Ilustrasi perempuan pramuniaga bekerja sambil berdiri

Curhat Pekerja: Capeknya Kerja Sambil Berdiri, Gak Berani ke Toilet, Kena Paku Heels

Ini adalah kisah tentang para perempuan yang bekerja sambil berdiri selama berjam-jam. Kamu pasti sering temui pemandangan seperti ini di pabrik atau di toko. Mereka seperti terlihat baik-baik saja, namun sebenarnya tidak.

Edisi khusus Konde.co kali ini menyajikan cerita para pekerja perempuan yang bekerja sambil berdiri. Cerita ini merupakan rangkaian dari series #SuaraPekerja

Lily (bukan nama sebenarnya), adalah salah satu pekerja perempuan yang ketika bekerja harus berdiri selama berjam-jam.

Para pekerja yang selama ini berada di akhir rantai distribusi produk, atau yang langsung bertemu dengan calon pelanggan seperti Lily, merasakan hal ini, yang selama ini mungkin terlewat dari perhatian kita 

Banyak pekerja seperti Lily, yang harus berdiri selama hampir 8 jam kerja hanya untuk menunggu pelanggan melihat-lihat dan memilih produk yang akan mereka beli di toko

Konde.co kali ini berkesempatan mewawancarai Lily, yang tinggal di Surabaya.

Tidak memiliki banyak pilihan, Lily (35) memutuskan untuk bekerja di sebuah department store. Ia bekerja di bagian sales promotion girl (SPG) yang bertugas menjaga stand merk-merk pakaian. 

Dalam kualifikasi pekerjaan, tidak disebutkan ia harus terus-terusan berdiri pada stand tersebut. Namun, pada kenyataannya Lily harus bekerja dengan berdiri dalam waktu yang cukup lama.

Kebiasaan perusahaan yang tidak menyebutkan spesifikasi detail pekerjaan yang membutuhkan kemampuan berdiri dalam waktu lama, telah membuat pekerja terjebak karena tidak bisa mundur lagi saat telah diterima kerja.

Baca Juga: Mengisi Hari Minggu Biar Gak ‘I Hate Monday’

“Kamu nanti jaga brand ini, kamu nawarin produk, dll. Poin utama yang disampaikan ke aku adalah soal target penjualan. Soal kerja sambil berdiri itu disampaikan di poin terakhir,” ucap Lily mengingat apa yang disampaikan HRD kepadanya.

Lily juga harus merapikan pakaian yang tidak jadi dibeli, melipatnya kembali dan menyambut pembeli yang akan mencoba pakaian. Semuanya dilakukan sambil berdiri.

Bukan hanya harus berdiri, Lily juga menyatakan bahwa pekerja di sana bagaikan robot yang harus melakukan pekerjaan secara mekanik, seperti para SPG dilarang terlalu banyak mengobrol dengan sesama pekerja, sementara tidak ada hal yang bisa dilakukan untuk menghindari rasa bosan saat bekerja sambil berdiri ini.

“Kalau kerja biar nggak bosen, kita alihkan ke aktivitas lain, seperti bersih-bersih, rapihin baju, ngobrol sama partner kerja, tapi kalau kebanyakan ngobrol, juga ditegur. Jadinya serba salah, kerja jadi kaya robot jadinya,” ungkap Lily.

Lily dan teman-temannya hanya berkesempatan duduk saat istirahat makan. Mereka hanya diberi ruang loker sempit yang sebenarnya tidak layak untuk duduk dan makan. 

Jika harus makan di luar, harus berjalan jauh. Seringnya mereka sudah lelah dan memilih bersempit-sempitan di ruang loker. Di depan pelanggan, mereka juga tidak boleh menunjukkan kelelahannya. Wajah harus ramah, makeup pun harus sempurna.

“Walau capek, kita tetap harus ramah. Penampilan wajib rapi, yang rambut panjang digelung dengan hairnet. Kalau makeup kita blentong-blentong gitu, ditegur,” jelas Lily.

