Terganggu Dengan Baliho Pemilu Karena Rusak Lingkungan? Banyak Pohon Dipaku Dan Bikin Sampah

Kamu terganggu dengan banyaknya alat peraga kampanye yang dipaku di pohon-pohon? Harusnya pemerintah, partai, para Caleg menyadari jika ini berdampak buruk bagi lingkungan.

Di sepanjang jalan di masa Pemilu, kita lazim jumpai poster-poster tertempel di pohon, di tiang listrik, baliho di pinggir jalan

Survey Jakpat 2024 menyatakan, pemasangan baliho dan spanduk secara tidak resmi menjadi jenis kampanye yang paling tidak responden sukai. Beberapa orang juga menyatakan bahwa pemasangan baliho ini merusak lingkungan dan membuat sampah menumpuk

Reporter Konde.co, Rustiningsih Dian Puspitasari menyusuri sejumlah jalan di Jakarta untuk melihat poster-poster ini.

Sepanjang perjalanan dari Stasiun Gang Sentiong menuju ke Atrium Senen misalnya, terdapat banyak sekali bendera-bendera partai yang berkibar di flyover (jalan layang). 

Hal serupa juga terlihat dari Palmerah menuju Kebayoran Lama. Spanduk para Caleg dipaku dan ditempel begitu saja di pohon pinggir jalan. Bahkan ada juga yang kondisinya dipasang begitu saja dan membahayakan pengguna jalan, khususnya pemotor.

Alat peraga kampanye seperti itu masih eksis–bahkan semakin banyak–digunakan oleh peserta pemilu. Tempat-tempat yang bersih dari Alat Peraga Kampanye/APK semakin jarang ditemui. Hampir setiap 50 meter selalu ada APK yang terpampang.

Baca Juga: Debat Capres Cawapres Minim Soroti Isu Hak Perempuan

APK pun tampak dipasang asal-asalan. Selagi ada tempat kosong, maka APK bisa dipasang di sana. Tak jarang pula APK antar calon legislatif (caleg) tumpang tindih lantaran tidak ada tempat. Mirisnya, beberapa APK terlihat dipaku, ditali, dan ditempel di pohon pinggir jalan.

APK yang berantakan dan cenderung merusak lingkungan ini justru menuai hujatan. Mereka menyampaikan keluhannya melalui sosial media. Bahkan, ada APK yang menyebabkan kecelakaan hingga korban meninggal dunia.

Keresahan inilah yang melatarbelakangi suatu gerakan dari masyarakat sipil yang peduli akan risiko APK tidak ramah lingkungan. Salah satunya adalah AELAH, gerakan yang lahir pada 2021. Pada dasarnya, gerakan ini berfokus untuk pelestarian lingkungan dengan melakukan penanaman pohon. Di satu sisi, mereka juga geram akan politisi yang memaku pohon sembarangan untuk kepentingannya berkampanye.

Baliho dan spanduk yang dipasang sembarangan tentu tidak mempertimbangkan risiko ke depannya. Padahal, dampak yang timbul seperti efek domino yang tak berkesudahan. Akibat cuaca buruk, APK bisa rusak dan jatuh. Kondisi ini tentu membahayakan bagi warga sekitar. 

Selain itu, APK juga berdampak buruk bagi lingkungan. Sebagian besar bahan yang digunakan untuk baliho dan spanduk tidak ramah lingkungan. Setelah kampanye, APK tersebut hanya akan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) dan sulit terurai. Beruntung jika kondisinya masih bagus dapat digunakan kembali, misalnya untuk alas duduk.

Minimnya Penegakan Hukum Soal Atribut Kampanye

Sebenarnya larangan kampanye dengan menempelkan APK di pepohonan sudah tercantum dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 Pasal 70. 

Di sana tertulis bahwa peserta pemilu dilarang menempelkan APK di tempat umum seperti tempat ibadah, rumah sakit atau pelayanan kesehatan, tempat pendidikan, gedung/fasilitas pemerintah, jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana prasarana publik, serta taman dan pepohonan.

Hal serupa juga berlaku untuk APK berupa spanduk, reklame, dan umbul-umbul. APK tersebut tidak boleh dipasang di fasilitas lain yang dapat mengganggu ketertiban umum, termasuk di halaman, pagar, dan/atau tembok. Aturan ini tercantum dalam Pasal 71 PKPU Nomor 15 Tahun 2023.

