Perempuan memakai jilbab

Pakai Jilbab Atau Tidak? Jangan Atur Pakaian Perempuan

Rupanya bukan hanya saya, perempuan-perempuan di berbagai kawasan dunia dikenakan aturan diskriminatif terkait pakaian dalam bentuk dan budaya yang berbeda-beda, dengan hukuman dan dampak yang berbeda-beda pula.

Usai menyusuri sekitaran Gang Kelinci di daerah Pasar Baru, saya dan teman-teman Pers Mahasiswa (Persma) se-Jakarta beristirahat untuk makan di salah satu warung bakmi ayam terkenal di sana. 

Hari itu, agenda kami adalah menelusuri berbagai sejarah kota Jakarta, termasuk Pasar Baru yang dulunya merupakan pusat niaga Belanda zaman kolonial. Sambil makan, bercengkrama dan bercanda, salah seorang teman laki-laki di antara kami melontarkan leluconnya:

“Memang benar kata orang, kalau masuk organisasimu, perempuan yang jilbaban juga pasti lepas jilbab, hahaha,” tuturnya.

Semua orang tertawa, termasuk diriku yang ikut tersenyum. Tidak lama kemudian, Mas Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch yang sedari tadi memperhatikan kami, angkat bicara. Jangan tanya mengapa dia ada diantara kami yang masih muda-mudi ini. 

Baca Juga: Terpaksa Pakai Jilbab Walau Bukan Muslim: Hidup Memang Penuh dengan Kompromi

Sebelum menjadi peneliti, mas Andreas adalah seorang wartawan ulung. Kini ia dekat dengan anak-anak Persma Jakarta karena sering membagikan ilmu dan bersedia membantu kami jika terkena masalah, seperti pembredelan di kampus. 

Hari itu, ia dan Yazid, salah seorang teman dari Universitas Indraprasta PGRI membantu menjelaskan sejumlah bangunan bersejarah di sekitaran Jakarta. Mas Andreas menyela gelak tawa kami dengan respons santai.

“Jangan begitu, yang kamu katakan padanya adalah perundungan. Jangan merundung apa yang dikenakan perempuan, berjilbab atau tidak berjilbab adalah haknya,” ujar Mas Andreas.

Meski yang lain melanjutkan tawa sembari beralih mengolok teman laki-laki yang ditegur Mas Andreas, saya tertegun cukup lama. Seorang laki-laki, Tionghoa, dengan terang membela hak untuk melepas jilbab bagi perempuan. Saya jadi ingat pengalaman saya sendiri, saya seorang perempuan yang pernah melepas jilbab dan pernah merasakan perdebatan alot dengan orang tua saya soal jilbab yang rupanya masih kurang peka dan sensitif terhadap isu ini. 

Semakin akrab dengan Mas Andreas, saya jadi mengetahui bahwa ia memang pernah meneliti tentang pemaksaan jilbab di sekolah-sekolah di Indonesia. Saya baru memahami bahwa ini isu serius. 

Baca Juga: Peringatan Setahun Kematian Mahsa Amini di Iran, Aktivis Ditangkap dan Keluarga Ditekan

Pikiran saya menerawang jauh saat masih duduk di bangku sekolah, merefleksikan mengapa saya sempat memakai jilbab. Saat saya SMP-SMA, orang-orang di lingkungan saya berbondong-bondong menceramahi saya tentang jilbab. Melakukan fear mongering, memberikan iming-iming, bahkan mengawasi saya. Lama saya menganggap yang mereka lakukan itu hal baik, karena mereka selalu mengatakan bahwa ini untuk kebaikan saya sendiri.

“Dian, kita nggak pernah tahu kapan kita akan meninggal. Yang kamu lakukan itu dosa. Bagaimana kalau kamu mati besok? Kamu mau kamu dan Ayahmu di neraka?.” 