Upah yang Tak Setinggi Heels

Beban kerja yang berat dan tuntutan selama bekerja yang menghabiskan energi ternyata tidak membuat keringat Lily dibayar mahal. Gajinya masih sangat kecil lantaran ia bukanlah pegawai tetap. 

Hal itu dirasakan semua pegawai yang belum menjadi karyawan tetap. Dampaknya adalah mereka para SPG akhirnya berlomba untuk mendapatkan bonus dari penjualan. Persaingan sesama pekerja pun dimulai dan lingkungan kerja menjadi tak begitu nyaman buat Lily.

“Dulu di sana gaji kecil sih, karena bukan karyawan tetap. Akhirnya sesama karyawan saling cari muka, sikut-sikutan buat dapat bonus dari penjualan. Lama kelamaan nggak betah dan akhirnya aku resign karena aku nggak bisa rebutan gitu,” ucap Lily.

Hidup di kota besar seperti Surabaya ternyata tak selamanya memberikan kesejahteraan bagi semua orang. Lily, seperti kebanyakan pekerja perkotaan lainnya juga merasakan hal yang sama. 

Ibunya adalah penjual dawet keliling, setiap bulan Lily membagi gajinya untuk ibunya sebanyak 50%.

Sudah sangat lelah di tempat kerja, Lily masih harus merasa lelah saat perjalanan pulang. Lily menghabiskan waktu sekitar 1 jam di angkot untuk menuju rumahnya yang berada di Surabaya Barat. Ia naik turun angkot hingga 2 kali untuk sampai ke rumah. Dalam angkot itu juga seringnya Lily tidak mendapatkan tempat duduk dan harus jongkok di angkot selama perjalanan.

Baca Juga: Bagaimana Menjaga Kewarasan Kerja di Tengah Bos yang Toksik?

Pekerjaan rumah lebih banyak dikerjakan oleh ibunya, karena Lily sudah seringkali merasa lelah saat ia di rumah. 

Saking lelah dan penatnya, Lily terkadang merasa depresi dan ingin berteriak untuk meluapkan kekesalan fisik dan mental. Namun, itu hanya datang sesaat karena ia ingat esok hari harus kembali bekerja dengan aktivitas yang sama.

Bekerja di departemen store bukanlah satu-satunya kisah Lily selama menjadi pekerja. Ia pernah juga bekerja di restoran sebagai resepsionis. Bekerja sebagai frontline pada industri F&B nyatanya tak seringan yang dibayangkan. Banyak mungkin yang beranggapan aktivitas dapur adalah yang paling berat, nyatanya Lily sebagai seseorang yang berdiri di depan juga harus memiliki ketahanan fisik yang kuat. Ia harus berdiri saat melayani tamu, ditambah lagi ia harus menggunakan sepatu high heels minimal 5cm.

“Waktu kerja di restoran itu harus pakai sepatu heels 5 cm. Karena gajinya nggak seberapa, akhirnya aku hanya beli sepatu yang murah. Paku-pakunya sampai keluar nusuk kaki. Kalau sepatuku nyaman mungkin nggak apa-apa. Bukan hanya telapak kakiku yang sakit tapi pinggang juga sakit,” kenang Lily.

Selain Lily, ada juga Rina. Rina, adalah salah satu pramuniaga toko yang juga mengalami ini. Pengalaman Rina tak hanya itu, sebagai pramuniaga, ia juga harus mengerjakan pembukuan, menjadi kasir, menata display barang. Kemudian jika ada barang yang datang, Rina bersama pramuniaga lain harus mulai membongkarnya, memilah dan memasukkannya ke gudang.

“Selain itu juga memberi label harga satu persatu, men displaynya, setelah selesai di display harus kami angkat sendiri ke gudang, dan harus menyetok barang di gudang,” kata Rina.

Rina berbicara dalam acara Festival Pekerja Hari Gini, yang diadakan Konde.co bersama Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, April 2021.

