Ilustrasi korban yang sempurna dalam kasus kekerasan seksual

‘Apakah Harus Jadi Korban Yang Sempurna agar Dibela?’ Pertanyaan Mitos yang Harus Disudahi

Konsep “korban yang sempurna” yang artinya bagaimana korban harus terlihat dan berperilaku sesuai kriteria agar layak untuk dibela, jelas berbahaya dan tak berpihak pada korban.

Apa arti “korban yang sempurna”? Pertanyaan ini terus menghantui kami.

Sebagian dari kita mungkin aware tentang fenomena “korban yang sempurna” dalam kasus kekerasan. 

Konsep “korban yang sempurna” artinya yaitu ketika korban harus terlihat dan berperilaku sesuai kriteria tertentu agar layak untuk dibela. 

Tentu saja ini mitos belaka. Sebab tidak ada korban yang sempurna apabila disandarkan pada stereotip sosial yang sifatnya sangat rigid dan subjektif. 

Mitos ini juga berbahaya karena pada banyak kasus kekerasan, korban harus memenuhi standar ‘ideal’ agar tidak di-reviktimisasi. Seolah-olah hanya dengan cara demikian, berhak akan dukungan dari society. Mitos ini juga melanggengkan budaya victim blaming dan melindungi pelaku kekerasan. 

Nils Christie dalam bukunya yang berjudul From Crime Policy to Victim Policy menyebutkan bahwa korban yang ideal digambarkan sebagai seseorang yang lemah atau rentan dan bekerja pada bidang-bidang yang ‘terhormat’. Korban harus tidak bersalah dalam semua aspek interaksi dengan pelaku yang merupakan orang asing bagi mereka. 

Mengabaikan aspek lain yang membingkai suatu kekerasan, society atau masyarakat cenderung menilai korban terlebih dahulu. Alih-alih point the finger out pada pelaku kekerasan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa hal-hal inilah yang memicu banyaknya ketidakadilan perlakuan pada korban-korban yang tidak hidup sesuai dengan standar yang disukai oleh orang banyak.

Pada korban kekerasan seksual misalnya. Demi menepis prasangka atau dianggap berbohong, korban ‘diharuskan’ secara sempurna mampu meyakinkan orang lain akan kekerasan yang dialaminya. 

Baca Juga: Aturan Turunan UU TPKS Tak Kunjung Ditetapkan, Ini Sederet Hambatannya

Neeraja Sanmuganathan, Sexual Assault Clinician dari University of Notre Dame, Australia mengatakan, seringkali para korban kekerasan seksual mengalami goldilocks dilemma. Yaitu kondisi dilematis di mana korban dipaksa untuk mampu menjelaskan situasi secara precisely right, tidak kurang dan tidak lebih. Korban ‘diharuskan’ memiliki ingatan yang jelas tentang kekerasan yang terjadi, harus terbukti melakukan perlawanan, dapat melaporkan kejadian sesat setelah kekerasan berlangsung serta dalam keadaan sadar atau tidak mabuk sehingga ‘dapat dipercaya’ di mata masyarakat.

Bisa dibayangkan betapa korban merasa ‘sendirian’ ketika pengalamannya diinvalidasi dan dianggap remeh hanya karena tidak memenuhi kriteria-kriteria nir empati tersebut. Korban masih saja kerap dipojokkan dan disalahkan karena dianggap berpakaian atau bersikap menggoda. Sekalipun berbagai studi dan riset membantah hipotesa misoginis tersebut dan membuktikan bahwa pakaian tidak ada hubungannya dengan kekerasan seksual.

Ketidakmampuan korban untuk melawan karena serangan tonic immobility juga sering disalahartikan sebagai consent dan penerimaan korban. Padahal kondisi ‘membeku’ tersebut menyebabkan korban tidak bisa merespon kekerasan yang terjadi, apalagi sampai memberikan consent

Pada kasus-kasus yang mengemuka secara luas, fakta dan berita bohong terkait kekerasan seksual acapkali saling silang dan berpotensi melahirkan extended abusers. Ini karena anggapan korban punya andil pada kekerasan seksual yang terjadi dan mereka viktimisasi korban berkali-kali.

Berperspektif Korban untuk Menangkal Mitos Korban yang Sempurna

Pencarian’ korban yang sempurna bertalian erat dengan gagasan menyalahkan korban. Kendra Cherry, seorang psikolog spesialis rehabilitasi sekaligus author Everything Psychology Book dalam tulisannya yang berjudul What is the Jus-World Phenomenon? menjelaskan bahwa kecenderungan victim blaming salah satunya berasal dari keyakinan bahwa seseorang akan menuai apa yang ia tanam. 

Dalam teori Just-World Phenomenon yang diperkenalkan pertama kali oleh Melvin J. Learner tahun 1960an, dunia ini berjalan dengan adil dan menganut prinsip people will get what they deserve. Dengan berlandaskan teori ini, para pelaku victim blaming cenderung mengedepankan keyakinannya bahwa korban berkontribusi dalam kekerasan yang terjadi tanpa mempertimbangkan faktor eksternal lainnya.

