Perempuan di Korea Selatan yang menjadi korban jugun ianfu oleh tentara Jepang pada Perang Dunia II. (Sumber foto: Wikipedia)

Jugun Ianfu, Praktek Perbudakan Seksual Tentara  Jepang  Terhadap Perempuan Asia

Jepang memaksa para orangtua untuk memberikan anak gadisnya di Asia kepada mereka. Tidak peduli dengan batasan umur, yang penting memiliki tubuh yang sehat, muda, perawan, dan cantik. Mereka dijadikan jugun ianfu.

Peneliti jugun ianfu dari Indonesia, Eka Hindra pernah menulis di Konde.co bahwa Jepang adalah negara yang pernah melakukan praktek perbudakan seksual brutal saat menjajah Indonesia di tahun 1942-1945. 

Kala itu banyak perempuan Indonesia yang kemudian dijadikan Ianfu, obyek perbudakan seksual para tentara Jepang. “Ianfu” bukan merupakan perempuan penghibur, tetapi merupakan praktek perbudakan seksual yang brutal

Cerita salah satu jugun ianfu pada zaman penjajahan Jepang di Asia, juga diabadikan dalam film dokumenter TV Belanda berjudul “Omdat Wij Mooi Waren” atau dalam bahasa Indonesia Indonesia artinya “Karena Kami Cantik”.

“Menanyakan diri sendiri. Bagaimana, kok bisa kayak gini? Apakah ini selamanya atau sementara? Apakah Tuhan kira-kira mengutuk kita? Ndak dosa? Kan yang dipikir diri sendiri kalau udah di kamar tuh,” tanya salah satu perempuan jugun ianfu.

Di masa penjajahan Jepang, sudah menjadi rahasia umum bahwa para tentara Jepang seringkali menyewa para gadis untuk kebutuhan birahi mereka. Jugun Ianfu, nama istilah bagi perempuan di Asia yang terpaksa harus memenuhi nafsu penjajah Jepang. 

Baca Juga: Potret Gelap Perempuan Jugun Ianfu

Menelisik pada buku “Grass” karya Keum Suk Gendry-kim, penjajahan atas Jepang ternyata menuai banyak luka di hati para gadis yang pernah mereka jajah, seperti Indonesia, Cina dan Korea. Pasalnya, Jepang terus memperluas invasi mereka ke negara-negara Asia untuk meraih keuntungan sebagai negara yang adidaya.

Pada 1910, Jepang mulai memasuki Korea untuk mengambil kekuasaan di sana. Namun, sebelum itu pada 1876 di masa dinasti Josoen, Korea telah terbuai akan pengaruh perjanjian antara Korea dan Jepang. Niat menguasai Korea karena ingin memperluas kekuasaan sehingga bisa bersaing dengan negara-negara aliansi atau sekutu. 

Kemudian, pada 1931 Jepang memasuki wilayah Manchuria, Cina dan membuat negara boneka di dalamnya agar semakin “lembut” dalam taktik menguasai Cina. Jepang menjajah Cina karena suatu alasan, yakni ingin berkuasa dan meraup bahan baku perang serta mengambil sumber daya di Cina. Sebab, untuk “mengantungi” beberapa wilayah perlu modal, senjata, dan pangan yang cukup.

Di kedua negara tersebut, Jepang tidak hanya berusaha menguasai negara dan sumber daya yang negara tersebut miliki, akan tetapi, Jepang juga telah merenggut psikis dan harapan masa depan para perempuan di sana. Beristilahkan Comfort Women, adalah julukan para perempuan pekerja seks untuk para tentara Jepang.

Berdasarkan buku “Grass”, Jepang memaksa para orangtua untuk memberikan anak gadisnya kepada mereka. Tidak peduli dengan batasan umur, yang terpenting memiliki tubuh yang  sehat, muda, perawan, dan cantik.

Sebelum dipekerjakan, mereka dikumpulkan untuk diseleksi, melihat dari kecakapan paras dan kesehatan fisik seorang perempuan. Setelah dipekerjakan, para perempuan dibiarkan, tidak diberi makan, minum, dan tempat tinggal yang layak. 

Baca Juga: Ianfu, Luka Perbudakan Seksual Perempuan Indonesia Di Masa Penjajahan Jepang

Pada 1942, Jepang masuk ke Indonesia dengan iming-iming “Jepang adalah kawan lama” sehingga diterima baik oleh warga Indonesia. Mereka mengaku akan memberantas penjajahan atas Belanda. Namun, ternyata Jepang sama buruknya dengan Belanda. 

Di Indonesia, Jepang menyiapkan sumber daya manusia berupa militer agar siap membantu Jepang dalam berperang dengan negara-negara lain pada saat Perang Dunia II.

Tujuan Jepang memang satu, yaitu Jepang Cahaya Asia atau Jepang sebagai pondasi Asia. Meraup kekuasaan sama saja dengan mengganggu psikis para masyarakat yang dijajah, termasuk para Ianfu yang diperalat oleh tentara Jepang. 

Aku Ianfu, dan Aku Malu Kepada Anak Cucu

Mari kita lihat praktik Ianfu ini. Horor kematian dalam enam minggu kala itu di tahun 1942-1945 telah ditebarkan balatentara Jepang untuk membantai serta memperkosa sekitar 20.000 perempuan Cina dari segala umur.

Iris Chang (1997) menjelaskan, banyak personil militer Jepang tidak puas hanya memperkosa. Mereka melakukan tindak penyiksaan secara brutal di luar akal sehat manusia sebelum membunuhi para korban yang tak berdaya, sampai pedang-pedang samurai yang dipakai untuk membantai menjadi tumpul karena dipakai memenggal beratus-ratus kepala manusia setiap harinya.