Baca Juga: Care Work Pada Komunitas Tak Dianggap Kerja, Padahal Ini Kerja Tambahan Perempuan

“Saya juga pernah punya pengalaman ketika menjadi pramuniaga, selain melayani pembeli juga harus memasukan data-data barang di komputer dan itu dilakukan sambil melayani pembeli yang utama prioritas itu melayani konsumen atau pembeli.”

Rina bercerita, tentang jam kerja. Jam kerja pramuniaga itu kadang tidak pasti, kadang melampaui, jadi seperti lembur, tapi tidak dihitung lembur.

“Misalnya seharusnya kami sudah pulang tetapi ada konsumen yang belum menyelesaikan transaksi, maka kami harus menunggu mereka sampai selesai dan itu tidak dihitung sebagi lembur, kecuali kalau pemilik yang menyuruh lembur, barulah itu dihitung sebagai lembur.”

Bagaimana dengan jam istirahat? Untuk jam istirahat, jika seharusnya ditempat kerja itu 1 jam, tapi kadang tidak sampai 1 jam sudah harus bekerja lagi.

“Sesuai pengalaman saya, itu tidak ada sampai 1 jam, kami hanya diberi kesempatan untuk makan saja, dan kalau bisa dilakukan dengan secepat-cepatnya, jadi jika tidak ada pembeli, kita giliran makan dan itu hanya sampai 10-15 menit, itu hanya waktu untuk makan dan kami harus kembali bekerja.”

Begitu juga dengan hari liburnya. Untuk hari libur itu, teman-teman Rina sesama pramuniaga tidak pernah punya kepastian kapan mendapatkan hari libur.

“Seperti hari raya, pembeli sedang banyak-banyaknya, kami kerja terus 2 minggu full tidak libur.”

Belum lagi jika ada barang-barang yang rusak, misalnya tak sengaja dirusakkan oleh konsumen, para pramuniaga ini yang harus menggantinya

“Jumlah pekerja yang terbatas dan pada saat pembeli sedang ramai ada kemungkinan barang jadi rusak atau hilang itu walaupun bukan kesalahan kami, otomatis kami harus menggantinya dengan sistem potong gaji,” kata Rina

Pelecehan dari Konsumen Toko

Rina menyatakan bahwa pramuniaga toko seperti dia dan teman-temannya, pernah mendapatkan pelecehan verbal dari pembeli, mereka menginginkan kepuasan produk atau apa, jika tidak mendapatkannya, pramuniaga toko sering dibentak

“Kita sering dibentak-bentak, dimaki-maki, diintimidasi sudah biasa. Saya tidak tahu ini termasuk pelecehan atau bukan, ada beberapa kali pembeli yang menanyai status saya sudah menikah atau belum, mengarah mengajak berkenalan itu membuat saya tidak nyaman, tidak suka karena hal tersebut tidak ada kaitannya dengan pembelian. Teman saya juga pernah mengalami, jadi ada konsumen yang membeli barang dengan jumlah yang besar, jadi dia mempunyai relasi dengan pemilik, jadi dia mengakrabkan diri dengan memegang pundak teman saya.”

Selama ini, banyak anggapan tugas seorang pramuniaga toko hanya sekadar melayani pesanan pembeli. Kenyataannya lebih dari itu, pramuniaga juga acapkali mesti sambil melayani printilan pekerjaan seperti bongkar barang, melabeli barang satu per satu, hingga mendata barang ke display komputer. 

Pernah pula dia mengalami pelecehan, seperti catcalling saat menjalankan tugasnya. “Berjalan dan pakai baju biasa kadang ada aja yang suit-suit (catcalling),” imbuhnya. 

Baca Juga: Ketika Good Looking Jadi Syarat untuk Bekerja, Ini Bisa Sebabkan Diskriminasi Pekerja

Untuk menghindari berbagai ancaman kekerasan dan pelecehan itu, Rina dan rekan-rekan pramuniaganya pun memilih menjaga jarak dan interaksi dengan pembeli. Seperlunya saja. 

