Bingung Ditanya Dari Mana Asalmu? Sebutan untuk Global Nomad atau Anak Budaya Ketiga

Jika kamu lahir di Amerika, lalu kamu tinggal di Indonesia, dari mana sebenarnya asalmu? Istilah ini namanya nomad atau anak yang berasal dari budaya ketiga.

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan teman Amerika yang sudah 15 tahun tinggal di Aceh.

Paska tinggal di Aceh, sekarang mereka harus pindah ke salah satu wilayah di Jawa Tengah yang berbeda sekali geografisnya. 

Jika di Aceh, mereka tinggal di wilayah pantai. Ketika di Jawa Tengah, mereka tinggal di wilayah pegunungan. 

Ketika orang-orang bertanya mereka berasal dari mana? salah seorang anak berkata, bahwa Ia berasal dari Aceh. Ibunya, lalu menunjukkan paspor Amerika yang mereka miliki, namun si anak tetap merasa bahwa dirinya berasal dari Aceh. 

Ini bisa dipahami karena Ia hanya lahir di Amerika namun besar di Aceh, sehingga sepanjang apa yang diingatnya adalah semua pengalaman ketika Ia berada di Aceh. Anak-anak inilah yang kita sebut sebagai: anak budaya ketiga. 

Bagi sebagian orang, istilah anak budaya ketiga atau individu budaya ketiga merupakan istilah yang masih terdengar baru. Mereka ini biasanya anak-anak dari orang tua yang berkewarganegaraan berbeda atau anak yang sering dibawa berpindah-pindah negara. 

Ini dialami oleh anak yang lahir dan besar di luar negeri, seperti mereka yang orang tuanya pegawai kementerian luar negeri, militer, businessman, mereka yang orang tuanya berpindah-pindah karena bekerja sebagai pelayan gereja atau bahkan anak dari pernikahan beda negara. 

Baca Juga: Film ‘The Creator’, Saat Robot AI Ingatkan Soal Kemanusiaan

Ruth Hill Useem memperkenalkan istilah ini pertama kali pada tahun 1960an ketika Ia melakukan pekerjaan antropologi di wilayah India. Istilah ini kemudian didefinisikan kembali oleh David Pollock “anak budaya ketiga merupakan individu yang menghabiskan sebagian besar tahun-tahun perkembangan budayanya diluar dari budaya orang tuanya. Semua elemen dari budaya-budaya itu mereka gabungkan menjadi pengalaman hidup mereka. Rasa memiliki satu sama lain lebih mereka prioritaskan pada mereka yang memiliki pengalaman atau budaya yang  serupa.”

Anak-anak global nomad ini kemudian memiliki 3 budaya, yaitu budaya dari negara asal, budaya dari berbagai tempat dimana mereka tinggal dan budaya yang mereka hasilkan sendiri hasil dari kontemplasi dari berbagai pengalaman tinggal di negara asing sebelumnya. 

Saya menemukan, ini adalah sesuatu yang menarik. 

Anak-anak yang dikenal dengan sebutan anak budaya ketiga atau juga dikenal dengan sebutan global nomad ini memiliki sisi positif dan negatif. 

Saya mencoba bertanya pada beberapa teman yang memiliki anak yang masuk kategori global nomad ini. Pertama teman yang berasal dari Amerika namun menetap di Indonesia, kedua teman yang menikah beda negara. Ketiga, teman yang menjadi Aparatur Sipil Negera / ASN dan ditugaskan ke beberapa negara. Bagi mereka ada hal-hal positif yang di dapat dari pertemuan budaya-budaya berbeda itu.

Dari hal positif, saya mendapatkan hasil ini:

Pertama, anak jadi belajar untuk mudah beradaptasi. Anak yang berpindah-pindah ini tentu membutuhkan waktu yang singkat agar bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Ini membuat si anak belajar bagaimana beradaptasi lebih cepat dibandingkan anak yang baru pertama sekali berpindah, misalnya mahasiswa yang harus pindah dari kotanya ke kota dimana ia menuntut ilmu.

Kedua, mencari teman baru. Anak budaya ketiga menjadi anak yang mudah untuk mencari teman baru. Ini juga dikarenakan kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan cepat.

Ketiga, lebih bisa menerima perubahan. Karena kebiasaan berpindah-pindah membuat mereka menjadi lebih cepat menerima perubahan

Keempat, flexible, dinamis dan terbuka karena sering berpindah, ditempa lingkungan yang berbeda-beda, 

Kelima, resilient/tangguh, karena sering berpindah-pindah mereka menjadi orang yang tangguh dan teguh menghadapi tantangan.

