Sulitnya Akses Aborsi Aman Bagi Korban Kekerasan Seksual 

Perempuan dan anak di Indonesia, terutama korban kekerasan seksual, masih kesulitan mengakses aborsi aman. Alurnya sangat panjang, akibatnya, usia kehamilan korban melebihi batas yang ditetapkan, dan berujung korban tidak dapat mengakses layanan.

Sulitnya mencari aborsi aman dirasakan oleh Abed dan Arta. Keduanya adalah pasangan suami istri yang mencari layanan aborsi aman untuk Cika (bukan nama sebenarnya), anak mereka. 

Lantaran Cika (16 tahun) diperkosa oleh Parto (68 tahun), tetangga mereka, hingga hamil. Cika, anak dengan disabilitas intelektual yang sehari-hari beraktivitas di rumah, adalah putri ketiga pasangan Abed dan Arta.

Konde.co pernah melakukan peliputan tentang sulitnya pasangan suami istri tersebut dalam mengakses layanan aborsi aman dan mencari keadilan. Mereka berulang kali bolak-balik dari kecamatan ke kelurahan, hingga tidak tahu lagi mesti kemana mesti mengadu mencari keadilan. Selengkapnya disini https://www.konde.co/2023/09/dipingpong-perjuangan-korban-perkosaan-mencari-aborsi-aman.html/

Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan Save All Women and Girl (SAWG) menggelar diskusi tentang sulitnya mengakses aborsi aman dan layanan kesehatan reproduksi bertajuk ‘Antara Ada dan Tiada: Akses Kesehatan Seksual Reproduksi dan Aborsi Aman di Indonesia’ pada Selasa (6/2/2024) di jakarta. 

Dalam diskusi tersebut, pembahasan mencakup persoalan yang dihadapi perempuan dan anak dalam pemenuhan akses kesehatan seksual reproduksi. Seperti perkawinan anak, kesehatan ibu dan anak, sunat perempuan, dan aborsi aman. Hal ini menjadi sangat penting, terutama karena revisi KUHP pada tahun 2023 menuliskan peningkatan batas maksimal usia kehamilan bagi korban kekerasan seksual untuk mengakses layanan aborsi.

“Hak seksual dan kesehatan reproduksi serta aborsi aman sangat penting untuk kita perjuangkan,” kata Nunik Widianti dalam sambutannya.

Baca Juga: Dipingpong: Perjuangan Korban Perkosaan Mencari Aborsi Aman

Oleh karena itu, sejak 2001 YKP berkomitmen untuk mendorong perwujudan hak-hak tersebut bagi perempuan dan anak di Indonesia. Mereka juga berupaya menggandeng stakeholder terkait untuk memperjuangkannya.

Sementara itu, Direktur LBH APIK Jawa Barat, Ratna Batara Munti menyampaikan rekomendasi perbaikan dalam regulasi akses aborsi aman bagi korban kekerasan seksual. Menurutnya, yang harus diperbaiki adalah situasi legal administratif hingga prosedur di lapangan. Belum lagi berbagai hambatan yang kerap dialami korban saat hendak mendapatkan keadilan bagi dirinya. Mulai dari penderitaan dan kerugian sosial, pemberatan pada alat-alat bukti, hingga pemeriksaan digital forensik.

Masalah lainnya yang disayangkan masih terjadi adalah ketidakseriusan aparat penegak hukum dalam menangani laporan. 

Kerap kali, laporan korban kekerasan seksual tidak diterima oleh aparat. Ketika korban mengalami lebih dari satu kali kekerasan seksual, misalnya, aparat kerap berasumsi bahwa perbuatan tersebut dikehendaki oleh korban.

Padahal yang terjadi adalah relasi kuasa dan berbagai faktor lain yang membuat korban tidak bisa segera melepaskan diri dari situasi tersebut. Pada akhirnya, aparat tidak mempertimbangkan laporan korban sebagai kasus yang mesti ditangani sehingga laporan tersebut ditolak. Ini merupakan bentuk ketidakadilan lainnya bagi korban kekerasan seksual.

Baca Juga: Kamus Feminis: Bagaimana Pandangan Feminisme Terhadap Aborsi Aman Bagi Korban Perkosaan?

Prosedur administratif yang mestinya dapat diakses oleh korban juga sering kali menyulitkannya. Dalam sejumlah kasus, korban membutuhkan surat pengantar dari aparat penegak hukum untuk dapat mengakses layanan yang dibutuhkan. Namun dengan penolakan laporan oleh aparat, surat tersebut tidak bisa diberikan, sehingga anggaran dana layanan yang sebetulnya sudah disediakan oleh pemerintah pun tidak dapat digunakan oleh korban.

Pun jika laporan korban diterima, proses pengurusan surat pengantar tidak mudah. Sering kali, penerbitan surat terhambat. Di sisi lain, surat tersebut merupakan bentuk pembuktian pro justitia yang dibutuhkan korban untuk mendapatkan layanan.

Alur Akses Kesehatan Terlalu Panjang

Selain prosedur administratif yang menghambat korban, layanan kesehatan seperti aborsi pun masih sulit diakses korban kekerasan seksual. 