Victim blaming yang berasal dari kuatnya mitos korban yang sempurna ini dapat melahirkan diskriminasi dan penghakiman moral dalam skala luas. 

Salah satu yang paling sering terjadi adalah invalidasi pengalaman korban laki-laki. Tidak berbeda dengan Christie yang menyebutkan bahwa korban ideal dalam kultur patriarki barat adalah white, cisgender and feminine, laki-laki menjadi tidak memenuhi kriteria korban karena dianggap kuat dan mampu melawan.  Kondisi ini jelas menghambat korban untuk mendapatkan pertolongan karena harus melalui serangkaian ‘verifikasi’ sosial non-hukum untuk membuktikan ia benar-benar menjadi korban. Stigma yang begitu pedih ini seolah jadi momok menakutkan bagi korban-korban lain untuk melapor.

Menghentikan mitos korban yang sempurna untuk menangkal maraknya victim blaming dapat dilakukan dengan mengubah mindset menjadi lebih berperspektif korban. Berikut cara yang dapat dimulai dari diri sendiri:

 1.    Dengar dan Percaya Korban

Korban membutuhkan keberanian yang sangat besar untuk menceritakan dan melaporkan kekerasan yang dialaminya. Maka mendengarkan dan mempercayai korban menjadi faktor yang sangat penting. Kasus kekerasan harus dilihat dalam koridor hukum sebagai tindakan non-konsensual yang membawa penderitaan bagi korbannya. Percaya pada korban bukan berarti tuduhan kekerasan tidak boleh diselidiki. Justru dengan menyuarakan dukungan dan berdiri di atas sepatu korban, Ia dapat diselamatkan dari kekerasan berlanjut sekaligus menutup ruang gerak pelaku dari tindakan abusif lainnya. Pun upaya ini sekaligus mendorong penegakan hukum dengan mengedepankan perlindungan bagi korban.

2.    Dorong APH untuk usut kasus kekerasan dan perlindungan korban

Dukungan society pada korban untuk mengakses keadilan tidak akan berjalan optimal bila tidak dibarengi dengan respons baik aparat penegak hukum (APH). 

Sejak media sosial menjadi arus utama dalam penyebarluasan informasi, gerakan mendukung korban melalui berbagai platform media sosial menjadi langkah efektif untuk mengaktifkan kewenangan APH pada korban-korban kekerasan yang belum mendapat bantuan hukum maupun yang laporan sebelumnya diabaikan oleh APH.

Memang menyedihkan mengingat korban harus mencari keadilan melalui media sosial dulu daripada langsung melapor pada APH. Tapi setidaknya ini membuktikan bahwa kinerja APH dapat terus didorong dengan menyebarkan awareness tentang kasus kekerasan yang terjadi. APH juga harus terus didukung untuk menanggalkan sikap judgemental dan berperspektif korban. Karena korban berhak atas perlindungan keselamatan dan pemulihan hak-haknya. 

Baca Juga: Dipilih Jadi Duta Kesehatan Mental, Sejumlah Anak Perempuan Diduga Malah Dieksploitasi
3.    Stop melanggengkan stereotipe “boys will be boys

Steven M. Kaplan menyebutkan dalam tulisannya “Boys will be boys: an example of biased and exclusive usage” bahwa gagasan boys will be boys adalah rangkuman kesalahan sistem patriarki, hegemoni maskulinitas, viktimisasi perempuan, dan biner gender yang semuanya memainkan peran penting dalam penindasan terhadap perempuan.

Gagasan problematik semacam ini memang hanya membenarkan perilaku agresif yang dianggap sudah ‘terprogram’ dalam diri laki-laki/ Sehingga segala tindakan mereka, termasuk yang paling abusive, harus dimaklumi. Tentu saja konyol bila menganggap suatu kekerasan yang termasuk ranah tindak pidana diwajarkan karena stereotip ‘ya namanya juga laki-laki’. 

Gagasan ini sudah seharusnya dihentikan karena mengkerdilkan pengalaman korban kekerasan, melindungi pelakunya dan seolah membebaskan pelaku dari tanggung jawab. 

Kita perlu menyadari bahwa mencari korban yang sempurna tidak akan membawa kita ke mana-mana, selain hanya mengaburkan fokus pada kekerasan yang terjadi. Membebaskan korban dari cengkeraman kekerasan harus terus diupayakan dengan mengedepankan dukungan yang berperspektif korban dan menjerat pelaku dengan pertanggungjawaban sesuai hukum.

Shofia Shobah

Saat ini saya bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang renewable energy. Saya tidak tergabung di komunitas atau lembaga apapun, kecuali setiap satu bulan sekali mengikuti kegiatan mendongeng adik-adik di satu sekolah di Bekasi Timur. Saya punya concern yang besar pada isu-isu gender dan minority group dan saat ini sedang begitu bersemangat untuk menyuarakan hal tersebut terutama melalui tulisan.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!