Suami Istri Cerai Karena Beda Pandangan Politik, Sampai Penyerangan Seksual: Kekerasan Perempuan di Pemilu

Apa saja potensi kekerasan yang banyak dialami perempuan dalam Pemilu? Ada pasangan yang bercerai karena berbeda pandangan politik, sampai penyerangan seksual pada calon kepala daerah perempuan.

Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan berefleksi tentang penyelenggaraan pemilu tahun 2019 silam yang mengakibatkan para perempuan jadi korban. 

Saat itu, Ia turut melakukan pemantauan situasi pemilu, khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) di Jakarta. Suasananya kacau. Banyak kericuhan terjadi. Bahkan, timbul korban jiwa. 

Konflik politik tersebut lalu masuk ke ruang-ruang domestik dan privat. Ada pasangan yang perkawinannya sampai bercerai akibat perbedaan pandangan politik. Dalam situasi tersebut, perempuan lah yang jadi korban.

Kondisinya kala itu, politik memanas dan masyarakat seperti digiring pada situasi politik yang saling menghina dan menjatuhkan. Hal itu membuat mereka mengikuti pola yang dilakukan calon pilihannya, termasuk para pasangan suami istri, juga hubungan dengan saudara dan tetangga.

“Ini berbahaya sekali. Apabila dilihat secara objektif, pihak yang paling dirugikan sebetulnya—dan yang paling merasakan dampak Pemilu yang penuh kekerasan—adalah masyarakat. Publik hanya tahu bahwa partai-partai politik mereka itu terbelah menjadi kubu-kubu. Dan mereka siap untuk memasang badan dengan kubu mereka,” ujar Mariana Amiruddin dalam webinar ‘Mewaspadai Potensi Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pemilu 2024’ pada 5 Februari 2024.

Baca Juga: Film ‘Dirty Vote’ Dirilis Jelang Pemilu, Di Tengah Demokrasi yang Lagi Roboh

Kondisi itu dinilai ironis oleh Mariana. Sebab pada kenyataannya para elit politik tersebut justru dapat duduk dan makan bersama setelah itu. Bahkan, jika memiliki kepentingan yang sama, mereka bisa bersatu lagi di kemudian hari.

“Sementara masyarakat masih terbelah, pecah pada saat Pemilu usai,” lanjut Mariana.

Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Salampessy menambahkan, penyelenggaraan Pemilu mesti peka dan mengenali kerentanan perempuan. Ada berbagai bentuk kerentanan yang mengancam perempuan selama Pemilu, seperti secara fisik, psikis, seksual, ekonomi, maupun siber. 

Pada Pemilu 2019 misalnya, ada intimidasi dan teror terhadap caleg perempuan di Aceh dan NTT, pencurian dan pengalihan suara caleg perempuan di Papua, serta pemecatan caleg perempuan terpilih oleh partai politik di Sulawesi Selatan. Begitu pula dengan penyerangan seksual terhadap calon kepala daerah perempuan di Depok, Makassar, dan Tangerang Selatan pada Pilkada 2020. Serta ujaran kebencian perkosaan dengan unsur SARA pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

“Juga kekhawatiran para perempuan di daerah rawan konflik akan keamanan, baik sebelum, saat pelaksanaan dan setelah pemilihan. Terutama menguatnya politisasi agama dan identitas yang menghambat mobilitas dan partisipasi perempuan dalam bersuara dan memberikan suara,” katanya. 

Risiko kekerasan ini juga berpotensi meningkat dan mengalami eskalasi karena Pilpres dan Pilkada akan dilaksanakan serentak pada tahun ini. Kalau pada Pemilu 2019 kekerasan utamanya bersumber dari Jakarta, bukan tidak mungkin tahun ini situasi rentan menjalar ke daerah-daerah lain.

“Kita perlu memikirkan risiko yang kemungkinan terjadi di Pemilu serentak ini. Yaitu eskalasi politik jelang Pemilu Serentak 14 Februari 2024 yang berpotensi melahirkan ketegangan hingga kekerasan di tengah-tengah masyarakat dan keluarga. Perdebatan di sosial media yang memanas dan berpindah ke ruang nyata rentan menyemai ujaran kebencian. Menumbuhkembang narasi-narasi bohong (hoax) yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,” ujarnya. 

Sikap dan Gerakan Rakyat: Merespon Pemilu Sarat Kekerasan

Sejumlah catatan organisasi perempuan juga menyebutkan, kekerasan selama Pemilu 2024 tidak hanya terjadi dalam bentuk fisik, psikis, dan ekonomi.

Kekerasan dan diskriminasi juga berlangsung secara terstruktur dan sistematis. Wujudnya antara lain sistem hukum yang diobrak-abrik, peminggiran perempuan dan kelompok minoritas, dan sebagainya.

Sepanjang Pemilu 2024 misalnya, telah muncul berbagai sikap dan gerakan dari berbagai elemen masyarakat melihat bentuk-bentuk kekerasan tersebut.

