kdrt

Viral Suami Pelaku KDRT dan Bunuh 4 Anak Kandung, Apa Hukuman Yang Tepat? 

Melukai fisik dan batin istri dengan membunuh anak-anak termasuk bentuk femisida. Tindakan kejahatan berlapis yang melanggar UU Perlindungan KDRT, UU Perlindungan Anak, hingga KUHP.

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, dan Perempuan Mahardhika. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya:

Halo Klinik Hukum bagi Perempuan, perkenalkan nama saya Donna (Mahasiswa, 19 tahun). Saya memperhatikan kasus viral KDRT yang diberitakan berbagai oleh media online, televisi, dan juga ramai dibahas sosial media. Yaitu tentang kasus laki-laki berinisial P di Jakarta Selatan yang melakukan pembunuhan terhadap 4 anak kandungnya yang masih kecil-kecil. Usia anak paling besar 6 tahun, dan tiga adiknya masih balita, Ia juga melakukan KDRT terhadap istrinya. Sampai istrinya masuk rumah sakit karena luka-lukanya yang sangat parah akibat penyiksaan fisik. 

Saya sebagai Perempuan, merasa sangat geram dengan perbuatan keji yang dilakukan oleh P. Di sisi lain, saya sangat berduka atas apa yang dialami oleh para korban, dalam hal ini istri dan almarhum anak-anaknya. Untuk itu, saya ingin tahu hukuman apa yang paling tepat diterima oleh P agar istri yang mengalami KDRT dan telah kehilangan keempat anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkannya tersebut mendapatkan keadilan. 

Mohon penjelasanya, sehingga saya dan perempuan pada umumnya mendapatkan informasi mengenai proses hukum dan sanksi bagi si pelaku yang demikian keji tersebut. Karena keadilan bagi korban, adalah juga keadilan bagi kaum perempuan dan anak-anak di Indonesia yang rentan mengalami KDRT. Terimakasih.

(Donna, Jakarta)

Jawab:

Halo Donna, terimakasih sudah menghubungi Klinik Hukum bagi Perempuan. Semoga proses penegakkan hukum di tingkat kepolisian berjalan lancar hingga proses pelimpahan perkara ke tingkat kejaksaan. Selanjutnya, perkara bisa disidangkan dengan putusan akhir yang memberikan kepastian hukum. Utamanya, keadilan bagi korban (ibu dan keempat anaknya yang telah meninggal).  

Jika diamati di berbagai berita media online, kasus-kasus KDRT hingga pembunuhan yang dilakukan terhadap ibu dan anak dalam lingkup rumah tangga jumlahnya terus meningkat. Termasuk, yang dilatarbelakangi kecemburuan. Kemudian, menjadi dendam dan kebencian atau disebut femisida

Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan terhadap berita media daring sepanjang 2019 tentang femisida tercatat sejumlah 145 kasus. Jumlah ini baru sebatas kasus femisida yang diliput oleh media massa. Belum terhitung yang tidak diberitakan. 

Lima peringkat teratas untuk relasi pelaku dengan korbannya itu suami-istri (48 kasus) yang menunjukkan, sebagian besar femisida dilakukan oleh suami terhadap istri. Selanjutnya, relasi pertemanan (19 kasus), relasi pacaran (13 kasus), kerabat dekat (7 kasus), dan belum diketahui (21 kasus). 

Sedangkan pemberitaan media daring pada tahun 2023, Komnas Perempuan mencatat ada 159 kasus, diantaranya jenis femisida pembunuhan terhadap ibu dan anak, serta pembunuhan terhadap anak untuk melukai batin ibu/istri. 

Dalam hal ini, kasus atau perbuatan P, yang melakukan tindakan KDRT secara fisik terhadap istrinya hingga harus masuk rumah sakit akibat luka yang parah. Serta perbuatan P menghilangkan nyawa keempat anak-anaknya, dapat dikategorikan sebagai femisida. Karena motif dari perbuatan P adalah kecemburuan dan kebencian terhadap istrinya.

Femisida atau ada juga yang menyebutnya dengan feminisida adalah sebuah istilah kejahatan kebencian (hate crimes) berbasis jenis kelamin. Banyak didefinisikan sebagai “pembunuhan intensional terhadap perempuan karena mereka adalah “perempuan”. Meskipun definisinya beragam tergantung pada konteks sejarah. 

Baca Juga: Femisida Ada di Sekitar Kita: 5 Perempuan Dibunuh Tiap Jam

Istilah femisida ini pertama kali diangkat dan digunakan oleh Diana E. H. Russell. Ia adalah seorang aktivis dan penulis feminis. Dia lahir dan besar di Cape Town, Afrika Selatan, lalu pindah ke Inggris pada tahun 1957. Dia kemudian menetap Amerika Serikat pada tahun 1961. 