Setelah 15 tahun bekerja sebagai pramuniaga, Rina akhirnya memilih untuk berhenti. Ketika itu dia sedang hamil dan memiliki miom atau tumor jinak yang tumbuh di rahim. Dokter menyarankan tak boleh aktivitas terlampau berat, namun pekerjaannya sebagai pramuniaga tentu tak bisa mengakomodir kebutuhan kesehatannya. 

“Saran dokter tidak boleh bekerja berat-berat, padahal di tempat saya tidak mungkin kerja tidak berat.”

“Waktu itu menjelang hari raya, saya pasti tidak dapat prioritas untuk bekerja tidak berat. Akhirnya saya memutuskan diri keluar dari pekerjaan,” pungkas Rina. 

Berdiri Lama juga Dialami Buruh Pabrik

Sistem kerja yang semena-mena dan tidak pro hak pekerja bukan hanya terjadi pada pekerja yang berada pada rantai penjualan produk, pada bidang produksi pun juga sama. 

Lindah, adalah seorang buruh di pabrik garmen. 

Ia menceritakan teman-teman buruh yang bekerja selama 9 jam dari pukul 7 pagi hingga 4 sore. Sementara waktu istirahat selama 1 jam dalam rentang waktu tersebut.

Bagi buruh pabrik garment, mereka telah mengetahui beban kerja yang akan mereka hadapi serta apa saja yang harus mereka kerjakan. Meskipun tidak ada aturan tertulis mengenai bekerja dengan berdiri, namun para buruh sadar bahwa tidak mungkin melakukan pekerjaan dengan duduk. Selain itu tempat duduk memang tidak disediakan.

Proses produksi di pabrik garmen melibatkan kerja kolektif berupa estafet produk baju dari nol hingga menjadi sebuah pakaian siap pakai. 

Pakaian akan dioper dari satu buruh ke buruh lainnya. Artinya jika ada satu saja buruh yang pekerjaannya “macet” maka pekerjaan akan menumpuk dan menjadi beban bersama. 

Baca Juga: Nasib Rentan Mahasiswa Magang: Beban Kerja Penuh Waktu, Upah Tak Dapat

Ekosistem kerja seperti ini membuat buruh harus terus menerus bekerja tanpa henti dan istirahat meskipun hanya untuk ke toilet. Aturan yang diterapkan dalam pabrik begitu ketat, setiap bagian produksi hanya diizinkan dua orang untuk ke toilet secara bersamaan. Mereka diberikan kartu akses untuk memastikan sistem ini berjalan. Parahnya lagi, agar tidak perlu ke toilet, para buruh sengaja tidak minum agar tidak merasa ingin buang air.

“Teman-teman ke kamar mandi hanya pas jam istirahat aja, jam kerja nggak berani. Soalnya kalo mereka tinggalin, kerjaan akan numpuk, akhirnya temen-temen males minum. Bagian ironing malah jaraknya jauh dari kamar mandi, jadi mereka mesti lari ke kamar mandi. Pernah ada teman yang mungkin lagi nggak enak badannya, dia bolak-balik ke kamar mandi. Terus dibentak sama pengawas sambil pukul meja, akhirnya dia pingsan. Jadi teman-teman takut ke kamar mandi melihat kejadian itu,” terang Lindah.

Pada proses produksi di pabrik garmen, Lindah berada pada posisi sebagai penjahit. Posisi ini cukup tidak perlu berdiri layaknya bagian ironing, helper dan finishing. Meski begitu, sebagai seorang penjahit di pabrik garmen, Lindah perlu memiliki skill yang tidak dimiliki orang lain. Posisi Lindah sebagai penjahit tidak lantas menjadi posisi primadona di rekan-rekannya. Alasannya selain rumit dan butuh skill, gajinya juga sama. Para buruh memilih mengerjakan pekerjaan yang cepat selesai meskipun harus berdiri daripada mengerjakan satu pekerjaan dalam waktu lama.

