaksian Jamal.
Tentu mengenal Munir memerlukan waktu, terutama di Bangka Belitung. Kurangnya akses informasi dan rasa kepedulian membuat banyak orang tidak mengenalnya. Tutur Bilal saat memantik diskusi, “Belum banyak yang tahu siapa itu Munir. Bahkan beberapa teman tidak mengetahui film dokumenter dari Watchdoc ini. Tapi dengan film ini, setidaknya kita bisa tahu siapa itu Munir? Seorang pejuang HAM dan ternyata seorang yang berjasa untuk negara ini.”
Baca Juga: Suciwati: Bagi Saya Munir Itu Pemberani dan Memperjuangkan Perempuan
Sifat berani, seiring berjalannya waktu, tumbuh membangkitkan jiwa untuk merdeka dan memerdekakan orang-orang yang dirampas haknya. Jiwa untuk terus merdeka tidak Munir simpan sendiri. Disalurkannya melalui ruang diskusi warga, pendidikan kepada para buruh, bahkan ke anak yatim piatu.
Menurut Lutfi Marie Thalib, ketua Al-Irsyad Batu, Munir selalu ingin memberdayakan anak-anak yatim dan piatu dengan menjadikan setiap rumah warga menjadi rumah asuh bagi mereka yang kehilangan orang tuanya. Sifat kemanusian ini bahkan terasa dalam forum diskusi yang dilakukan oleh LPM pada waktu itu.
“Uniknya, keunggulan film dokumenter ini menyajikan tentang betapa personal dan manusiawi Munir. Tidak terlalu kompleks untuk mengenai sosial politik yang ada,” ungkap Kevin dalam diskusi.
Perasaan peduli Munir pada semua hal, tidak membeda-bedakan berdasarkan strata sosial maupun gender. Sifat ini tentunya memantik empati orang lain yang mengenal Munir. Puncaknya, Munir mendapatkan sejumlah uang yang besar dari penghargaan Right Livelihood Award pada tahun 2000. Uang itu diberikannya kepada LSM yang dibentuknya, yaitu KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Ia hanya mengambil sedikit untuk keperluannya.
Secara personal pun, Munir selalu mendengarkan keluh kesah para teman buruh, mulai dari hal personal hingga menyangkut HAM. Banyak keluarga, teman, bahkan istri Munir—Suciwati—mengatakan bahwa Munir tidak membeda-bedakan siapapun yang ditolongnya. Sebab Munir sangat anti terhadap kekerasan dan penghilangan nyawa.
Baca Juga: Merindukan Munir dalam 15 Tahun Kematiannya
“Bahkan hak-hak dari para prajurit TNI dan kewenangan TNI diperjuangkan oleh Munir agar tidak terjadi ketimpangan kekuasaan. Munir ikut andil dalam merancang Undang-Undang TNI,” ujar Jaleswari Pramodhawardani, yang saat itu menjabat sebagai Pengamat Militer LIPI.
Empati itu pun kembali muncul lewat diskusi film dokumenter tersebut. Ujar Bilal, film itu mengingatkan mereka tentang pentingnya menumbuhkan rasa peduli antarsesama. Terlebih rasa peduli pada Bangka Belitung sebagai lingkungan mereka sendiri.
Menurut Kevin, setidaknya terdapat tiga poin yang diperjuangkan Munir dalam film Kiri Hijau Kanan Merah, dan menjadi poin yang bisa dicontoh. Pertama, perjuangan kelas—terutama kelas buruh yang selalu mengundang andil Munir untuk memperjuangkannya. Kedua, dedikasi tinggi dalam mengadvokasi pelanggaran HAM berat. Ketiga, perjuangan struktural anti-kekerasan yang terlihat dari perumusan UU TNI.
Lantas muncul pertanyaan menarik dalam meneladani keberanian Munir, sekaligus jadi kekhawatiran banyak orang. Bagaimana nanti jika kita takut dibungkam, dihilangkan, atau dibunuh—katakanlah, ‘di-Munir-kan’? Peserta diskusi perempuan juga menanyakan hal serupa saat diskusi berlangsung.
Baca Juga: Catatan Hitam Hari HAM: Ada Femisida dan Kekerasan Aparat di Tengah Politik Dinasti dan Oligarki
Suchi Melinda, ketua LPM Alternatif dan anggota LDG, memberikan jawaban. Menurutnya, yang bisa dilakukan terutama untuk perempuan adalah mengorganisir diri dan mencari teman atau komunitas yang merasakan hal yang sama. Lantas, bersama menyatukan kekuatan hingga ketakutan tadi menjadi keberanian untuk melawan dan terjalin kekuatan kolektif. Yang pasti, perlu dibekali dengan belajar dan membaca sebagai poin utama untuk meneguhkan landasan dan konsistensi.
Munir pun pernah mengatakan sesuatu yang menguatkan diri dan menyalakan cahaya keberanian kita.
“Kita harus lebih takut pada rasa takut itu sendiri. Karena ketakutan membuat kita lebih mengkalkulasi diri kita dan membuat kita lebih berani,” tutur Munir. “Justru jika hilang rasa takut kita, itu yang berbahaya. Karena akan menghilangkan akal sehat dan kecerdasan kita. Ketakutan tidak perlu disebar, karena akan memunculkan ketakutan-ketakutan lainnya.”
(foto: ilustrasi oleh Frendy Marselino)