Meski aturan sudah ada, tetapi implementasinya sangat jauh dari kata tertib. Aturan seolah hanya menjadi pelengkap saja. Tidak banyak pihak berwajib yang mau menertibkan pemasangan APK yang melanggar.

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga memiliki kebijakan terkait pengawasan terhadap pemasangan alat peraga kampanye. Hal ini tercantum dalam Pasal 25A Peraturan Bawaslu Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bawaslu Nomor 28 Tahun 2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilihan Umum.

Baca Juga: Caleg Perempuan Minim di Pemilu 2024, Hanya 1 dari 18 Parpol Penuhi Kuota 30%

Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa Bawaslu harus memastikan agar alat peraga kampanye dipasang sesuai ketentuan yang ada, tetap memperhatikan estetika lingkungan, dan mendapat izin tertulis dari pihak terkait.

Oleh karena lembaga tidak tegas, munculah gerakan dari kelompok masyarakat yang peduli akan dampak kerusakan lingkungan akibat pemasangan APK yang tak taat aturan. Sebut saja gerakan ini AELAH. Mereka akan menandai spanduk-spanduk caleg yang dipaku di pohon dengan tulisan “tersangka penusukan pohon”.

“Aksi kami ini tidak seberapa merusaknya dibanding apa yang para politisi lakukan terhadap lingkungan,” tulis akun @aelah.id melalui unggahan Instagram pada pertengahan Januari 2024.

AELAH juga berpesan agar para politisi tak perlu jauh-jauh bicara gagasan jika belum bisa menghargai lingkungan hidup. Gerakan ini lantas menuai respon positif dari masyarakat. Bahkan, masyarakat mendukung gerakan sejenis AELAH untuk terus menebarkan manfaat dan mengawal peraturan yang ada.

“Sangat disayangkan sekali ketika hal yang mendasar saja disepelekan gitu. Pantas saja korupsi di mana-mana, kebakaran hutan, terjadi banjir, pantas saja bencana yang disebabkan oleh keserakahan itu ada terus karena dalam kompetisi perebutan kursi dan hak-hak itu sendiri dengan cara yang melanggar,” ujar Koala (nama samaran) dari AELAH kepada Konde.co pada Kamis (25/1/2024).

Atribut Kampanye Sembarangan Dapat Merusak Lingkungan 

Dosen Kajian Gender Universitas Indonesia, Hariati Sinaga menyebut bahwa pemasangan spanduk di pohon menggunakan paku juga berdampak buruk bagi pohon tersebut. Cuaca buruk akan semakin memperparah kondisi yang ada sehingga pohon pun rentan tumbang.

“Kalau dipasangnya di pohon, bukan cuma merusak pohonnya aja. Tapi pohonnya makin rentan akibat angin kencang karena dia harus menahan bebannya dia sendiri dan menahan beban spanduk,” ujar Hariati saat dihubungi Konde.co pada Rabu (24/1/2024).

Paku dapat menyebabkan bagian dalam pohon menjadi berlubang. Dalam kondisi luka seperti ini, rayap akan dengan mudah memakan kayu tersebut hingga habis. Apalagi jika kondisi paku sudah berkarat. Memang kerusakannya tidak terlihat dari luar, tetapi bagian dalam batang kayu sudah habis. Akhirnya, pohon pun keropos dan tumbang.

Hariati juga menceritakan bahwa baliho dan spanduk yang terpasang di setiap sudut kota dan daerah mayoritas terbuat dari plastik. Kondisi ini sangat berbeda dibanding 10-20 tahun lalu yang mana bahan dasar kain masih mudah ditemui.

Baca Juga: Sebagai Mantan Atlet, Saya Kecewa Olahraga Berprestasi Tidak Masuk dalam Debat Capres

Perlu diketahui bahwa Indonesia termasuk negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran untuk mengurangi penggunaan plastik. Padahal, sampah plastik sangat sulit terurai di darat dan di laut. Pun jika dibakar, asapnya akan sangat berbahaya bagi saluran pernapasan manusia.

