Tiga ahli hukum tata negara yang menjadi narasumber film 'Dirty Vote': Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar. (sumber foto: Instagram Dandhy Laksono)

Film ‘Dirty Vote’ Dirilis Jelang Pemilu, Di Tengah Demokrasi yang Lagi Roboh

Tiga hari jelang pencoblosan pemilu 2024, film dokumenter ‘Dirty Vote’ dirilis dan menjadi perbincangan publik soal kecurangan pemilu. Berbagai respons yang hadir pun, menunjukkan tantangan di tengah demokrasi yang roboh di tangan penguasa.

“Untuk menjalankan skenario kotor seperti ini, tak perlu kepintaran atau kecerdasan. Yang diperlukan cuma dua: mental culas dan tahan malu.” 

Sepenggal kalimat penutup di film ‘Dirty Vote’ disampaikan Dosen STH Jentera dan ahli hukum, Bivitri Susanti. 

Kalimat ini merefleksikan sekaligus menyentak soal proses pemilu 2024 ini yang sarat akan dugaan kecurangan yang dilakukan Presiden melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Yaitu soal pencalonan anak Presiden menjadi Cawapres, Gibran Rakabuming Raka. Juga soal pembagian Bansos, posisi presiden yang tidak netral pada Capres dan Cawapres Prabowo dan Gibran. Serta keterlibatan aparat yang digerakkan untuk Capres dan Cawapres.

Film dimulai dengan wawancara wartawan dengan Presiden Jokowi dan istrinya, Iriana tentang kenapa anak-anak presiden tidak mau terjun ke dunia politik? Jokowi menyatakan, di keluarganya, tak ada yang berminat terjun ke dunia politik. Gibran tidak mau, Kaesang sibuk jualan, sepertinya hanya Bobby Nasution, menantunya yang tertarik, begitu jawab Jokowi.

Namun hanya selang beberapa tahun kemudian, kondisi berubah total. Gibran ingin jadi Cawapres, Kaesang menjadi ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Bobby pernah jadi walikota Medan. 

Film ini menyoroti berlangsungnya proses dinasti dalam keluarga presiden telah menggerakkan anak-anaknya untuk terjun ke politik praktis, dengan campur tangannya. Campur tangan presiden inilah yang kemudian bermasalah hingga sekarang. Tak hanya keluarga, campur tangan lain juga dilakukannya lewat menteri-menteri.

Baca Juga: Kampus Bergerak: Pak Jokowi, Situasi Kritis, Berhentilah Ikut Campur Pencalonan Gibran

Sejak tayang 11 Februari 2024 kemarin, film itu telah banyak dikutip di sosial media. Jumlah penonton film dokumenter di akun Youtube Dirty Vote pun sudah tembus lebih dari 4,5 juta penonton.  

Dirty Vote juga mengingatkan tentang bagaimana kekuasaan telah digunakan oleh penguasa dimana-mana, tak hanya di Indonesia, dan tak hanya dilakukan di masa sekarang. Ini dilakukan tak lain untuk merusak demokrasi dan melukai publik. Pemilu adalah salah satu momentum yang dipakai.

Dirty Vote persisnya adalah dokumenter eksplanatori yang disampaikan 3 ahli hukum tata negara. Mereka adalah Bivitri Susanti, dosen UGM dan pakar hukum, Zainal Arifin Mochtar dan dosen Universitas Andalas dan pakar hukum Feri Amsari. Ketiganya menerangkan, betapa berbagai instrumen kekuasaan digunakan oleh Presiden Jokowi dan sejumlah Capres dan Cawapres untuk memenangkan pemilu. Sekalipun, prosesnya menabrak, bahkan merusak demokrasi.  

Bivitri bilang, film ini sebagai rekaman sejarah atas sejumlah fakta dan data yang terjadi di masa pemerintahan Jokowi, bagaimana kekuasaan disalahgunakan secara terbuka oleh Jokowi. Penggunaan kekuasaan yang kuat dengan infrastruktur mumpuni, tanpa malu-malu dipertontonkan demi mempertahankan status quo. 

