Konde.co menyajikan serial kamus feminis sebulan sekali. Kamus feminis berisi kata-kata feminis agar lebih mudah dipahami pembaca
Secara istilah, aborsi adalah penghentian kehamilan. Prosedurnya dapat dilakukan dengan mengonsumsi obat atau lewat metode surgikal. Dengan kata lain aborsi yang aman merupakan layanan kesehatan yang dibutuhkan perempuan. Dalam hal ini, perempuan korban kekerasan seksual dijamin secara hukum untuk aborsi aman.
Linda Gordon, dalam Woman’s Body, Woman’s Right, mengamati bahwa sepanjang sejarah, perempuan sudah mempraktikkan bentuk-bentuk kontrol kelahiran dan aborsi. Pelarangan moral atau hukum yang kerap dilakukan terhadap praktik-praktik tersebut hanya memaksa perempuan untuk sembunyi-sembunyi dalam mengupayakan kontrol atas reproduksinya.
Pendapat senada disampaikan George Devereux, yang melakukan survei terhadap 350 masyarakat primitif, kuno, dan pra industri. Ia mengungkapkan terdapat indikasi bahwa aborsi merupakan fenomena yang benar-benar universal. Bahkan menurutnya hampir mustahil untuk membayangkan sebuah sistem sosial imajiner yang di dalamnya tidak ada perempuan yang akan merasa setidaknya membutuhkan aborsi.
Fakta soal praktik kontrol kelahiran yang berlaku universal. Seperti disampaikan Gordon menunjukkan bahwa kebebasan reproduksi bagi perempuan bukan sekadar soal mengembangkan teknik yang lebih canggih. Adanya peralihan dari penggunaan ramuan, pijat, dan sejenisnya ke arah metode vakum aspirasi jelas merupakan keuntungan bagi perempuan. Meski begitu, aborsi dan kebebasan reproduksi secara umum tetap bersifat politis, bukan teknologi.
Baca Juga: Dipingpong, Perjuangan Korban Perkosaan Mencari Aborsi Aman
Posisi ini oleh para feminis dipandang sebagai agenda yang penting untuk terus-menerus diadvokasi di berbagai wilayah dan dalam konteks yang berbeda.
Hingga hari ini pandangan negatif dan stigma terhadap aborsi masih kuat di masyarakat. Anggapan “mengerikan” atas aborsi ini muncul lantaran rasa malu dan bersalah yang disebabkan oleh gagasan ideologis yang masih dipegang semua perempuan di masyarakat.
Pertama, pengaitan janin dengan “bayi” dan perempuan yang melakukan aborsi dengan “ibu yang jahat”. Kedua, asumsi bahwa seks untuk kesenangan adalah “salah” (bagi perempuan) dan bahwa perempuan yang melakukan seks untuk kesenangan harus menanggung akibatnya.
Baca Juga: Sudahkah Kebijakan Aborsi di Indonesia Jamin Perlindungan Hak Perempuan atas Tubuhnya?
Gagasan-gagasan misoginis yang sudah usang tersebut sudah seharusnya ditinggalkan. Menurut Rosalind Petchesky, ada keadaan-keadaan yang menyebabkan aborsi menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan.
Pertama, jika aborsi ditunda atau ilegal dan mengakibatkan komplikasi medis yang serius. Kedua, ketika kehamilan dan anak diinginkan, tapi kondisi sosial atau ekonomi menghambat hal tersebut.
Selain itu terdapat juga budaya heteroseksis. Perempuan merasa harus “membuktikan kecukupan dirinya sebagai perempuan dengan hamil sebagai produk sampingannya”. Kondisi-kondisi inilah yang harus diubah oleh gerakan kebebasan reproduksi.
Petchesky memandang aborsi sebagai hak sosial. Alih-alih sebagai hak individu maupun hak kesejahteraan. Menurutnya para feminis harus bersuara lantang bahwa akses terhadap aborsi yang aman dan didanai merupakan kebutuhan sosial yang positif bagi semua perempuan usia subur.
Aborsi merupakan suatu keharusan, meskipun jauh dari cukup, untuk memenuhi hak dan kebutuhan esensial perempuan. Bukan hanya untuk kesehatan tubuh dan penentuan nasib sendiri, tapi juga untuk mengontrol pekerjaan, seksualitas, dan hubungan mereka dengan orang lain—termasuk anak-anaknya.
Baca Juga: Hak Aborsi Di Amerika Dicabut, Bagaimana Nasib Kesehatan Reproduksi Perempuan?
Dari perspektif ini, aborsi yang dilakukan dalam kondisi yang aman, terjangkau, dan bebas stigma bukanlah suatu kejahatan yang diperlukan atau merupakan pilihan pribadi. Sebaliknya, hal ini merupakan manfaat positif yang wajib diberikan oleh masyarakat kepada semua orang yang menginginkannya, seperti halnya manfaat pendidikan dan kesehatan.
Dengan kata lain, aborsi bukan sekadar hak individu (kebebasan sipil) atau bahkan “hak kesejahteraan” (untuk mereka yang “membutuhkan”) namun merupakan “hak sosial.”
Petchesky menjelaskan maksud dari aborsi sebagai hak sosial atau lebih tepatnya, kebutuhan sosial. Pertama, hal ini berarti bahwa akses terhadap aborsi (yang berbeda dari pengalaman sebenarnya) diperlukan untuk kesejahteraan perempuan dan penentuan nasibnya sendiri. Karena itu, aborsi lebih dekat dengan “kebaikan yang diperlukan” daripada “kejahatan yang diperlukan”, apa pun ketidaknyamanan yang ditimbulkannya.
Kalau masyarakat bergerak makin jauh mentransformasi kondisi sosioekonomi dan budaya yang menindas yang membebani makna/pengalaman aborsi, aborsi aman makin jadi alat kebebasan sejati dan bukannya sebuah peristiwa kesengsaraan. Dalam hal ini mirip dengan bekerja atau bercerai.
Baca Juga: Perempuan Korban Perkosaan Hadapi Hambatan Akses Aborsi Aman
Kedua, hal ini berarti bahwa kebutuhan akan aborsi bersifat universal dalam arti bahwa aborsi sangat penting bagi semua perempuan. Pasalnya hal ini menentukan syarat dan kondisi “keperempuanan” dalam masyarakat. Lebih jauh ia bersifat spesifik dalam arti bahwa kebutuhan tersebut muncul dari serangkaian permasalahan tertentu.
Akses terhadap aborsi yang aman dan legal merupakan kebutuhan yang berbeda-beda tergantung pada kondisi dan latar belakang perempuan tersebut. Kebutuhan seorang pelajar SMP berusia lima belas tahun, tentu beda dengan perempuan lajang yang bekerja. Atau perempuan yang membesarkan satu atau dua anak yang menderita hipertensi atau diabetes.
Karena itu penting memasukkan hak aborsi ke dalam cakupan yang lebih luas di bidang kesehatan, kesejahteraan sosial, dan kebutuhan seksual.
Bagi Petchesky hak untuk melakukan aborsi tidak hanya bertumpu pada “privasi”. Tetapi, juga pada solidaritas. Artinya aborsi bersifat sosial sekaligus individual. Perspektif ini berguna untuk mengalihkan fokus perdebatan aborsi dari pilihan individu (moral) ke kebutuhan sosial.