Luviana- www.Konde.co
Pernahkah anda melihat atau mendengar cerita tentang para perempuan yang terpaksa, tak mau ikut dalam forum yang isinya bapak-bapak semua, laki-laki semua?. Saya sering mendengarnya.
Pada sejumlah kesempatan, saya bahkan melihat banyak perempuan yang enggan untuk berkumpul dalam forum yang isinya hampir semua laki-laki. Karena jika mereka berbicara, ada rasa minder, ada rasa takut-tidak tahu harus bicara apa, dan ada rasa bingung dengan forum yang banyak memperdebatkan hal ini dan itu dan perempuan yang berada dalam ruangan itu kemudian diacuhkan begitu saja.
kawan perempuan saya, Sherin pernah menuliskan dalam blog solidaritas.net:
“Sehari-hari, pengalaman kami perempuan kerap tak dihargai. Penghargaan itu akan muncul kalau kami sanggup berpikir dan bersikap seperti lelaki. Contohnya begitu dekat, di sebuah rapat seorang perempuan berusaha mengacu pada pengalamannya dalam menjelaskan sesuatu yang menjadi maksudnya, dia akan dianggap bertele-tele, pembicaraannya akan dipotong-potong, diremehkan. Seorang perempuan dianggap pandai apabila ia bisa menerangkan maksud-maksudnya seperti lelaki, mengabstraksi seperti lelaki, membuang cerita-cerita yang remeh-temeh. Tak peduli cerita remeh-temeh itu mewakili jutaan manusia yang bernama perempuan atau jutaan sudut pandangnya.”
Di luar itu misalnya, ada sejumlah ibu yang saya temui merasakan kebingungan jika harus berpendapat di depan umum. Ia takut jika pendapatnya ditertawakan laki-laki.
“Karena banyak yang seperti itu kenyataannya,” kata ibu teman saya, pada suatu hari.
Sejumlah ibu lain juga merasakan hal yang sama. Ia tak kuat berdebat di tengah debat-debat sengit karena harus cepat pulang, mengurus anaknya di rumah dan mengurus rumah. Pikirannya sudah kemana-mana diantara debat sengit itu. Karena ia pengin cepat pulang, harus cepat-cepat mengurus anak dan rumah karena suaminya tak mau membantu menyelesaikan pekerjaan rumah mereka.
Tak hanya itu, para perempuan yang tidak mau berdebat sering mendapatkan cap buruk sebagai perempuan yang tak pintar, tak bisa berpendapat, tak punya pendapat. Padahal kenyataannya tak sesederhana itu. Banyak perempuan yang memang ingin berdebat secara simpel, tak mau bertele-tele, karena mereka harus menyisihkan waktunya untuk pekerjaan lain.
Inilah yang kemudian banyak disebut sebagai upaya, tindakan peremehan terhadap pengalaman perempuan.
Karena kekuatan sejumlah perempuan bukan pada debat sengit, namun kekuatan mereka adalah pada pengalaman sehari-hari mereka dalam mengelola kehidupan, di tengah waktu mereka yang sempit- diantara waktu perempuan yang harus bekerja di luar dan bertanggungjawab di dalam rumah, mereka masih bisa berdiskusi, menyisihkan waktunya, menghilangkan rasa mindernya.
Karena bagi perempuan, pengalaman perempuan adalah kehidupan keseharian mereka. Inilah sumber pengalaman perempuan.
Perempuan hidup dengan pengalaman mereka sehari-hari. Bukan dari teori besar, bukan dari mimpi atau cita-cita, namun dari pengalaman mereka sehari-hari.
Pengalaman perempuan memang telah lama menjadi pusat penelitian para feminis. Awal feminisme gelombang kedua menganggap membawa suara dan berbagi pengalaman perempuan sebagai kunci untuk mengembangkan persaudaraan dan untuk membangun ketahanan kolektif perempuan.
Di tahun 1969, ada ‘Manifesto dari Redstockings’ yang menyatakan: “Kami menganggap pengalaman pribadi kami (perempuan) dan perasaan tentang pengalaman sebagai dasar untuk analisis situasi kita bersama. Tugas utama kami saat ini adalah untuk mengembangkan kesadaran kelas perempuan melalui berbagi pengalaman dan publik mengekspos situasi seksis yang banyak dilekatkan pada kami.
Pengalaman adalah situasi keseharian perempuan dalam mengelola kehidupan. Mereka mungkin tak mau berdebat soal teori-teori besar, karena pengalaman bagi perempuan adalah contoh konkret bagaimana mereka mengelola kehidupan dan menumbuhkan kehidupan baru.
Jadi, tidak pada tempatnya jika kita mengabaikan pengalaman perempuan khan?
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
(Referensi: http://blog.solidaritas.net/2016/12/mengakui-pengalaman.html)
(http://sk.sagepub.com/reference/the-sage-handbook-of-feminist-theory/n5.xml)