Meskipun berada pada bagian jahit yang tidak perlu berdiri, pada proses produksi garmen, para buruh sering dipindah posisinya ke bagian lain. Lindah pun pernah merasakan bagaimana lelahnya bekerja pada bagian yang harus berdiri. Ia yang memiliki anemia, merasakan kepalanya berkunang-kunang dan dan pusing. Selain itu, nyeri punggung dan sakit di bagian pinggang juga ia rasakan.

Baca Juga: Ramai-Ramai Majikan Mengeluh soal PRT, Harusnya Ada Perjanjian Kerja antara Majikan dan PRT

“Aku bener-bener nggak tahan, sakitnya sampai ke pinggang, rasanya nggak kuat, anemia juga dan kunang-kunang. Akhirnya aku ambil bangku dan duduk. Pas aku duduk salah satu chip aku bilang: Lin kalau mau duduk jangan di sini, ini mengganggu,” ingat Lindah.

Suasana pabrik bukan hanya terasa menekan pada saat produksi, lingkungan yang tidak kondusif seperti suhu yang panas minim ventilasi membuat Lindah merasa gerah dan tidak nyaman. Hal ini abai dari pengawasan manajemen pabrik dan terasa pada buruh yang bekerja.

“Suhu panas, kipas nggak ada ventilasi juga nggak ada. Hanya bisa menerima dan membiasakan saja. Udah nggak tau lagi mana keringat mana apa,” ujar Lindah.

Keberadaan buruh dalam proses produksi hingga distribusi sebuah perusahaan sering diabaikan nasibnya. Begitupun bagi SPG. Dalam proses distribusi produk ke tangan pelanggan, perusahaan kerap kali hanya menekankan pentingnya target penjualan yang harus dicapai pekerja tanpa memperhatikan bagaimana mereka merasakan tekanan.

Kerja Berdiri Adalah Kerja Repetitif yang Berbahaya

Di Indonesia sendiri, isu mengenai hak untuk duduk dari kewajiban berdiri ketika bekerja masih sangat jarang dibahas. Hal ini karena hak-hak dasar pekerja saja yang seharusnya bisa didapatkan, belum sepenuhnya bisa dipenuhi. 

Selain itu, belum ada penelitian khusus mengenai hal ini. Peneliti dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Syarif Arifin menyatakan kepada Konde.co (25/01/2024) bahwa kondisi pekerja yang melakukan pekerjaan repetitif memang menyedihkan. Pekerjaan repetitif ini seperti yang dialami Lindah sebagai buruh pabrik garmen. 

Dalam proses produksinya, pabrik garmen menerapkan model kerja repetitif yang dalam jangka panjang bisa memberikan resiko kepada kesehatan karena rata-rata bekerja selama 8 jam perharinya.

“Kondisi kerja garmen memang sangat buruk. Mereka melakukan pekerjaan repetitif setiap hari yang membahayakan kesehatan tubuh. Juga berhadapan dengan kekerasan verbal yang merusak kesehatan mentalnya. Ada dua jenis pekerjaan repetitif. Pertama, berdiri selama 8 jam. Ini biasanya untuk bagian pekerjaan ironing. Kedua, buruh yang terus membungkuk selama 8 jam. Kalau jenis kerja ini berakibat pada posisi punggung yang tidak sehat dan rabun mata, karena terus menerus melihat objek dalam jarak yang dekat. Ini biasanya di bagian sewing dan sampel” ucap Syarif.

Kerja Berdiri Menjadi Sorotan Aktivis

Sementara itu, aktivis buruh perempuan dari marsinah.id Dian Septi Trisnanti menyoroti sisi kesehatan yang harusnya menjadi hak dari buruh itu sendiri. 

Dian mengatakan, berdiri dalam waktu yang lama saat bekerja memberikan dampak buruk pada kesehatan buruh. Buruh harusnya diberikan waktu istirahat di antara 8 jam bekerja untuk meregangkan badan, apalagi jika terdapat buruh yang sedang hamil.

