Beberapa hari sebelum pemilu tanggal 14 Februari, saya sudah sangat tegang dan cemas dengan prospek kemenangan calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto dan pasangannya Gibran Rakabuming Raka.
Awal bulan ini, survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia memproyeksikan bahwa mantan jenderal dan putra Presiden petahana berusia 36 tahun itu akan meraih lebih dari 50 persen suara dalam satu putaran.
Pada tanggal 14 Februari, ketika pada sore hari hal ini menjadi kenyataan – dan mimpi buruk – saya tenggelam ke dalam depresi berat. Saya menceritakan perasaan saya kepada beberapa teman, termasuk seorang duta besar Eropa Barat yang dengan entengnya menjawab, “Jangan sedih. Ini demokrasi”.
Mengingat perasaanku yang sedang begitu terluka, hanya dibutuhkan pemicu kecil untuk meledak. “Komentar Anda bersifat maskulinis, patriarkal, merendahkan, menggurui, dangkal, simplistik, dan menunjukkan bahwa Anda tidak tahu apa-apa tentang demokrasi Indonesia, bahkan setelah hampir X tahun di sini!” Saya menyemprotnya melalui WhatsApp.
Mungkin saya agak kasar – maaf Pak Dubes! – seharusnya saya lebih diplomatis.
Baca Juga: Pidato Jokowi: Hanya Sekali Sebut Isu Iklim, Isu Ekonomi Disebut 66 Kali
Pada saat yang sama, saya rasa reaksi saya dapat dimengerti. Saya hidup selama 32 tahun di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru (1966-1998), dan 25 tahun di Era Reformasi (1998-). Kenyataan bahwa seluruh perjuangan dan pengorbanan yang saya, dan banyak orang lain lakukan, untuk mendemokratisasi Indonesia, diruntuhkan begitu saja seperti rumah kartu, sungguh tragis. Berbakti pada Indonesia dari dulu merupakan motivasi utama hidup saya. Jadi ketika perjuangan, idealisme, dan harapan saya diremehkan seperti itu, langsung memunculkan taring saya.
Media penuh dengan analisis tentang mengapa kepresidenan Prabowo dapat berarti kemunduran serius bagi demokrasi Indonesia. Yang memang telah mengalami kemunduran selama beberapa waktu di bawah pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo (dan bahkan sebelumnya). Dalam kasus Prabowo, ini bukan hanya tentang catatan hak asasi manusianya di masa lalu, namun juga visinya bagi masa depan Indonesia, pemerintahan neo-Orde Baru yang dipimpin Soeharto – mantan mertuanya. Jokowi telah menjadi perwujudan pembangunanisme Soeharto, terutama pada masa jabatan keduanya (2019-2024), dan Prabowo menjanjikan kesinambungannya.
Baca Juga: ‘The Woman King,’ ‘The Hunger Games’: Makin Banyak Perempuan Jadi Pahlawan di Film Hollywood
Bukan berarti saya merasa dua kandidat lainnya layak mendapat dukungan. Anies Baswedan bisa jadi merupakan penyebab meningkatnya politisasi Islam, dengan Islam konservatif di garis depan. Ganjar Pranowo dalam pernyataan visi misinya berjanji menyelamatkan lingkungan, namun kenyataannya dia membela pemodal. Meski ada putusan Mahkamah Agung yang mewajibkan pembangunan dan operasionalisasi pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng di Rembang, Jawa Tengah, dihentikan karena menyebabkan kerusakan lingkungan. Ganjar, selaku Gubernur Jawa Tengah, mengeluarkan izin yang menentang keputusan pengadilan dan menghidupkan kembali proyek tersebut (The Jakarta Post, 24 Maret 2017).
Namun yang membingungkan saya, dan banyak orang lainnya, adalah metamorfosis Jokowi dari seorang presiden reformis yang rendah hati, menjadi “Soeharto Kecil”. Daya tarik awalnya bagi para pemilih adalah minimnya koneksinya dengan elite, oligarki, militer, dan kelompok politik Islam mana pun, serta kenyataan bahwa ia tampaknya tidak korup.
Fakta bahwa ia berubah 180 derajat sama fantastisnya dengan transformasi Gregor Samsa dari seorang penjual keliling menjadi seekor kecoa dalam Metamorphosis novela tahun 1915 karya Franz Kafka. Bedanya, Samsa tiba-tiba terbangun sebagai serangga, sedangkan Jokowi secara bertahap dan sadar menjelma menjadi koloni rayap penghancur demokrasi.
Pada awal masa kepresidenannya, Jokowi berjanji memberantas korupsi, merombak birokrasi, meningkatkan infrastruktur Indonesia, memfasilitasi investasi, meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menciptakan “revolusi mental” dan menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Dari daftar tersebut, ia hanya berhasil melaksanakan dua hal: perluasan infrastruktur dan secara agresif menarik investasi. Mungkin juga pertumbuhan ekonomi. Selebihnya, dia gagal total.
