Memanggil Para Perempuan Geruduk Istana di IWD 2024: Adili Jokowi, Perusak Demokrasi!

Aliansi Perempuan Indonesia akan menggelar aksi memperingati Hari Perempuan Internasional pada Jumat (8/3/2024). Ada 12 tuntutan yang diajukan.

Aliansi Perempuan Indonesia akan menggelar aksi memperingati Hari Perempuan Internasional (IWD 2024) pada Jumat (8/3/2024). Aksi yang diikuti oleh perempuan dari berbagai organisasi, komunitas, dan individu ini rencananya akan digelar di depan Istana Negara, Jakarta Pusat.

Hal tersebut disampaikan dalam konferensi pers yang digelar pada Selasa (5/3/2024) di halaman Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Cikini, Jakarta Pusat.

Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day/IWD) menjadi momentum yang tepat bagi Aliansi Perempuan Indonesia menyatakan sikap terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Ini sebagai bentuk perjuangan perempuan Indonesia melawan ketidakadilan yang semakin nyata ditunjukkan di akhir masa pemerintahan Joko Widodo.

Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tanggal 8 Maret. Peringatan ini sebagai tonggak perjuangan perempuan untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi gender yang terjadi di seluruh dunia.

Tema yang diusung pada Hari Perempuan Internasional 2024 ini adalah “Perempuan Indonesia Geruduk Istana, Adili Jokowi, Perusak Demokrasi!”. 

Penentuan tema tersebut bukan tanpa alasan. Selama ini, Presiden Joko Widodo dinilai semakin pro-oligarki dan berpotensi menghancurkan demokrasi lewat manuver yang dilakukannya. Segala kebijakan yang dibuat tidak lagi mementingkan rakyat Indonesia, termasuk perempuan.

Baca Juga: Edisi Khusus Hari Perempuan Internasional: Puan Maharani Dalam Pusaran RUU PPRT

Pemilu 2024 menjadi puncak dari kemerosotan demokrasi di Indonesia. Presiden dengan segala “cawe-cawenya” seolah menunjukkan ketidaknetralannya terhadap kontestasi politik yang sedang berjalan. 

Mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi–kala itu diketuai oleh Anwar Usman, suami adik Presiden Joko Widodo–yang memberikan karpet merah untuk putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka melenggang menjadi calon wakil presiden. Padahal, usianya belum genap 40 tahun.

Selain itu, Jokowi juga ikut bagi-bagi bantuan sosial (bansos) di beberapa daerah. Bahkan, Jokowi secara blak-blakan menyebut dirinya boleh berkampanye selagi mengambil cuti dan tidak memanfaatkan fasilitas negara.

Hal ini tentu sudah keterlaluan dan tidak bisa ditoleransi. Jika dibiarkan, kondisi tersebut justru membuat demokrasi semakin memburuk. Alih-alih mempertahankan dan menjadikannya lebih baik, Jokowi justru mengkhianati cita-cita reformasi dengan agenda politik yang dijalankannya.

Menihilkan Keterwakilan Perempuan

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tertulis bahwa syarat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen harus terpenuhi di setiap daerah pemilihan (dapil). Sayangnya, hanya satu dari 18 partai politik saja yang memenuhi persyaratan tersebut. 

Aturan ini juga sempat diubah dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Legislatif DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten dan Kota. Di sana tertulis pembulatan desimal ke bawah dalam teknis penghitungan proporsi jumlah perempuan di daerah pemilihan.

Akibatnya, terjadi penurunan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen sejak era reformasi. Pada Pemilu 1999, hanya ada sembilan persen perempuan di badan legislatif. Angka tersebut meningkat pada pemilu 2004 menjadi 11,8 persen. Kemudian pemilu 2009 melonjak hingga 17,86 persen.

