Kekerasan seksual di kampus

Tak Punya SOP Hingga Bias Gender: Peta Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus

Upaya implementasi kebijakan penanganan kekerasan seksual di institusi pendidikan masih banyak PR-nya. Pemerintah dan kampus perlu lebih serius agar pencegahan, penanganan dan pemulihan yang perspektif korban bisa dijalankan optimal.

Kekerasan seksual layaknya fenomena gunung es yang terus menghantui banyak orang. Ia dapat menyasar siapa saja, kapan saja, dan dimana saja termasuk di lingkungan perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang selayaknya menjadi ruang dinamika belajar yang aman dan nyaman justru masih banyak kita temui candaan seksis, cat calling, hingga pelecehan seksual.

Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Catahu Komnas Perempuan) tahun 2023, mendokumentasikan sebanyak 339.782 pengaduan kasus kekerasan berbasis gender (KBG). Data itu terbagi menjadi kekerasan di ranah personal, publik, dan negara. 

Masih tingginya angka kekerasan di ranah personal maupun publik mendorong pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek RI) menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai payung hukum pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. 

Regulasi serupa dikeluarkan oleh Kementerian Agama dengan terbitnya Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

Payung hukum yang sudah ada di lingkungan kampus harus diperkuat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada April 2022 lalu. Dalam regulasi tersebut, terdapat mandat yang mewajibkan setiap perguruan tinggi membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). 

Baca Juga: Perempuan Muda Punya Peran Penting di Era Post-Patriarchy di Kampus

Satgas PPKS memiliki tanggung jawab mencakup pencegahan dan penanganan kekerasan yang akuntabel secara hukum dan berpihak pada korban. Pun perlu memberikan edukasi pencegahan kekerasan seksual kepada seluruh civitas akademika.

Berangkat dari itu, seharusnya kampus sudah bijak dalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan di lingkungannya. Meskipun pada realitanya itu tak selalu mudah, sebab masih banyak korban yang enggan dan tidak berani melapor meskipun sudah ada wadah pelaporannya. 

Hal ini tidak terlepas dari budaya yang mengakar di masyarakat. Bahwa kasus kekerasan seksual masih dianggap aib dan minimnya pengetahuan, dukungan hingga jaminan keamanan dari penegak hukum yang tidak berpihak kepada korban.

Meskipun Satgas PPKS sudah dibentuk oleh banyak perguruan tinggi, masalah-masalah yang muncul pasca pembentukan juga cukup komprehensif. Mulai dari penyeleksian dan penetapan keanggotaan Satgas yang tidak sesuai dengan unsur regulasi pembentukan Satgas PPKS yaitu keterlibatan pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. 

Beberapa kampus ternyata tidak melibatkan unsur mahasiswa di dalamnya. Padahal, ini menjadi penting agar terjalinnya sinergi di kampus. Dalam melakukan penanganan kasus, ternyata masih banyak perguruan tinggi yang belum memiliki SOP, sehingga terdapat hambatan alur penanganan serta pendampingan kasus. 

Baca Juga: Mahasiswi Korban Tak Nyaman Lagi di Kampus: Butuh Satgas Stop Kekerasan Seksual

Peningkatan kapasitas internal Satgas PPKS juga perlu dilakukan agar penanganan dan pendampingan kasus berjalan maksimal juga memastikan setiap anggota Satgas memiliki keberpihakan kepada korban dan tidak bias gender.

Masalah lain yang terjadi adalah minimnya penyediaan dukungan operasional dan anggaran dalam penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Ini menjadi masalah di banyak kampus, terutama di daerah. Bahkan terdapat kampus yang sementara menghentikan penerimaan aduan kasus kekerasan karena tidak adanya dukungan operasional. 

Perguruan tinggi juga harus menindak tegas siapapun pelaku. Faktor relasi kuasa di kampus terkadang banyak disalahgunakan dan dapat mempengaruhi penyelesaian kasus yang ada.

Tidak hanya kampus, organisasi mahasiswa pun belum konsen terhadap isu kekerasan. Terlebih lagi, tongkrongan mahasiswa yang masih menormalisasi budaya dan guyonan seksismenya. 

Perlu disadari bersama bahwa perguruan tinggi tidak sepenuhnya hanya mengandalkan Satgas PPKS dalam menangani kekerasan seksual di kampus, namun seluruh elemen kampus harus andil dalam menciptakan ruang aman dan kampus bebas dari kekerasan seksual. 

Kesadaran dan komitmen bersama ini juga mendorong iklim kampus yang kondusif serta ruang belajar yang egaliter bagi warganya.

Anis Fazirotul Muhtar

Wakil Ketua DEMA Fakultas Adab & Humaniora 2022/2023 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga PIC Advokasi dan Pendampingan Lingkar Studi Feminis
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!