“Kamu cantik deh pakai jilbab, nanti kado buat ulang tahun kamu, aku kasih jilbab dan manset tangan, siapa tahu nanti kamu dapat hidayah”

“Kalau sudah pakai jilbab, terus mau lepas, gimana nanti kata orang?.”

Di sekolah-sekolah di Muara Enim, Sumatera Selatan, saban Jumat, setiap anak perempuan Muslim diwajibkan mengenakan jilbab ke sekolah. Saya tak pernah merasa jika aturan itu salah, hingga saya belajar tentang hak asasi manusia di perguruan tinggi. 

Baca Juga: Melepas dan Mengenakan Jilbab karena Pilihan, Itu Baru Namanya Merdeka

Dua tahun lebih saya lepas jilbab secara sembunyi-sembunyi karena rasa takut. Jika pergi ke teman-teman yang saya rasa agamis, saya pakai jilbab. Namun jika pergi ke teman yang mau menerima saya, saya lepas jilbab. Saya takut tidak diterima masyarakat. 

Saya tahu beberapa teman saya menerima perlakuan yang kurang pantas karena persoalan lepas jilbab. Rasanya saya yang salah, maka dari itu saya yang menyesuaikan. 

“Ngelonte (jadi pekerja seks–read), ya? Makanya sekarang lepas jilbab,” demikian ujar Yesika (21), salah seorang teman yang saya wawancarai kemarin.

“Tahu gitu, dulu Ibu ngga usah lahirin kamu, durhaka!,” tutur teman saya, Salwa (21) menirukan yang dikatakan Ibunya kepadanya saat ia berkeinginan melepas jilbabnya.

Butuh waktu cukup lama bagi saya dan mungkin bagi perempuan-perempuan lainnya untuk menerima diri sendiri, untuk membela diri sendiri. Untuk meyakini bahwa meski itu hanya selembar kain, tapi saya yang memiliki hak atas tubuh saya sendiri. 

Rupanya bukan hanya saya. Perempuan-perempuan di berbagai kawasan dunia dikenakan aturan diskriminatif terkait pakaian dalam bentuk dan budaya yang berbeda-beda, dengan hukuman dan dampak yang berbeda-beda pula. Hal ini membuat saya menjadi bertanya-tanya: 

Mengapa masyarakat di berbagai belahan dunia terobsesi mengatur pakaian perempuan?

Mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, saya kemudian menelusuri jejak-jejak pembahasan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kesetaraan gender dalam kelas Masyarakat Transnasional (Mastrans). Pembahasan HAM dalam Hubungan Internasional (HI) lahir dari kritik terhadap keterbatasan pendekatan tradisional HI (realisme dan liberalisme) yang awalnya hanya berfokus pada negara-negara sebagai aktor utama dalam HI. Pertengahan tahun 80-an, kritik terhadap status quoparadigma rasionalisme memunculkan paradigma reflektivisme (post-modernisme, feminisme, konstruktivisme, dan teori kritis). Paradigma-paradigma ini menekankan pentingnya untuk memperluas cakupan analisis HI dengan mengakui pentingnya faktor-faktor manusiawi. Mempertanyakan asumsi-asumsi lama dan mulai membahas aspek-aspek sosial dalam HI seperti ketidaksetaraan global, kolonialisme, serta struktur kekuasaan terkait dengan ketimpangan ekonomi dan politik di dunia internasional.

Baca Juga: Tak Ada Lagi Aturan Wajib Jilbab: Perempuan Arab Saudi Kini Punya Pilihan

Melalui lensa reflektivisme, feminisme mengkritik karakteristik-karakteristik seperti ‘rasional’, ‘independen’, dan ‘kuat’ terhadap aktor negara yang diasosiasikan dengan karakter maskulin di masyarakat. Secara tidak langsung, paradigma rasionalisme melanggengkan konstruksi biner mengenai sifat-sifat yang melekat kepada maskulinitas dan feminitas. Pandangan ini tentu memiliki konsekuensi terhadap bagaimana ranah politik internasional seringkali didelegasikan terhadap laki-laki saja. Sedangkan perempuan yang dipersepsikan sebagai ‘feminim,’ ‘lemah lembut,’ dan ‘damai’ cenderung didomestifikasi di ranah privat. Struktur politik internasional yang sering kali underrepresented bagi perempuan mempengaruhi cara kebijakan internasional dirumuskan dan diimplementasikan. 