“Penting memberikan istirahat yang cukup bagi buruh, atau menyediakan waktu untuk duduk dan meregangkan tubuh di sela 8 jam kerja. Terlebih bagi ibu hamil, tidak boleh bekerja sambil berdiri atau di posisi tubuh yang sama secara terus menerus. Berdiri dalam waktu lama berdampak pada kesehatan buruh, termasuk buruh perempuan. Di antaranya nyeri sendi yang mengakibatkan gangguan mobilitas, kelelahan otot, varises, di mana darah pembuluh vena di bagian kaki sulit mengalir ke jantung, kelainan tulang belakang (kifosis), panggung bagian atas melengkung berlebihan dan membuat penderita menjadi membungkuk, nyeri punggung bawah, elastisitas jaringan berkurang dan tekanan otot meningkat, gangguan kehamilan karena berdiri terlalu lama membuat aliran darah menuju rahim terganggu” jelas Dian.

Baca Juga: Persaingan Sengit, Kualifikasi Selangit: Gen Z Makin Sulit Dapat Kerja? 

Dian melanjutkan bahwasanya sudah ada regulasi yang mengatur mengenai jam kerja buruh, namun hal ini tidak benar-benar diterapkan.

“Setiap pekerja/buruh berhak beristirahat antara jam kerja dalam sehari, paling sedikit setengah jam setelah bekerja 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja (Pasal 79 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 jo. UU Cipta Kerja No. 11 tahun 2020),” lanjut Dian.

Dalam bekerja, Dian menceritakan banyak buruh yang memiliki tekanan kerja yang sangat tinggi dan beban yang besar. Hal ini mengakibatkan buruh menghadapi resiko besar termasuk sampai merenggut nyawa.

“Karena takut kehilangan kerja, buruh banyak menyembunyikan sakitnya. Ini terjadi banyak di buruh pabrik, termasuk pabrik garmen. Kita juga pernah dikejutkan dengan kasus Mita, buruh periklanan yang tewas setelah bekerja 30 jam nonstop atau pekerja freelance di Jogja yang tewas di kosnya akibat kerja terlalu panjang. Sistem kerja berbasis target, status kerja tak pasti mendorong para buruh bekerja tanpa mengenal waktu dan ironisnya perusahaan enggan bertanggung jawab” terang Dian.

Selain beban kerja dan tekanan yang sangat besar, suasana lingkungan kerja yang terbatas juga menjadi tekanan tersendiri bagi buruh. Minimnya ventilasi dan sirkulasi udara membuat lingkungan kerja memberikan resiko lain bagi buruh.

“Bisa karena tidak ada sirkulasi udara yang cukup, ruangan kerja menjadi pengap dan berkurangnya oksigen, serta meningkatnya karbondioksida. Hal ini berdampak pada peningkatan stres, kelelahan, mual, sakit kepala, kembung, pusing, bapil, sakit tenggorokan, sesak napas,hingga aritmia jantung” lanjut Dian.

Baca Juga: Kerja PRT Itu Butuh Skill, Kenapa Tidak Diakui sebagai Pekerjaan?

Lalu, bagaimana seharusnya keadaan ini dihadapi? Dian menjelaskan hak untuk duduk selama bekerja bisa diperjuangkan oleh serikat buruh sebagai agenda. Hal ini melihat perjuangan buruh perempuan di India yang juga pernah memperjuangkan hak yang sama dan berhasil. Selain itu, perlu adanya ketegasan regulasi dari pihak-pihak terkait untuk mengakomodir hal yang sering diabaikan ini.

“Serikat Pekerja, aktivis buruh bisa memperjuangkan hak untuk duduk baik melalui Perjanjian Bersama, PKB maupun perda atau kebijakan nasional. Isu perjuangan ini pernah diangkat Serikat Buruh Perempuan di Kerala, India pada tahun 2018, dimana banyak buruh perempuan ritel, toko, tekstil garment yang bekerja berdiri terus menerus tanpa boleh duduk, beristirahat atau sekedar ke toilet” pungkas Dian.