Pada pemilu 2014, angka keterwakilan perempuan sempat menurun menjadi 17,32 persen. Namun, pemilu 2019 terjadi peningkatan mencapai 20,52 persen. Meski begitu, angka-angka ini belum mencapai kuota 30 persen.

“Sangat jelas bahwa upaya-upaya menihilkan affirmative action atau menihilkan mandat dari konstitusi terhadap affirmative action telah dengan sengaja dihilangkan oleh negara melalui Komisi Pemilihan Umum,” ujar perwakilan Aliansi Perempuan Indonesia saat konferensi pers pada Selasa (5/3/2024).

Melanggengkan Kemiskinan dan Kekerasan terhadap Perempuan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) turut andil dalam pemiskinan perempuan secara sistematis. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan upah murah, relasi kerja informal tanpa pengakuan status kerja, dan sistem kontrak yang bisa diputus sewaktu-waktu.

Kebijakan tersebut juga minim perlindungan bagi perempuan, khususnya mereka yang hamil dan menyusui, disabilitas, dan diskriminatif terhadap keragaman identitas gender dan orientasi seksual.

Adanya UU Ciptaker semakin memperluas sistem outsourcing (alih daya) yang sempat dibatasi dalam UU Ketenagakerjaan. Kini, tak ada lagi pekerjaan tertentu yang membutuhkan peluang outsourcing

Hal ini tentu merugikan bagi buruh perempuan yang berstatus sebagai pekerja lepas. Akibatnya, mereka tidak memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Baca Juga: Perjuangkan ‘DigitALL’ di Hari Perempuan Internasional: Teknologi untuk Kesetaraan Gender

Belum lagi bicara soal kekerasan terhadap perempuan yang kasusnya sering ditemui di sekitar. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023, sebanyak 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2022. Meski terjadi penurunan angka dari tahun sebelumnya, tidak menutup kemungkinan masih banyak kasus yang tidak dilaporkan.

Pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), belum ada aturan turunan yang dibuat untuk melengkapinya. Padahal, laporan kasus kekerasan seksual terus masuk.

Pemerintah seolah abai dengan banyaknya kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Korban merasa kesulitan mendapat kepastian dan keadilan. Belum lagi stigma, perlakuan diskriminatif, dan reviktimisasi yang rentan dialami oleh perempuan korban.

Tuntutan Aliansi Perempuan Indonesia 

Dari penjelasan di atas, maka Aliansi Perempuan Indonesia menyampaikan tiga tuntutan yang ditujukan langsung kepada Presiden Joko Widodo. Tuntutan tersebut diantaranya:

  1. Tegakkan demokrasi dan supremasi hukum.
  2. Wujudkan kebijakan yang mendukung penghapusan kekerasan dan melindungi perempuan, yaitu dengan:
  3. Sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Anti Diskriminasi, dan Raperda Bantuan Hukum DKI Jakarta, dan wujudkan aturan pelaksana yang mendukung implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
  4. Ratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 190 Tahun 2019 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.
  5. Cabut dan/atau membatalkan regulasi anti demokrasi yang merugikan perempuan, kelompok minoritas lainnya baik di tingkat daerah maupun nasional, seperti UU Cipta Kerja dan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
  6. Susun pengaturan perlindungan pembela HAM dan lingkungan agar terhindar dari praktik kekerasan, serangan, maupun kriminalisasi.
  7. Keluarkan larangan setiap kebijakan yang mengarah pada diskriminasi berbasis gender dan orientasi seksual.
  8. Akomodir kebutuhan maternitas perempuan pekerja.
  9. Sediakan akses yang ramah bagi disabilitas di lingkungan kerja.
  10. Berikan jaminan kesehatan yang memadai bagi perempuan pekerja.
  11. Bangun tata kelola pangan yang berkelanjutan dan menurunkan harga sembako.
  12. Tuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dan berbagai pelanggaran HAM saat ini secara berkeadilan dan berpusat pada pemenuhan, serta pemulihan hak-hak korban.

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!