Data UN Women per 1 Januari 2023 menunjukkan dari 195 negara di dunia, hanya 17 negara yang memiliki Kepala Negara perempuan. Hanya 9 negara yang memiliki Kepala Pemerintahan perempuan, dan hanya 14 negara yang mencapai 50% atau lebih jumlah perempuan dalam kabinet. Artinya, 90% posisi pengambilan kebijakan tertinggi di negara-negara di dunia didominasi laki-laki.

Baca Juga: Ini Sudah Terjadi Berulangkali: Cerita Ibu Yang Anaknya Dipaksa Pakai Jilbab

Menganalisisnya secara kritis, feminisme dalam HI meninjau akar masalahnya dari level domestik, yaitu budaya patriarki di tataran masyarakat. Selama berabad-abad, budaya patriarki mengunci akses perempuan ke ranah publik, khususnya dalam posisi-posisi strategis seperti politik. Kata ‘patriarki‘ secara harfiah berarti aturan ayah atau ‘patriark’, dan awalnya digunakan untuk menggambarkan jenis tertentu dari ‘keluarga yang didominasi laki-laki’. Saat ini, terminologi ini digunakan secara lebih umum untuk merujuk pada struktur sistem dan praktik sosial di mana laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Dalam sistem ini, tenaga kerja perempuan, reproduksi perempuan, seksualitas perempuan, mobilitas dan kepemilikan perempuan serta sumber daya ekonominya berada di bawah kontrol patriarki.

Baca Juga: Memakai Jilbab Atau Tidak, Tak Boleh Dipaksakan

Untuk ini, saya menggunakan perspektif feminisme radikal yang membantu menjelaskan bentuk serangan terhadap otonomi tubuh dan supremasi laki-laki dalam aturan diskriminatif terhadap pakaian perempuan. Feminisme radikal percaya bahwa the personal is political, sehingga akar opresi patriarki tidak berakar dari sistem hukum atau politik. Melainkan kontrol laki-laki terhadap tubuh dan seksualitas perempuan. Dalam perspektif feminis radikal, kebebasan berpakaian bagi perempuan dilihat sebagai bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk mencapai kesetaraan gender dan mengatasi dominasi patriarki dalam masyarakat. Secara spesifik, feminis radikal mengkritik norma-norma sosial yang membatasi kebebasan berpakaian perempuan dan memandangnya sebagai perpanjangan kontrol patriarki terhadap tubuh perempuan. Saya menyoroti paradigma feminisme radikal yang melakukan penentangan terhadap bagaimana patriarki mereduksi status perempuan sebagai objek seksual sehingga perempuan harus menjaga penampilan mereka sesuai dengan keinginan laki-laki dan ekspektasi masyarakat. Tujuannya agar perempuan menginternalisasi nilai-nilai patriarki, mengobjektifikasi atau mensubordinasi diri sendiri di kalangan masyarakat. 

Baca Juga: Ada 62 Perda Diskriminatif Yang Mengatur Pakaian Perempuan

Salah seorang teman saya mengatakan, tujuannya berjilbab adalah untuk mengurangi pelecehan dari laki-laki terhadapnya. Hal ini membuktikan bahwa objektifikasi dalam pengaturan pakaian dapat memberikan pembenaran atau peluang bagi kekerasan seksual, seperti pelecehan verbal atau fisik. Dengan ini, saya menyimpulkan keinginan untuk mengontrol pakaian perempuan merupakan langkah awal yang ampuh untuk mendomestifikasi perempuan. Struktur patriarki dibangun kokoh dimulai dengan bagian paling intim dari perempuan, yaitu tubuhnya sendiri. Berhasil membuat perempuan meyakini bahwa tubuhnya ‘boleh’ diatur masyarakat, kemungkinan besar akan membuatnya yakin pula bahwa peran sosial, identitasnya, bahkan kehidupannya juga ‘boleh’ diatur dan ditentukan masyarakat.