Eka Hindra menulis, Isu “ianfu” terkuak ke publik internasional 6 Desember 1991. Dalam peringatan 50 tahun penyerangan Pearl Harbor di Seoul Korea Selatan, Kim Hak Soon (68 tahun) menyatakan secara terbuka sebagai korban “ianfu”. Kelantangan kesaksiannya membawa pengaruh secara global untuk mendorong para penyintas dari berbagai negara yang pernah dijajah Jepang buka suara termasuk Indonesia.

Selama Perang Asia Pasifik berlangsung 1931-1942, sekitar 200.000 perempuan di Asia Pasifik seperti Indonesia, Timor Leste, Malaysia, Filipina, Taiwan, Korea, Jepang dan Belanda dipaksa menjadi budak seks militer Jepang. Mereka disekap di berbagai rumah-rumah bordil militer Jepang disebut ianjo yang tersebar diberbagai wilayah di Asia Pasifik.

Mungkin kamu pernah mendengar kalimat “perempuan jangan duduk di pintu, pamali,” dan mengaitkannya ke hal-hal mistis yang akan terjadi kepada perempuan jika benar-benar melakukannya. Akan tetapi, ternyata mitos tersebut dibangun oleh para orang tua zaman dahulu untuk manakut-nakuti anak perempuannya agar segera masuk ke rumah karena khawatir ditarik paksa menjadi  ianfu oleh tentara Jepang. 

Baca Juga: Edisi Care Work: Perbudakan Yang Berkedok Kekeluargaan

Para perempuan pribumi ditarik, diculik, diseleksi, dan dikumpulkan di rumah pemilik “rumah seks”. Hal ini pun sama seperti para perempuan Belanda yang masih menetap di Hindia Belanda. Mereka dikumpulkan di camp pengungsian dan bertujuan menyeleksi untuk melihat kecakapan dalam kesehatan dan parasnya, kemudian dikirimkan ke rumah seks untuk dijual. Sebelumnya, mereka tidak mengetahui bahwa mereka akan berakhir menjadi pelayan birahi para tentara Jepang.

Dalam tayangan  dokumenter “Omdat Wij Mooi Waren”, para mantan Ianfu berkisah saat mereka melayani para tentara Jepang. Di usia senja nya, terkadang mereka menghela napas, mengontrol keluar masuknya udara untuk menimbang-nibang kelanjutan bercerita. Terkadang ada beberapa bagian yang enggan mereka ceritakan, dengan beralasan terlalu malu jikalau didengar dan diketahui oleh suami, anak, dan cucu mereka.

”Aku memang gak mau nyeritain yang jelek. Nanti bisa dipikirin (diketahui) anak cucu, ya ndak mau,”

”Itulah gak ada satupun yang mengaku kerjaan ini (menjadi Jugun Ianfu), kalau ditanya (mengaku) masak, cuci. Jadi, orangtua tuh gak harus sedih kan. Kesedihan itu biar sama kita aja,”

Sebab, para orangtua mengetahui anak-anak gadisnya mendapatkan pekerjaan yang layak, mendapatkan gaji yang sepadan, dan bahagia. Anak perempuan mereka ditarik paksa oleh tentara Jepang yang tidak jelas apa tujuannya, tetapi mereka menjanjikan pekerjaan yang layak untuk anak gadis mereka. Dengan berat hati, mereka menyerahkan anak-anak mereka kepada penjajah. Adapun beberapa dari mereka yang diculik kala beraktivitas di luar ruangan.

Namun, di balik itu justru para perempuan yang menjadi ianfu sangat sengsara. Adapun segelintir dari mereka diiming-imingi pekerjaan oleh antek-antek Jepang. Kesempatan itu tentu mereka ambil karena di tengah gempitanya kesulitan ekonomi pada saat itu, adalah sebuah tawaran yang menggiurkan. 

Baca Juga: Edisi Khusus ‘Anak Muda Menulis PRT’: Sejarah Gelap Pekerja Itu Bernama PRT

Akan tetapi, yang mereka dapatkan adalah kondisi yang serba keterpaksaan. Mereka dipaksa menjadi pekerja seks untuk tentara Jepang. Dari malam hingga pagi, mereka digilir, seolah-olah mereka hanyalah alat bantu penetrasi laki-laki. Mereka hanya mendapatkan kesengsaraan dan gangguan mental hingga trauma yang masih tersimpan hingga saat ini.

Dalam tayangan film dokumenter tersebut, di sela cerita para mantan ianfu, mereka menitikkan air mata. Tak sanggup menceritakan kembali sepotong kisah hidupnya yang gelap. 

Berakhirnya Perang Dunia II, berakhir pula masa kebengisan Jepang. Para ianfu dikembalikan kepada keluarga mereka. Mereka bebas menentukan jalan hidupnya. Ada yang disambut meriah oleh keluarganya, ada yang menghindar dari masyarakat karena terlanjur malu. Dalam wawancara film dokumenter itu mengatakan, tidak sedikit dari mereka dicemooh sebagai “bekasan Jepang”.

Sejarah mencatat. Di buku-buku pelajaran, dari kisah-kisah guru, dari arsip-arsip jurnalis, bahwa kebengisan Jepang di masa lalu akan selalu terpatri dalam sejarah dan ingatan bagi siapa saja yang mendengarnya.

(Sumber foto: Wikipedia)

Aqeela Ara

Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang kini magang sebagai reporter di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!