Misalnya ketika pada tanggal 8 Mei 2023, kalangan aktivis dari berbagai organisasi perempuan memprotes Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Mereka mendesak agar KPU merevisi Peraturan KPU No 10 Tahun 2023 yang mengatur keterwakilan perempuan dalam pencaleg-an pada Pemilu 2024.

Salah satu pasal yang dikritik adalah Pasal 8 ayat (2) yang mengatur penghitungan minimal keterwakilan perempuan. Itu dianggap tidak sesuai dengan perjuangan 30% kuota perempuan.

Hal lain yaitu, ketika presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan tendensi dukungan terhadap pasangan calon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi. Alih-alih menjaga integritas, justru Jokowi tidak netral dan berkampanye pada kapasitasnya sebagai presiden. 

Agenda-agenda otoritarian yang  eksploitatif diwujudkan melalui proses yang nampaknya demokratis, melalui jalur-jalur formal seperti pembuatan undang-undang, mekanisme hukum, dan pemilu. Ini dipandang sebagai sebuah tindakan mewujudkan pemerintahan yang tidak adil dan tidak berpihak pada kepentingan dan keadilan sosial.

Semua lapisan masyarakat bergejolak. Mulai dari buruh sampai guru besar ramai menyatakan sikap menentang kesewenang-wenangan pemerintah. Mereka menuntut pemerintah diadili atas perilakunya menabrak-nabrak demokrasi.

Baca Juga: Kampus Bergerak: Pak Jokowi, Situasi Kritis, Berhentilah Ikut Campur Pencalonan Gibran
Doa Perempuan dan Ibu-Ibu Korban Penghilangan Paksa: Tolak Pemimpin Negara Pelanggar HAM

Di luar itu semua, ada juga suara-suara para perempuan korban HAM yang tak diakomodir.

Situasi politik yang sarat akan kekerasan selama ini begitu banyak merugikan perempuan. Bukan hanya dampak langsung, perempuan juga kerap mengalami dampak tidak langsung. Misalnya ketika kekerasan terjadi pada orang-orang terdekat mereka.

Indonesia pernah berada pada masa kelam seperti itu—dan, sayang, tampaknya banyak pihak yang tidak belajar dari sana.

Kondisi ini disuarakan oleh para perempuan pada 11 Februari 2024, tiga hari menjelang Pemilu 2024. Puluhan perempuan berbaju hitam berkumpul di depan Istana Merdeka. Mereka hadir di sana untuk menggelar doa bersama dari para ibu korban penghilangan paksa 1997/1998. 

Doa dan harapan itu untuk Indonesia yang sedang terancam dikuasai oleh pelanggar HAM berat.

Salah satu peserta membacakan kisah singkat dan harapan adalah Damais Hutabarat, ibu dari Ucok Munandar Siahaan, salah satu aktivis yang dihilangkan paksa oleh negara menjelang Reformasi 1998. 

Damaris pernah aktif menghadiri Aksi Kamisan di depan Istana Negara; datang dari Depok dan duduk di kursi roda, didampingi suaminya. Mereka memperjuangkan keadilan bagi Ucok Munandar Siahaan dan menuntut tanggung jawab negara.

Harapan Damaris hanya satu. “Saya berharap anak saya masih akan pulang.” Namun, hingga Damaris wafat pada 2023 silam, Ucok tak juga kembali dan negara tak kunjung memberikan kepastian atas keberadaan anaknya.

Baca Juga: Pemilih Perempuan Jadi Sasaran Politik Uang dan Janji Manis Kontestan Pemilu

Para peserta aksi bergiliran membacakan doa dan harapan dari para ibu dan istri korban. Doa mereka adalah bentuk perlawanan atas kesewenang-wenangan pemerintah, yang lagi-lagi main-main dengan HAM. Para ibu mendesak tanggung jawab pemerintah yang tak pernah diberikan dan menolak untuk dipimpin oleh pelanggar HAM berat, aktor di balik hilangnya orang-orang terkasih mereka.

“Tuhan yang Maha Welas Asih, kami berdiri di sini, hanya berkehendak memohon pertolonganmu. Telah panjang perjuangan kami, para ibu-ibu, kawan-kawan kami yang dihilangkan. Kami berupaya tidak akan pernah hilang harapan, tapi sesungguhnya, perjuangan ini alangkah beratnya,” demikian penggalan doa yang dipanjatkan pada hari itu.

Pemimpin negara silih berganti dan semuanya mengkhianati perjuangan para ibu korban. Bahkan kawan-kawan mereka pun pada akhirnya memunggungi mereka. Segala upaya telah mereka kerahkan untuk mendapatkan keadilan bagi anak-anak dan orang terkasih mereka. 

Mereka hanya butuh kepastian; kembalikan anak-anak tercinta mereka, hidup atau mati. Mereka juga berdoa supaya Indonesia tidak dipimpin oleh penguasa dengan tangan berlumuran darah.

“Kami telah panjatkan doa tiada henti. Jangan biarkan kami hilang harapan.”

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!