Baca Juga: Jilbabisasi paksa: Ketika Sedang Menutupi, Sebenarnya Ini Sedang Mengekspos

Secara ringkas, Zahedi dalam jurnalnya menunjukkan bahwa terdapat pemaknaan seksualitas yang disematkan kepada rambut perempuan di berbagai belahan dunia. Dan karena itu, rambut perempuan cenderung juga dijadikan objek kontrol oleh struktur sosial yang patriarkis. Salah satu perwujudan kontrol ini adalah penggunaan tudung atau kerudung (jilbab/veil), yang berhubungan dengan upaya membatasi “kekuatan seksual” perempuan agar tidak terlihat oleh pandangan laki-laki (male gaze). Zahedi mengatakan terdapat hubungan antara perempuan, jilbab atau penutup rambut, dan kontrol patriarkis ini membentuk suatu dinamika unik dalam masyarakat.

Tidak menafikan bahwa terdapat tafsir agama yang menjadikan jilbab sebagai simbol kesalehan perempuan. Namun sebenarnya terdapat banyak tafsir dalam agama Islam, termasuk tentang aurat perempuan. Meski kurang populer di Indonesia, terdapat sejumlah tafsir moderat yang tidak mewajibkan perempuan muslim memakai jilbab. Sayangnya, kontestasi tafsir ini tidak dilaksanakan dengan sehat, dalam beberapa praktiknya. Bahkan berujung pemaksaan, kekerasan, bahkan politisasi. Seperti yang terjadi di Iran dan beberapa negara berbasis atau mayoritas Islam lainnya. Sebagai salah satu jenis pakaian yang telah dideskripsikan dalam konstruksi identitas muslim di Iran, jilbab menjadi salah satu pakaian yang dipolitisasi oleh berbagai rezim politik di Iran demi membentuk suatu ideal kesopanan.

Baca Juga: Solidaritas Untuk Mahsa Amini Mengalir Dari Negara-Negara di Dunia

Sebelum jilbab dipolitisasi, Iran pernah menjadi negara yang progresif dan memberikan hak-hak dasar kepada perempuan. Sejak Ayatollah Khomeini berkuasa (1979-1985), pelan-pelan hak-hak dasar perempuan dipersekusi secara masif dan mimpi buruk tersebut diawali dengan aturan berpakaian bagi perempuan Iran yang harus mengenakan jilbab, hijab, atau kerudung. Kasus terbaru, seorang perempuan Kurdish, Iran bernama Mahsa Amini koma usai dibawa ke pusat penahanan untuk dididik polisi moral karena dituduh melanggar aturan yang mengharuskan perempuan memakai jilbab dan pakaian longgar. Tiga hari kemudian, ia meninggal dunia. Ini bukan kali pertama, namun kematiannya menjadi simbol muaknya warga Iran terhadap aturan ini. Kematiannya menyulut demo di dua puluh kota besar di Iran untuk menyuarakan penolakan terhadap pengaturan busana perempuan.

Serupa tapi tak sama, di negara-negara sekuler, sebagian masyarakatnya menggeneralisasi religiusitas beserta identitas atau atribut yang dikenakannya sebagai simbol opresi dan ekstrimisme. Alhasil, perempuan di negara-negara lainnya mendapatkan aturan diskriminatif terkait pakaian berupa pelarangan jilbab. Hasil Riset Pew Research Center tahun 2020 kemarin menunjukkan peningkatan aturan diskriminatif terhadap pakaian perempuan setidaknya selama lima tahun terakhir. Riset ini memetakan 56 negara yang memiliki budaya dan aturan yang sah untuk merestriksi baju perempuan, baik karena dianggap terlalu religius atau kurang religius. Pembatasan ini seringkali berbentuk pelecehan sosial oleh individu atau kelompok dan terkadang juga melibatkan tindakan resmi pemerintah. 