“Munculnya (film dokumenter) ini ingin menempatkan semua dalam sebuah kerangka besar,” ujar Bivitri dalam Xspace “2024: Pemilu Paling Pilu? Diskusi Film Dirty Vote!” pada Minggu malam (11/2). 

Baca Juga: Demokrasi Ada di Tanganmu, Jadilah Pemilih Kritis di Pemilu 2024

Kerangka besar yang dimaksudnya ialah tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu. Tapi, bagaimana pemilu berlangsung. Bukan hanya penghitungan suara, tapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi. 

Adapula soal kekuasaan yang menurutnya, disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis. 

Film Dirty Vote ini proses produksi filmnya boleh jadi cuma 2 minggu. Tapi, isinya sebetulnya adalah hal-hal yang sudah sering diperbincangkan sejak bertahun lalu terlebih akhir-akhir ini. Baik dalam forum-forum panjang diskusi akademik ataupun talk show di TV. 

“Kami bertiga (Bivitri, Zainal, Feri) punya kelompok yang berkumpul. Kami teriak-teriak sudah 3 tahun lalu tapi sering dibantah. Waktu 3 tahun lalu, apalagi banyak yang masih cinta betul dengan Pak Jokowi. Buzzer masih aktif sekali. Biasanya kami diserang balik, dipermalukan,” ungkap Bivitri.

Feri Amsari, juga menyampaikan pesan soal esensi pemilu yang (mestinya) cinta tanah air. Menurutnya, membiarkan kecurangan merusak pemilu sama saja merusak bangsa ini.

“Rezim yang kami ulas dalam film ini, lupa bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat. Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” jelas Feri.

Baca Juga: Pemilih Perempuan Jadi Sasaran Politik Uang dan Janji Manis Kontestan Pemilu

Feri dalam Dirty Vote menyoroti peran Jokowi yang menggunakan kekuasaannya untuk melakukan pelanggaran putusan MK sejak 2021. Jokowi melakukan penunjukkan Penjabat Gubernur (PJ) di 20 provinsi dan 182 PJ Walikota/Bupati. Kewenangan yang ada di tangan Mendagri, namun atas restu Jokowi. 

“Pada dasarnya mereka tidak mematuhi putusan MK, Mahkamah menentukan bahwa proses penentuan Penjabat (PJ) haruslah dilakukan dengan cara terbuka dan transparan. Mereka harus mendengarkan aspirasi pemda dan masyarakat daerah. Sekaligus taat pembentukan teknisnya, agar dapat berlangsung dengan fair. Karena ini melanggar putusan MK, Komisi Informasi Pusat dan Ombudsman menyatakan, penunjukkan penjabat itu telah melakukan maladministrasi,” jelas Feri. 

Dokumenter Dirty Vote disutradarai oleh jurnalis, Dandhy Dwi Laksono. Ini merupakan film keempat yang disutradarainya mengambil momentum pemilu. Pada 2014 Dandhy lewat rumah produksi WatchDoc meluncurkan film “Ketujuh”, masa itu dimana kehadiran Jokowi dielu-elukan sebagai sosok pembawa harapan baru. 

Pada 2017, Dandhy menyutradarai “Jakarta Unfair” tak berapa lama menjelang Pilkada DKI Jakarta. Dua tahun kemudian, Film Sexy Killers tembus 20 juta penonton di masa tenang pemilu 2019. Sexy killers membongkar jaringan oligarki bercokol pada kedua pasangan calon yang berlaga saat itu, Jokowi – Maruf Amin versus Prabowo-Hatta.

Baca Juga: Pemilu Untuk Rakyat, Bukan Hajat Para Elit: 5 Hal Penting Maklumat Politik KUPI

Dandhy mengatakan, Dirty Vote menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu. Diharapkan tiga hari yang krusial menuju hari pemilihan, film ini akan mengedukasi publik serta banyak ruang dan forum diskusi yang digelar.