BBC pernah menulis tentang pekerja di India yang mengalami hal yang sama. Para perempuan yang bekerja di berbagai toko tekstil serta perhiasan di India tidak diperbolehkan untuk duduk selama bekerja, mereka harus berdiri sepanjang hari, meskipun tidak ada pembeli yang berkunjung ke toko. Pekerja perempuan yang bekerja di toko-toko tekstil, perhiasan dan toko ritel komersial lainnya di Kerala India mengatakan, majikan mereka melarang mengobrol dengan sesama rekan kerja atau bahkan bersandar di dinding jika mereka sudah berdiri terlalu lama. 

Pada tahun 2009, para pekerja perempuan ini akhirnya berkumpul dan membuat serikat bernama penkootam, yang berarti perkumpulan perempuan. Serikat inilah yang akhirnya memperjuangkan hak untuk duduk di India. Kini organisasi tersebut bukan hanya memperjuangkan hak untuk duduk namun juga isu yang lebih luas seperti kesejahteraan dan upah.

Bekerja dengan berdiri adalah hal yang seringkali tidak disebutkan dalam info lowongan pekerjaan. Mengapa? Karena hal ini dianggap lumrah oleh perusahaan. Padahal bekerja dengan berdiri dalam waktu yang lama memberikan beberapa dampak pada tubuh. 

Baca Juga: Jurnalis Perempuan di Asia Bersuara: Kekerasan Seksual sampai Doxing Jadi Ancaman

Dalam jurnal Kesehatan Evidence of Health Risks Associated with Prolonged Standing at Work and Intervention Effectiveness disebutkan beberapa efek yang akan terasa pada tubuh saat berdiri terlalu lama adalah gangguan kardiovaskular atau gangguan pada jantung dan sensasi nyeri punggung bagian bawah. Penelitian ini menyebut, mereka adalah pekerja yang diharuskan berdiri dalam waktu lama tanpa bisa berjalan atau duduk selama shift kerja. Di ruang operasi, misalnya, perawat dan dokter harus berdiri berjam-jam selama prosedur pembedahan. Demikian pula, perawat perawatan langsung, penata rambut, dan pegawai toko menghabiskan sebagian besar waktu kerja mereka dengan berdiri tanpa kemampuan untuk duduk.

McCulloch (2002) seperti disebutkan dalam penelitian ini merangkum temuan dari 17 penelitian yang melibatkan berdiri lebih dari 8 jam per hari (8 jam/hari). 

Risiko kesehatan utama yang diidentifikasi adalah insufisiensi vena kronis, nyeri muskuloskeletal pada punggung bagian bawah dan kaki, kelahiran prematur, dan aborsi spontan. Best et al., (2002) melaporkan temuan dari kuesioner yang dilaporkan sendiri yang diberikan kepada 204 penata rambut. Nyeri punggung merupakan gangguan muskuloskeletal yang paling banyak dilaporkan, diikuti rasa tidak nyaman pada leher dan bahu. 

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) (2011) juga telah menerbitkan pedoman untuk pencegahan dampak kesehatan yang terkait dengan paparan terlalu lama berdiri di tempat kerja. Menurut ILO, jika suatu pekerjaan harus dilakukan dengan posisi berdiri, maka pekerja harus menyediakan kursi atau bangku dan pekerja harus dapat duduk secara berkala. 

Baca Juga: 3 Hal yang Bisa Dilakukan Perguruan Tinggi Agar Lulusan Cepat Dapat Kerja

ILO juga menyarankan penggunaan alas lantai dan sepatu yang baik untuk menghindari berdiri di permukaan yang keras, serta ketersediaan pijakan kaki untuk membantu mengurangi ketegangan pada punggung dan memungkinkan pekerja mengubah posisi dengan memindahkan beban dari waktu ke waktu. 

Terakhir, ILO menyarankan agar ketinggian permukaan kerja harus dapat disesuaikan atau pekerja harus dapat menyesuaikan ketinggiannya relatif terhadap permukaan kerja, sehingga lengan tidak harus dipegang pada posisi yang canggung dan ekstrem.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!