Baca Juga: Jilbab Bukan Tolok Ukur Moralitas Perempuan

Eropa menjadi negara terbanyak (20 negara) di mana perempuan menghadapi permusuhan sosial karena dianggap melanggar norma berpakaian. Di Denmark, misalnya, seorang pengemudi menolak memberikan tempat parkir kepada perempuan Muslim pada tahun 2018 karena dia mengenakan jilbab. Lalu di Kanada pada tahun 2016, seorang perempuan meludahi dan menarik jilbab perempuan Muslim di sebuah supermarket di Ontario. Wilayah Asia-Pasifik (16) dan Timur Tengah (9) menjadi kawasan berikutnya yang banyak mendiskriminasi perempuan karena dianggap melanggar aturan berpakaian.

Di Malaysia, pada 2018, polisi menangkap pria yang menyerang seorang perempuan karena tidak mengenakan jilbab. Sedangkan di Iran, pelanggaran tata cara berpakaian dikriminalisasi (Pasal 638 KUHP) menyatakan siapa pun yang melanggar kesusilaan publik akan dijatuhi hukuman penjara dari 10 hari hingga dua bulan atau hingga 74 cambukan. Di beberapa bagian Kenya, serikat guru melaporkan pada tahun 2018 bahwa guru perempuan diharuskan mengenakan jilbab. Sementara di Liberia, perempuan Muslim dilaporkan mengalami diskriminasi di tempat kerja karena mengenakan jilbab.

Baca Juga: Aktivis Kecam Dugaan Pemaksaan Jilbab di Sekolah Negeri di Yogyakarta

Di Indonesia, aturan berpakaian berbasis religiusitas masuk dari ranah industri ke institusi pendidikan. Human Rights Watch (HRW) Indonesia melaporkan selama dua dekade terakhir, perempuan dan anak perempuan di Indonesia menghadapi tuntutan hukum dan sosial untuk mengenakan pakaian yang dianggap Islami. Hal itu sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk menerapkan aturan Syariah, atau hukum Islam, di banyak bagian negara ini. Tekanan ini telah meningkat secara substansial dalam beberapa tahun terakhir. Dari kasus-kasus yang dijelaskan, perempuan-perempuan terdampak mengalami trauma, kehilangan pekerjaan, kehilangan hak atas pendidikan, dan lain-lain.

Per tahun 2012, Komisi Nasional Perempuan mencatat ada 342 Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif dengan 72 di antaranya terkait pengaturan pakaian perempuan. Di tahun 2019, jumlahnya menjadi 421 Perda diskriminatif berbasis interpretas tunggal terhadap ajaran agama. Tahun 2014, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan nasional tentang pakaian sekolah yang telah ditafsirkan secara luas untuk mewajibkan siswi Muslim mengenakan jilbab sebagai bagian dari seragam sekolah mereka. Tidak hanya kepada Muslim, aturan ini kerap menyasar non-muslim dan menjadi praktik intoleransi. Setara Institute mencatat sepanjang tahun 2016-2018, ada tujuh kasus pemaksaan pelajar beragama Kristen untuk mengenakan jilbab. Tujuh adalah kasus yang terlapor, layaknya gunung es, yang tidak terlapor lebih banyak lagi. Misalnya, dalam kasus pemaksaan terhadap Jeni, salah seorang siswi non-muslim di SMKN 2 Padang. Hanya keluarga Jeni yang melaporkan keberatan. Kendati demikian ada 45 siswi non-muslim lainnya yang juga diminta mematuhi aturan wajib jilbab. Namun tidak melaporkan keberatannya.