Selama 45 tahun terakhir, Diana terlibat dalam berbagai penelitian isu perempuan. Khususnya mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan. Diana mendefinisikan kata Femisida sebagai “pembunuhan perempuan oleh laki-laki atas dasar kebencian karena mereka adalah perempuan”. 

Menjawab pertanyaan Anda mengenai apa hukuman yang tepat diberikan kepada P, yang telah melakukan tindakan KDRT kepada istrinya. Hingga mengakibatkan luka fisik berat serta atas pembunuhan terhadap keempat anak-anaknya. 

Dalam kasus ini, P berhadapan dengan dua perkara yang berbeda. Yaitu pertama, perkara KDRT yang dilakukan P terhadap istrinya dan sudah dilaporkan pada hari yang sama dengan kejadian. Kedua, perkara pembunuhan berencana yang dilakukan oleh P terhadap keempat anak-anaknya pada saat istri sedang di rumah sakit, dan proses hukum atas perkara ini juga sudah berjalan.

Terhadap tindakan KDRT, P dapat dijerat dengan Pasal Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Ancamannya pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). 

Adapun Pasal 44 UU PKDRT ini berbunyi sebagai berikut:
  1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
  2. Pada perbuatan sesuai ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
  3. Kaitannya perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
  4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Ketentuan Pasal 5 UU PKDRT yang dimaksud dalam Pasal 44 ini menegaskan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.”

Baca Juga: 19 Tahun UU Penghapusan KDRT, Perempuan Masih Marak Jadi Korban

Selanjutnya terhadap perbuatan P yang telah melakukan pembunuhan berencana terhadap keempat anak-anaknya. Berdasarkan informasi Polres Metro Jakarta Selatan yang diinformasikan melalui media online, disebutkan bahwa P akan dijerat dengan Pasal 338 Jo Pasal 340 (KUHP) dan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman berlapis maksimal hukuman seumur hidup atau hukuman mati.

Berikut adalah bunyi Pasal 338 Jo Pasal 340 (KUHP) dan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). 

Pasal 338 KUHP:

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 340 KUHP:

Barang siapa sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pasal 80 UUPA:

(1)    Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). 

(2)    Kaitannya soal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3)    Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 

(4)    Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.”

Karena korban berjumlah empat orang dan dalam kategori anak, maka hukuman yang akan menjerap P dikumulasikan. Oleh karenanya ancaman pidana menjadi maksimal, yaitu hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. 

Baca Juga: Aturan Turunan UU TPKS Tak Kunjung Ditetapkan, Ini Sederet Hambatannya

Atas kedua perkara pidana ini, yaitu perkara KDRT terhadap istri dan perkara tindak pidana pidana pembunuhan berencana terhadap keempat anak-anaknya, dalam tahap persidangan, P akan menjalani dua persidangan dengan dua vonis berbeda yang dijatuhkan berturut-turut. Yaitu vonis pidana atas perbuatan KDRT terhadap istrinya, dan vonis pidana atas perbuatan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap keempat anak-anaknya.  

Mengenai pelaksanaan putusan vonis hakim dalam dua persidangan berbeda terhadap P ini, dapat merujuk kepada ketentuan Pasal 272 KUHAP sebagai berikut: 

Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.”

Berdasarkan ketentuan di atas, jika seseorang dijatuhi hukuman pemidanaan lebih dari 1 (satu) kali dalam perkara yang berbeda-beda maka si terpidana menjalankan pidananya secara berurutan sesuai putusan pemidanaan yang mana terlebih dahulu diputuskan. Hal ini diperkuat dalam penjelasan Pasal 272 KUHAP yang menyatakan: 

“Ketentuan yang dimaksud dalam pasal ini ialah bahwa pidana yang dijatuhkan berturut-turut itu ditetapkan untuk dijalani oleh terpidana berturut-turut. Itu ditetapkan untuk dijalani oleh terpidana berturut-turut secara berkesinambungan diantara menjalani pidana yang satu dengan yang lain.”

Dengan demikian, pidana yang akan dijatukan untuk dijalani oleh P adalah dua pidana sekaligus. Ia ditetapkan berturut-turut sesuai dengan perbuatannya.

Demikian penjelasan kami. Semoga memberikan manfaat dan informasi mengenai proses penegakkan hukum terhadap kasus-kasus yang serupa. Dengan pengetahuan yang kita miliki ini. Selanjutnya, kita dapat terus memantau proses penegakkan hukum hingga korban mendapatkan keadilan sesuai dengan kita semua. 

Sri Agustini

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!