Hingga saat ini, belum ada rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang secara spesifik ditunjuk oleh pemerintah sebagai rujukan bagi aborsi aman.

Untuk bisa mengakses aborsi aman, pertama-tama, korban harus melapor kepada aparat penegak hukum. Setelah laporan diterima dan surat pengantar diberikan, ia dapat melakukan tes kehamilan di fasilitas layanan kesehatan. Jika terbukti ada kehamilan akibat perkosaan, korban melakukan konseling pra tindakan dengan diketahui oleh tenaga medis terlatih. Tenaga medis ini yang nantinya akan melakukan tindakan.

Alur tersebut bahkan belum mencapai bagian aborsi aman yang dimaksud. Baru setelah korban memenuhi persyaratan, ia dapat memilih untuk melakukan aborsi aman. Ia pun harus melalui tahapan dari tim kelayakan aborsi untuk mendapatkan layanan tersebut. Setelah melalui proses persyaratan dan menjalani tindakan, korban melakukan konseling lagi.

Baca Juga: Sudahkah Kebijakan Aborsi di Indonesia Jamin Perlindungan Hak Perempuan atas Tubuhnya?

Menurut Ika Ayu dari SAWG, alur yang harus dilalui korban atau penyintas untuk mengakses aborsi aman itu sangat panjang. Akibatnya, usia kehamilan korban melebihi batas yang ditetapkan sehingga berujung korban tidak dapat mengakses layanan tersebut.

Sedangkan Prof. dr. Meiwita Paulina Budiharsana, MPA, Ph.D., yang juga menjadi narasumber dalam diskusi itu, menuturkan bahwa pintu bagi aborsi aman sampai sekarang masih tertutup dalam segi hukum. Regulasi yang berlaku di Indonesia justru berbentuk pidana. Ini malah mengancam korban kekerasan seksual, tenaga medis dan kesehatan, dan orang non-tenaga medis/kesehatan yang membantu melakukan tindakan di luar peraturan yang berlaku.

Secara hukum, aborsi hanya bisa dilakukan oleh pihak yang berwenang atau dokter tertentu. Selain itu, teknologi kesehatan reproduksi seperti non-invasive abortion juga belum dipertimbangkan sebagai metode aborsi aman yang tidak memerlukan invasi tenaga medis atau tenaga kesehatan. Bahkan tenaga medis dan kesehatan yang bisa melakukan tindakan pun harus telah menempuh jenjang pendidikan tertentu agar dapat berwenang dalam penanganan kasus.

Oleh karena itu, menurut Meiwita, kita perlu berstrategi dalam mewujudkan aborsi aman bagi korban kekerasan seksual. Harus ada analisa situasi di daerah-daerah dengan angka aborsi tinggi, misalnya. Selain itu, campur tangan atas mutu pengawasan Peraturan Pemerintah (PP) dan regulasi daerah juga dibutuhkan. Dengan menyosialisasikan definisi aborsi aman, khususnya pada bagian Penelitian dan Pengkajian, diharapkan regulasi aborsi aman yang berperspektif korban dapat terwujud.

Hak Kesehatan Ibu dan Anak Belum Terpenuhi

Isu kesehatan ibu dan anak di Indonesia juga dibahas dalam diskusi kali ini. Nanda Dwinta Sari, Direktur YKP, memaparkan Laporan Pemantauan Pelaksanaan International  Conference on Development & Population (ICPD) terkait hal tersebut.

Faktanya, laporan tersebut menunjukkan bahwa ternyata layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) masih sulit diakses, terutama bagi anak berkebutuhan khusus. Sosialisasi kesehatan seperti USG pada trimester pertama dan ketiga pun masih sukar dinilai oleh ibu berkebutuhan khusus. Ini mencakup penilaian pelayanan persalinan dan nifas.

Sementara itu, pemberian makanan tambahan bagi ibu dengan BMI rendah mestinya menjadi prioritas nasional. Namun karena tidak dilakukan secara berkala, strategi tersebut tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, ia menjadi salah satu faktor terjadinya berat bayi lahir rendah dan berujung pada stunting.

Baca Juga: Para Ibu Sedang Berjuang, Anak Mereka Kena Stunting, Aktivis Minta Pemerintah Perjuangkan Gender dalam Stunting

Kesehatan reproduksi dan layanannya untuk remaja pun masih menjadi persoalan di Indonesia. Selain sosialisasi yang mesti lebih gencar, pelaksanaannya pun masih di bawah standar pedoman kesehatan reproduksi ramah remaja nasional 2018. Hal ini terjadi karena tidak ada dukungan dari peraturan daerah, pendanaan yang tidak memadai, dan tenaga kesehatan di tingkat masyarakat maupun sekolah yang masih kurang.

Pemerintah perlu lebih memperhatikan akses kesehatan seksual reproduksi dan aborsi aman di Indonesia. Sebab, banyak orang khususnya perempuan, anak, dan remaja yang membutuhkan akses kesehatan seksual dan reproduksi yang lebih komprehensif. Terutama korban kekerasan seksual yang seharusnya mendapatkan hak dan keadilan atas dirinya.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!