“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres. Tapi hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara.” ungkapnya.

Berbeda dengan film-film dokumenter sebelumnya di bawah bendera WatchDoc dan Ekspedisi Indonesia Baru, Dirty Vote lahir dari kolaborasi lintas CSO. Dokumenter ini dikerjakan koalisi masyarakat sipil. Biaya produksinya dihimpun melalui crowdfunding, sumbangan individu dan lembaga, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.

Dianggap Fitnah, Dipertanyakan Kapasitas, Hingga Pelarangan Nobar

Kendati film ini tak hanya mengungkap dugaan kecurangan yang dilakukan presiden, namun juga tentang bagaimana Capres dan Cawapres lainnya, Ganjar-Mahfud yang menggerakan sejumlah aparat desa dan menteri, dan Anies- Muhaimin menggerakkan sejumah menteri untuk berkampanye, namun TKN Prabowo- Gibran yang bereaksi paling cepat.

Hanya selang beberapa jam usai film dokumenter Dirty Vote tayang pukul 11 siang, konferensi pers TKN Prabowo-Gibran digelar. Mereka merespons penayangan film dokumenter itu. 

Habiburokhman, Wakil Komandan Echo (Hukum dan Advokasi) TKN Prabowo Gibran, menyampaikan film dokumenter itu berisi fitnah tak berdasar. Narasi yang dibangun bernada asumtif dan tidak mencerminkan kajian ilmiah. 

“Di negara demokrasi, semua orang memang bebas menyampaikan pendapat. Namun, perlu kami sampaikan bahwa sebagian yang disampaikan bahwa sebagian besar yang disampaikan film tersebut adalah sesuatu bernada fitnah,” Habiburokhman di media center TKN Prabowo Gibran dikutip dari Kompas.

Pihaknya juga mempertanyakan kapasitas tokoh-tokoh yang ada di film itu. Padahal, jika dirunut kapasitas para tokoh itu bisa dikatakan kredibel. Baik itu Bivitri, Zainal ataupun Feri.  

Baca Juga: KPU Terbukti Langgar Kuota Caleg Perempuan: Koreksi 267 DCT Harus Dilakukan

Dilansir dari situs Jentera, Bivitri adalah dosen di Jentera  yang pernah menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government (2013-2014). Dia juga pernah menjadi visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018. 

Bivitri juga pernah menerima Anugerah Konstitusi M Yamin dari Pusat Studi Konstitusi Unand dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) sebagai Pemikir Muda Hukum Tata Negara (2018). Ia aktif menerbitkan publikasi hingga terlibat dalam berbagai kelompok kerja reformasi sektor Peraturan Perundang-undangan. 

Zainal juga merupakan doktor dari Fakultas Hukum UGM. Dia mengenyam S1 Ilmu Hukum di UGM dan S2 Ilmu Hukum di Universitas Northwestern, Chicago, AS. Bukan hanya akademisi, Zainal juga merupakan peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM hingga aktif sebagai Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (2022).

Dalam situs Jurnal Antikorupsi KPK, Feri juga dikenal sebagai aktivis hukum selain akademisi di Fakultas Hukum Unand. Laki-laki yang menempuh S2 dengan tesis perbandingan hukum AS dan Asia di William and Mary Law School, Virginia, AS itu juga merupakan Direktur Pusako Fakultas Hukum Unand.  

Baca Juga: Politik Dinasti Bisa Jadi Ancaman di Pemilu 2024, Kita Bisa Apa?

Maka seperti kata Bivitri dalam XSpace, upaya-upaya untuk mempertanyakan kapasitas mereka kaitannya soal hukum tata negara itu justru sebagai represi kekuasaan. 

“Itu di dunia post truth, itu seringkali malah dipertanyakan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang-orang yang punya kuasa,” kata Bivitri ditanya soal anggapan bukan pakar. 

