Film ‘Sinden Gaib’, Paradoks Sinden Perempuan, Disingkirkan dan Dikontrol Laki-Laki 

Sinden Gaib bercerita tentang teror hantu perempuan yang balas dendam dengan orang-orang di sekitarnya. Seperti film horor pada umumnya, Sinden Gaib turut mengonstrusikan paradoks perempuan sebagai sosok lemah, sekaligus sebagai monster yang dikontrol oleh sistem.

Film Sinden Gaib baru saja rilis pada Kamis (22/2/2024). Film bergenre horor ini diangkat dari kisah nyata yang berlatar di Trenggalek, Jawa Timur. 

Sinden Gaib bercerita tentang seorang perempuan yang mengalami kerasukan dan harus hidup berdampingan dengan setan yang merasukinya sampai akhir hayat.

Kisah bermula dari dua orang perempuan penari yang sedang syuting di pinggir sungai. Mereka diajak oleh segerombolan orang yang ingin merekam tarian Ayu (Sara Fajira) dan Rara (Laras Sardi).

Proses syuting berjalan lancar. Rara ingin melihat hasil rekaman tariannya tersebut. Tiba-tiba, jari Ayu yang lentik kembali menari tanpa henti. Orang-orang di sekitar langsung menolong Ayu dan membawanya ke rumah. Dari sinilah rangkaian teror dimulai.

Sinden Gaib digarap oleh sutradara Faozan Rizal dan produser Chand Parwez. Film ini diangkat dari kisah nyata yang terjadi di daerah Trenggalek, Jawa Timur. Berbagai kejadian di luar nalar membuat siapapun yang menonton ikut merinding. Faozan Rizal juga melampirkan rekaman wawancara bersama tokoh yang diceritakan dalam film.

Sinden Gaib menarik untuk diulas secara mendalam. Sebab, film ini tidak hanya mengandung pesan moral bagi penontonnya. Lebih dari itu, Sinden Gaib mengangkat kisah dendam seorang perempuan bernama Sarinten (Yuyun Arfah). Kedua korban terornya pun juga perempuan yaitu Ayu dan Thea (Arla Ailani).

Citra Perempuan yang Negatif dan Penuh Dendam

Layaknya film horor pada umumnya, Sinden Gaib masih merepresentasikan perempuan sebagai hantu sebagai karakter utama. 

Sarinten menjadi sosok hantu yang penuh dendam, sementara Ayu digambarkan sebagai perempuan tak berdaya, sementara Thea sebagai perempuan pemberontak dan dianggap tidak punya sopan santun.

Ketiga perempuan tersebut sama-sama dihadapkan dengan satu tokoh adat laki-laki. Ayu dan Thea dibiarkan mengalami kerasukan terlebih dulu sebagai medium komunikasi antara Mbah Di (Lik Suyatno) dan Sarinten. Dengan begitu, Mbah Di tahu apa yang harus ia lakukan untuk memecahkan teror tersebut.

Tidak hanya Mbah Di, Ayu dan Thea juga dikelilingi oleh laki-laki yang siap membantu kapan saja. Sebut saja mereka Gaduh (Dimas Aditya), Genta (Naufal Samudra), Pak Gito/ayah Ayu (Rizky Hanggono), dan Daffa Hermansyah (Rendra). Mereka selalu punya cara untuk menolong Ayu dan Thea agar lepas dari teror hantu sinden.

Ayu, karakter utama dalam Sinden Gaib sering mengalami kerasukan ditandai dengan perilakunya yang tiba-tiba menari dan menyanyikan tembang (lagu) Jawa. Hantu Sarinten yang merasuki tubuhnya tak segan mendorong, memukul, dan meneror siapapun yang berusaha memisahkan Sarinten dengan Ayu.

Baca Juga: Ngobrol Bareng Pengamat Film: Bias Gender Masih Jadi Tantangan Film Horor

Sarinten, seorang penari sekaligus sinden yang cukup terkenal di desanya. Sayangnya, banyak orang tidak menyukai Sarinten. Ia pun dibuang dan diasingkan ke sungai yang kini terdapat Watu Kandang. Setiap hari, Sarinten selalu menunggu momentum di mana ia bisa membalaskan dendam kepada orang-orang di sekitarnya.

Sarinten adalah satu dari sekian banyak karakter hantu perempuan yang terjebak oleh sistem. Mereka mengalami ketidakadilan di dunia nyata: disingkirkan, dikucilkan, bahkan mengalami kekerasan secara fisik maupun emosional. Mereka mati dengan membawa dendam. Arwahnya gentayangan, menunggu saat di mana bisa membalaskan dendam satu per satu.

Sinden Gaib seolah menampilkan paradoks perempuan sebagai korban yang lemah dan monster yang kuat. Hal ini dapat dilihat dalam karakter Ayu. Dia bisa menjadi perempuan penurut dan lembut. Namun, ketika sosok Sarinten masuk dalam tubuhnya, Ayu berubah menjadi perempuan yang sangat menyeramkan.