Baca Juga: Wajib Memakai Jilbab Di Sekolah, Aturan Yang Mendiskriminasi Perempuan

Selain di ranah pendidikan, saya juga melihat politisasi jilbab saat politisi perempuan mencalonkan diri atau tertangkap kasus korupsi. Mereka akan mendadak mengenakan jilbab, baik untuk mendulang suara muslim atau untuk memperbaiki citra mereka di hadapan hukum. Karena secara psikologis, pakaian memiliki “kekuatan” untuk mempengaruhi persepsi orang yang memandangnya. Dalam kasus korupsi, studi dari Homa Hoodfar menunjukkan pakaian tertutup seperti jilbab atau cadar merepresentasikan persepsi sebagai seseorang yang harus dibebaskan dari “penindasan”. Dalam kasus pencalonan politik, studi oleh Jordan W. Moon dkk. menyimpulkan gambaran terhadap orang-orang “religius” yang dianggap lebih dapat dipercaya.

Baca Juga: Menderita Di Bawah Aturan Wajib Jilbab: Cerita Pelajar dan Pegawai Negeri Perempuan di Indonesia

Dengan demikian, saya menyimpulkan obsesi mengatur pakaian perempuan merupakan opresi sistemik yang berasal dari budaya patriarki yang bertujuan mengontrol ekspresi dan peran sosial perempuan. Meski demikian, masih banyak yang menganggap isu ini sepele.

“Enggak apa-apa dong, buat dia belajar pakai jilbab, lagi pula itu baik untuk perempuan itu sendiri.”

“Kalau enggak mau ikut aturan di institusi itu, solusinya ya tinggal pindah sekolah aja.” 

Hari ini (11/06/23), saya ikut Mas Andreas ke Cirebon, mengunjungi Buya Husein, pendiri Fahmina Institute dan mendengar langsung betapa sulitnya ia memperjuangkan tafsir moderat tentang pakaian perempuan di Indonesia. Sebagai seorang Kyai, ia berbeda pandangan dengan kebanyakan ulama yang mewajibkan jilbab. Menurutnya, ada tafsir wajib dan ada tafsir bahwa jilbab tidak wajib, silakan dipilih saja sesuai keyakinan. Lebih dalam ia menuliskan pandangannya di dalam buku “Jilbab di Indonesia”

Baca Juga: ‘Membenci Tubuh dan Menggunduli Rambut’: Orangtua Memaksaku Pakai Jilbab

Di Cirebon, Aira (14 tahun) didampingi orang tuanya, menangis karena tidak sanggup menceritakan perundungan oleh gurunya terhadap ia yang tidak mengenakan jilbab saat mengikuti eskul futsal. Sementara di Cikampek, saya juga mendengarkan korban perundungan terhadap anak perempuan yang berasal dari penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan. Saat Ibunya meminta pertanggungjawaban sekolah karena anak tersebut mendapatkan perundungan fisik dari temannya berkaitan dengan identitasnya sebagai penganut kepercayaan. Pihak sekolah justru menormalisasi dan menceramahinya. Ia dan keluarganya memutuskan pindah dari Cikampek, Ayahnya meninggalkan pekerjaannya, anaknya juga pindah sekolah.  

Saya percaya, sampai suatu hari saya meninggal dunia, tubuh perempuan masih akan menjadi ajang perdebatan laki-laki yang merasa memiliki hak untuk mengatur dan mengontrol tubuhnya. Namun, semoga saat itu gerakan sosial untuk memperjuangkan hak-hak dasar perempuan juga bertambah dan terus menyulut api keberanian perempuan-perempuan yang selama ini diopresi. Mulai dari tubuh sendiri, perempuan berhak punya pilihan.

Dian Amalia Ariani

Mahasiswi FISIP Universitas Indonesia (UI), Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!