Tak berhenti sampai di situ, acara pemutaran film dokumenter ‘Dirty Vote’ yang mestinya digelar Minggu malam pukul 19.00-21.30 WIB pun digagalkan. 

Dari pernyataan resmi yang diterima Konde.co, tepatnya pukul 21.58 WIB koalisi masyarakat sipil Salam 4 Jari, mendapat kabar di MBloc Creative Hall mendadak dilarang oleh pihak Peruri sebagai pemilik aset. Alasannya, tidak ketahui dengan pasti. 

Keesokkan harinya, Salam 4 Jari mengumumkan bahwa pelarangan nonton bareng (nobar) dan diskusi film yang dilakukan itu merupakan tindakan represif untuk membunuh demokrasi. 

“Dirty Vote merupakan film dokumenter yang membahas kecurangan proses pemilu 2024. Tindakan pembungkaman melalui pelarangan nobar dan diskusi film sekaligus upaya pencegahan edukasi kepada masyarakat,” tulis mereka, Senin (12/2).  

Baca Juga: Awasi Pemilu, Pemilik Media Gunakan Televisi untuk Kepentingan Partainya

Sebagai deklarator Salam 4 Jari, John Muhammad menjelaskan, Minggu, 11 Februari 2023, pukul 21.58, secara mendadak Salam 4 Jari menerima pemberitahuan dari pihak manajemen M Bloc melalui WhatsApp bahwa mereka memperoleh larangan dari Peruri sebagai pemilik aset bangunan yang digunakan MBloc untuk meminjamkan tempat. 

Tak berselang berapa lama, Surat Ralat Keputusan Peminjaman Tempat di Creative Hall, M Bloc Space yang dilayangkan oleh MBloc telah diterima oleh Salam 4 Jari pada Senin, 12 Februari 2024 jam 00.42 WIB. 

“Menurut pihak MBloc, penyelenggaraan acara ini bertentangan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait Masa Tenang pada 11-13 Februari 2024 yang melarang melakukan aktivitas kampanye apapun terkait pemilu,” ujarnya. 

Padahal, menurut John, Peraturan KPU (PKPU) No. 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum pada Pasal 27 ayat (4) menyatakan bahwa Masa Tenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peserta Pemilu dilarang melaksanakan Kampanye Pemilu dalam bentuk apapun

Lebih detail John memaparkan, Bab V Pemberitaan dan Penyiaran, pasal 56 ayat (4) menyatakan bahwa Selama Masa Tenang, media massa cetak, Media Daring, Media Sosial, dan Lembaga Penyiaran dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan Kampanye Pemilu yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu. 

Baca Juga: Tak Cuma Perempuan, Laki-laki Juga di Pusaran Manuver Politik Keluarga

Gerakan Salam 4 Jari, menurut John, bukan media massa cetak, Media Daring, Media Sosial, dan Lembaga Penyiaran untuk mengarahkan kepada kepentingan Kampanye Pemilu yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu. 

Penyelenggaran nobar dan diskusi film Dirty Vote oleh Salam 4 Jari bertujuan untuk mengedukasi kepada masyarakat sebagai pemilih agar memahami desain dan penyelenggaran kecurangan Pemilu 2024 dari hulu hingga ke hilir. Dengan demikian Salam 4 Jari bukan subjek hukum yang dilarang berdasarkan PKPU No 15/ 2023 pasal 56 ayat (4). 

Ia menegaskan, bahwa rakyat ternyata tidak takut, dan akan terus menyebarluaskan dan mendiskusikan film ini. Salah satu yang akan melangsungkan diskusi tersebut adalah ICW dan Bersama Indonesia. 

“Ibarat pepatah: patah satu tumbuh seribu. Mari kita jadikan ini sebagai simbol perlawanan. Lanjutkan Gerakan Salam 4 Jari ini sampai kita pastikan rakyat benar-benar menang,” pungkas John.

(sumber foto: Instagram Dandhy Laksono)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!