Mitos Menstruasi dan Pentingnya Menjaga Sikap

Memang tidak dijelaskan secara rinci alasan Sarinten merasuki Ayu. Namun, jika ditarik ke belakang, ibu Ayu sempat menyebut bahwa anaknya sedang menstruasi saat datang ke Watu Kandang, tempat sakral yang dihuni oleh Sarinten.

Tanpa disadari, hal tersebut menjadi bukti bahwa menstruasi menjadi sesuatu yang buruk bagi perempuan. Menstruasi masih dianggap kotor sehingga perempuan tidak boleh berkunjung ke tempat tertentu. Darah yang keluar seolah mengundang jin masuk dan mengganggunya. Lagi-lagi, perempuan disalahkan atas kondisi biologisnya.

Sosok Thea juga tidak luput dari konstruksi masyarakat tentang sikap perempuan. Terlepas dari tata krama yang berlaku di Trenggalek, masyarakat masih terbelenggu dalam pandangan bahwa perempuan harus sopan, anggun, dan penurut. Perempuan seolah tidak boleh bebas berekspresi.

Sejak awal pertemuan dengan Ayu—dan Sarinten, Thea sudah diperingatkan lebih dulu. Mulutnya yang ceplas-ceplos terkesan tidak memiliki sopan santun. Karakter tersebut sangat tidak disukai Sarinten dan melanggar tata krama yang warga desa.

Baca Juga: Film ‘Tiger Stripes’ Gejolak Remaja Lawan Mitos Menstruasi

Akhirnya, Thea juga mengalami kerasukan seperti Ayu. Ia justru diperlihatkan dengan dunia gaib yang akan menjadi tempat tinggalnya. Betapa terkejutnya Thea melihat Ayu sedang menari di sekitaran Watu Kandang. Di satu sisi, Thea juga mendapatkan informasi tentang siapa sebenarnya sosok Sarinten.

Thea juga diancam oleh Sarinten karena telah mengambil berlian dari Watu Kandang. Berlian tersebut dipercaya sakral sehingga tidak boleh diambil. Dengan Thea mengambil batu tersebut, ia dianggap telah membuka portal dunia lain. Selanjutnya, Thea harus menunggu giliran kapan akan dijemput oleh sosok dari dunia lain tersebut.

Malam itu situasi semakin mencekam. Ayu menghilang, sementara Thea diteror oleh hantu gorila. Gaduh dan Genta berusaha menolong Thea. Di satu sisi, Rara, Pak Gito, dan Rendra menenangkan Ayu yang ditemukan dalam kondisi kerasukan. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan mereka adalah dengan melakukan ritual Jaranan Turonggo Yakso yang digelar di Watu Kandang.

Ayu dan Thea dikelilingi oleh laki-laki yang punya kuasa. Dalam hal ini adalah Mbah Di, tokoh adat yang dipercaya warga sekitar. Laki-laki lainnya juga turut andil dalam menyelamatkan Ayu dan Thea. Layaknya pahlawan, mereka mau bertapa di sungai asalkan Ayu dan Thea selamat.

Budaya patriarki selalu menempatkan laki-laki sebagai seorang yang punya kuasa sehingga mereka bisa menjadi penyelamat dan pelindung perempuan. Bahkan, Rendra menikahi Ayu yang baru saja lulus sekolah semata-mata karena ingin melindunginya.

Jangan Ambil Sesuatu Kecuali Gambar

Mitos Watu Kandang yang berkembang di masyarakat adalah jika seseorang datang dengan niat yang buruk, maka ia akan beroleh kesialan di sana. Ia akan menemukan batu yang sangat indah saat datang ke Watu Kandang.

“Jangan ambil apapun kecuali gambar, jangan tinggalkan apapun kecuali jejak, jangan bunuh sesuatu kecuali waktu”, begitulah bunyi moto yang berkembang bagi para pecinta alam.

Moto tersebut dibuat bukan tanpa alasan. Ini semacam pengingat agar para pecinta alam menjaga tata krama saat berinteraksi di “tempat bermainnya.” Seperti tamu, kita tidak seharusnya mengambil barang yang bukan milik kita. Juga tidak boleh meninggalkan benda apapun—termasuk sampah—di tempat tersebut karena akan mengotori.

Sebagai sesama makhluk hidup, kita juga tidak diperkenankan untuk membunuh flora dan fauna yang ada di tempat tersebut. Sebab, flora dan fauna di sana tentu berdampak baik bagi sekitarnya, baik masyarakat maupun alam.

Dalam Sinden Gaib, Thea dan Abidin telah mengambil batu keramat yang ada di Watu Kandang. Hal inilah yang membuat mereka diteror selama berada di sana. Selepas teror tersebut, mereka tidak bisa kembali seperti sedia kala. Mereka harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa karena kondisi psikologisnya terganggu.

Lantas, bagaimana dengan Ayu? Apakah Ayu bisa hidup seperti sedia kala? Temukan jawabannya dengan menonton Sinden Gaib yang sedang tayang di bioskop seluruh Indonesia. 

(Sumber Gambar: Instagram Starvision)

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!