Produksi plastik untuk baliho dan spanduk ini terjadi dalam waktu yang bersamaan. Ditambah tidak adanya ketentuan pasti bagi masing-masing partai untuk membatasi jumlah APK yang bisa digunakan untuk caleg maupun pasangan calon (paslon) yang diusungnya. Belum lagi ukurannya yang seringkali tidak seragam membuat APK hanya dipandang sebagai sampah visual saja.

“Kita selalu terganggu dan tidak bisa melihat pemandangan yang lebih baik dibandingkan baliho atau spanduk, karena tidak dilaksanakannya dan ditertibkannya ketentuan mengenai pemasangan spanduk dan baliho,” ujar Hariati saat dihubungi Konde.co pada Rabu (24/1/2024).

Apabila partai politik memiliki kesadaran akan lingkungan, mereka tentu akan membatasi jumlah atribut kampanye yang digunakan. Bahkan setelah kampanye berakhir, APK tersebut harus dikelola dengan baik.

“Apa yang akan dilakukan dengan limbah ini dan akan dibuang ke mana? Siapa yang akan menanggung semua limbah-limbah ini? Itu yang menjadi pertanyaan penting,” tambah Hariati.

Alih-alih menggunakan atribut kampanye yang berdampak buruk bagi lingkungan, peserta pemilu bisa mencari alternatif lain untuk tetap bisa berkampanye. Mereka tetap bisa mempromosikan visi, misi, dan program kerja dengan memaksimalkan teknologi yang ada.

Ancaman Bagi Kelompok Rentan

Selain menjadi sampah visual, spanduk dan baliho juga bisa mengganggu kenyamanan publik. Tak tanggung-tanggung, APK tersebut merampas hak pejalan kaki dengan memasangnya di trotoar. Belum lagi jika APK yang rusak dan tertiup angin mengenai pengendara sepeda motor.

Baru-baru ini, kabar tentang kecelakaan yang disebabkan tertimpa baliho ramai diberitakan. Korbannya pun masyarakat sipil yang tergolong kelompok rentan yakni perempuan, anak-anak kecil, dan lansia.

Pada Rabu (17/1/2024), dua orang lansia mengalami kecelakaan tunggal akibat tertimpa bendera partai politik di Flyover Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Sang suami mendapat 12 jahitan di pipi sebelah kanan, sementara istrinya mengalami patah tulang di kaki kirinya.

Kejadian serupa juga menimpa seorang siswi di Kebumen, Jawa Tengah. Naasnya, ia meninggal dunia usai tertimpa baliho caleg pada Rabu (10/1/2024). Helm yang digunakannya lepas sehingga mengakibatkan luka cukup serius di bagian kepala lantaran membentur beton pinggir jalan.

Baca Juga: Usai Nonton Debat Capres, Yuk Kepoin Fakta Soal 3 Kandidat

Dua peristiwa di atas hanyalah sebagian dari banyaknya kasus yang terjadi, terlebih di Januari 2024. Sayangnya, dampak tersebut tidak menjadi pertimbangan para peserta pemilu. Padahal, tidak semua orang yang terdampak memiliki akses terhadap layanan BPJS Kesehatan atau asuransi tertentu.

“Dampak-dampaknya itu tidak dipertimbangkan dengan cermat. Selain karena kita punya partai yang banyak dan lokasi yang cukup luas, jadi tidak diperhitungkan,” ujar Hariati.

Ia menambahkan, jika partai politik bisa memperhitungkan dengan cermat, maka kejadian-kejadian tersebut bisa diminimalisir. Misalnya dengan melokalisasi alat peraga kampanye agar berada di satu tempat saja. Dengan begitu, risiko akan sampah visual dan bahayanya bagi pengguna jalan bisa ditekan.

Pada akhirnya, partai politik dan peserta pemilu harus mempertimbangkan risiko pemasangan alat peraga kampanye yang tak beraturan. Sebab, dampaknya bisa menjadi efek domino yang merugikan lingkungan dan masyarakat sipil. Jadi, perlu ada keseimbangan antara menggunakan spanduk, baliho, videotron, gadget, atau sarana kampanye lainnya. 

“Jangan sampai seperti yang kita lihat sekarang, tidak ada ketentuannya, tidak mempertimbangkan safety (keamanan) terutama pada musim angin kencang, banjir, dan bagaimana mekanisme limbahnya,” tutup Hariati.

(Sumber Gambar: VOI)

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!