Baca Juga: Hari HAM 2023: Jokowi Tak Bereskan 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Yang juga membingungkan adalah sikapnya yang terang-terangan dan tidak tahu malu melanggar peraturan, memperlakukan Indonesia sebagai wilayah kekuasaannya, dan terlibat nepotisme untuk membangun dinasti politiknya. Mahkamah Konstitusi di bawah Anwar Usman, kakak ipar Jokowi, mengubah aturan agar Gibran bisa mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Sebelumnya, calon presiden dan wakil presiden harus berusia minimal 40 tahun.
Bagaimana Jokowi, “anak Reformasi” – bisa menghasilkan “anak haram Konstitusi”, julukan bagi Gibran yang akan dicatat dalam sejarah?
Mungkinkah setelah jadi presiden, Jokowi jadi kecanduan kekuasaan?
Menurut Gabor Maté, dokter Kanada serta ahli trauma dan kecanduan kondang, trauma masa kanak-kanak menyebabkan kecanduan. Trauma masa kecil apa yang dialami Jokowi hingga berujung kecanduan kekuasaan? Kemiskinan keluarganya semasa kecil tergambar jelas dalam film biografi “Jokowi” tahun 2013. Apakah hal itu membuatnya trauma atau membuatnya merasa minder? Apakah dia ingin membuktikan bahwa wong ndeso seperti dirinya bisa lebih hebat daripada presiden yang berasal dari elite penguasa? Atau apakah kita hanya perlu merujuk kepada pepatah lama yang mengatakan “kekuasaan itu korup dan kekuasaan yang absolut menciptakan kekorupan absolut”?
Maté menjelaskan, ada dua hal yang dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup: keterhubungan dan otentisitas. Berkaitan dengan hal tersebut, kita harus menjalani kehidupan kita sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai kita sendiri. Bukan seperti yang diharapkan masyarakat. Keterhubungan diperlukan untuk bertahan hidup. Difasilitasi oleh endorfin, hormon yang dilepaskan ketika stres, menderita rasa sakit, atau saat melakukan aktivitas menyenangkan, seperti makan, olahraga, pijat, dan seks.
Saya percaya bahwa jati diri Jokowi yang sebenarnya adalah orang yang baik dan rendah hati, yang ingin memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Namun “takdir” tiba-tiba melambungkannya ke dunia orang kaya, terkenal dan berkuasa. Kekuasaan menjadi endorfinnya. Untuk bertahan di lingkaran barunya, ia harus terhubung pada lingkaran tersebut. Kelompok kecil presiden Indonesia, dan masyarakat luas yang terdiri dari elite penguasa dan oligarki – dan karena itu harus menyesuaikan diri.
Baca Juga: Dear DPR, Presiden Jokowi Perintahkan UU PPRT Segera Disahkan
Dia melakukannya dengan cara yang paling buruk: menghancurkan demokrasi Indonesia sekaligus mengorbankan jati dirinya: wong ndeso yang dengan bangga dia perkenalkan pada kampanye presiden pertamanya dan pada awal masa jabatannya di tahun 2014. Dengan cepat dia mengadopsi politik akomodasi, dan menjadi politisi dengan ambisi megalomaniak. Itulah motivasi di balik proyek infrastruktur besarnya, dengan IKN, ibu kota baru di Kalimantan Timur, sebagai yang paling ambisius.
Jika ia memilih menjadi seorang reformis – dan mungkin juga negarawan – hal ini akan menjauhkannya dari (mafia) kalangan elite penguasa dan oligarki. Dia akan menciptakan musuh yang kuat, dan bahkan bisa saja digulingkan sebagai presiden. Untuk melawan arus, Anda harus memiliki kekuatan spiritual, namun hal ini tampaknya tidak dimiliki Jokowi. Oleh karenanya, ia membutuhkan kekuatan eksternal, yang sayangnya merupakan hal yang diutamakan di dunia saat ini.
Pemilu tahun 2024 digambarkan sebagai pemilu terburuk dari enam pemilu yang pernah kita laksanakan sejak Reformasi. Bahkan, ia disamakan dengan serial novel dystopian The Hunger Games. Jokowi, partai politik, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam pemilu telah bermain sesuai aturan Hunger Games yang paling penting: kekuasaan.
Tragisnya, ‘Hunger Games‘ ini tidak hanya berdampak pada kehancuran demokrasi, namun juga kemanusiaan.
*Tulisan pernah dimuat di The Jakarta Post dalam bahasa Inggris, dimuat kembali dengan seizin penulis
(Sumber Gambar: Biro Sekretariat Presiden)