Baca Juga: ‘Monthly Magazine Home’: Derita Editor Majalah Hunian yang Selalu Ngontrak

Keenam, mendukung pluralisme dan menghormati perbedaan tanpa menghakimi atau ketakutan. Karena sering berinteraksi dengan budaya yang berbeda, mereka menjadi anak yang mendukung keberagaman dan tidak mudah untuk menghakimi mereka yang berbeda pandangan, berbeda keyakinan malah bahkan berbeda orientasi seksual. 

Salah seorang teman yang sempat saya ajak ngobrol mengatakan bahwa budaya yang baru bisa memberikan anak-anak mereka pengetahuan yang lebih antar budaya. Tidak serta-merta ‘terpengaruh’ budaya baru, tapi jadi mengerti bahwa ada kebiasaan lain di luar budaya Indonesia. Ini membuat anak-anak itu menjadi lebih bijaksana. Kata teman ini 

“Contohnya di beberapa negara di mana kami pernah tinggal, memberi/menerima dengan tangan kiri tidak masalah. Namun di Indonesia itu masalah, karena terkait dengan tata-krama kesopanan. Saya dan anak-anak berdiskusi, kalau lagi di luar Indonesia bahkan dalam rumah, saya tidak masalah mereka memberi/menerima dengan tangan kiri (salah satu anak saya left-handed). Namun, kalau di Indonesia, gunakanlah tangan kanan, bukan karena tangan kanan ‘lebih mulia’ dari tangan kiri (sebab sama-sama ciptaan Tuhan) tapi karena masalah kebiasaan tata-krama saja. Anak-anak saya jadi bisa belajar lebih bijak dalam menghadapi tata-laku bangsa-bangsa, tidak kaku”.

Namun begitu ada hal negatif juga yang dihadapi oleh global nomad atau anak-anak budaya ketiga ini:

Baca Juga: Musik dan Film Korea: Gelombang Baru Menantang Stereotipe Asia

Pertama, kurang tahu sejarah atau akar budaya asli orang tuanya (karena besar/tinggal di negara lain). Ini dialami oleh salah seorang teman yang saya ajak ngobrol. Ia berusaha mengenalkan budaya Indonesia pada anaknya dengan cara membawa anak ke tempat-tempat bersejarah di beberapa tempat di Indonesia. 

Kedua, bisa merasa tidak stabil karena sering berpindah-pindah lokasi. Kebiasaan yang terus berpindah-pindah tentunya membuat anak menjadi labil. Mereka gamang dengan identitas mereka sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh David Pollock diatas bahwa “anak budaya ketiga akan berasimilasi dengan semua budaya yang dia miliki sehingga susah baginya mengidentifikasi ia berasal dari budaya yang mana”.

Ketiga, kesulitan beradaptasi yang pada akhirnya menarik diri dari pergaulan. Ini dialami oleh teman yang berasal dari Amerika. Ketika pindah ke Jawa Tengah, salah seorang anak mereka menjadi stress, sehingga tidak bisa berkonsentrasi untuk sekolah. Ini menyebabkan ayah dan ibunya menyisakan sedikit waktu di sekolah. Selebihnya mereka mengajar anak mereka di rumah sampai situasinya memungkinkan untuk bisa masuk full time.

Keempat, tidak mempunyai teman baik yang awet dan lama. Karena seringnya berpindah-pindah, anak-anak ini sedikit yang memiliki teman yang bisa bertahan lama. 

Kelima, membentengi diri karena tidak mau sakit hati ditinggal teman lagi. Kehidupan nomad yang mereka alami membuat mereka enggan untuk mau membangun lagi pertemanan yang baru, karena sudah tertanam di pikiran bahwa mereka akan pindah lagi sehingga sia-sia saja membangun pertemanan baru di tempat baru.

Keenam, menolak menerima perubahan. Bagi anak-anak yang sudah lelah berpindah-pindah, menolak menerima perubahan lazim terjadi. Ini karena mereka harus belajar kembali hal-hal baru dari budaya baru yang mereka masuki. Situasi ini biasanya terjadi kalau mereka pindah setelah usia remaja.

Baca Juga: Film ‘Eternals’ Banjir Kritik Dan Dukungan: Yang Jelas Ini Film Inklusif

Meski memang terdapat beberapa hal negatif, namun kita membutuhkan global nomad atau anak-anak budaya ketiga yang lebih banyak. Ini karena banyak hal positif yang telah tertanam di diri mereka, terbentuk sepanjang perjalanan ke berbagai negara. 

Misalnya saja, sikap toleran dan anti diskriminasi. Hal seperti ini masih sedikit bisa dipahami oleh orang awam. Oleh karena itu, sepertinya banyak hal dimana kita bisa belajar pada anak dari budaya ketiga. 

(Tulisan ini tentu tidak akan selesai tanpa bantuan dari tiga teman yang bincang-bincang kami saya rangkum disini. Untuk semuanya saya ucapkan terima kasih)

Rosnida Sari

Dosen Universitas Jember dan Peneliti di CHRM2 Universitas Jember
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!