Kasus stunting di Indonesia

Para Ibu Sedang Berjuang, Anak Mereka Kena Stunting, Aktivis Minta Pemerintah Perjuangkan Gender dalam Stunting

Jumlah kasus stunting di Kota Yogyakarta mencapai 1.225 kasus atau sebesar 13,8%. Dari analisis data di tahun 2022, setiap dua ibu hamil, akan melahirkan satu anak yang berisiko mengalami stunting.

Fatma (bukan nama sebenarnya) menikah di umur 21 tahun. Kini, Fatma memiliki dua anak yang mengalami stunting atau gangguan pertumbuhan karena kekurangan gizi kronis.

Sebelumnya, nasib buruk juga menimpa Fatma ketika anak pertamanya meninggal dunia. Kala itu anaknya baru berumur empat hari.

Di kehamilan anak kedua, hasil USG menunjukan bahwa di rahimnya terdapat gelembung yang meliputi si jabang bayi. Oleh karena itu, persalinan anak keduanya ini harus melalui operasi di rumah sakit. 

Baru usia lima hari, anak kedua Fatma muntah ASI dan mengeluarkan air berwarna hijau. Setelah di rontgen, ternyata anak Fatma menderita atresia duodenum atau kelainan bawaan yang terjadi ketika bayi mengalami penyumbatan atau penutupan di bagian pertama usus kecilnya. 

“Usia lima hari operasi, di rumah sakit selama 43 hari,” kata Fatma ketika diwawancara di rumahnya pada Jumat, 21 Juli 2023.

Stunting adalah situasi gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Biasanya, kondisi stunting ditandai dengan panjang atau tinggi badan di bawah standar. Selain itu, stunting adalah masalah gizi bersifat kronis yang disebabkan dari berbagai faktor, baik kesehatan maupun di luar kesehatan yang berlangsung lama. Dampak ketika anak mengalami stunting adalah adanya gangguan kognitif dan risiko menderita penyakit degeneratif pada usia dewasa. 

Baca Juga: Menikah di Usia Anak? Emosi Tak Stabil dan Rahim Belum Siap Melahirkan

Sebuah Puskesmas di Yogyakarta akhirnya menyatakan bahwa kedua anak Fatma telah mengalami stunting.

Analis Kebijakan Ahli Muda Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB), Ummatul Baroroh, mengatakan, pada tahun 2022 di Yogyakarta ada lima penyebab terjadinya stunting. Yaitu pola asuh orang tua atau keluarga terhadap balita, terbatasnya layanan kesehatan, masalah sosial-ekonomi, kurangnya makanan bergizi, dan kurangnya akses air bersih dan sanitasi. Kesimpulan ini diambil dari empat kemantren yang dijadikan sampel audit, yaitu Kemantren Gedongtengen, Kemantren Tegalrejo, Kemantren Wirobrajan, Kemantren Mantrijeron. 

“Kita melibatkan tim pakar dokter obgyn (Obstetri dan Ginekologi-red), dokter anak, nutrisionis, psikolog,” kata Ummatul saat diwawancara di kantornya pada Selasa, 1 Agustus 2023. 

Sementara itu, dalam Profil Kesehatan Kota Yogyakarta, tren prevalensi stunting tahun 2017-2022 mengalami fluktuasi. Tahun 2017 ada 14.17 persen, 2018 ada 12.83 persen, 2019 ada 11.31 persen, 2020 ada 14.36 persen, 2021 ada 12.88 persen, dan 2022 ada 10.8 persen. 

Baca Juga: Catatan Akhir Tahun Aliansi Perempuan Bangkit: Kebijakan Pemerintah Makin Jauh Dari Cita-Cita Perempuan

Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI),  kasus stunting di Kota Yogyakarta memang lebih rendah dari angka nasional, yaitu 13,8 persen. Fenomena ini juga sudah melampaui target nasional untuk pengurangan stunting di tahun 2024 dengan menargetkan angka stunting sebesar 14 persen. 

Kendati lebih rendah dari angka nasional, namun kasus stunting di Kota Yogyakarta pada tahun 2022 ada 1.225 kasus stunting dari 14.277 anak yang menjadi sasaran pemantauan di wilayah tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam laporan Antaranews.com pada  18 Januari 2023.

Pemerintah Kota Yogyakarta dinilai perlu untuk lebih terbuka dengan fenomena ini. 

Baca Juga: Stop Label Buruk Pada Perempuan Karena Anak Terkena Stunting

Jika data 1.225 anak stunting di atas dibandingkan dengan data Badan Psat Statistik (BPS) Kota Yogyakarta pada tahun 2022, terdapat 3.014 ibu hamil. Artinya, di tahun 2022 setiap ada dua ibu yang hamil, kemungkinan ada 1 anak yang lahir berisiko stunting

Selain itu, menurut SSGI, tahun 2021 di Indonesia 1 dari 4 anak mengalami risiko stunting. Kurang lebih ada lima juta anak Indonesia mengalami stunting

Sementara itu, anak Fatma yang sekarang berusia tiga tahun itu hanya memiliki berat 8,5 kg, sedangkan ketika lahir 2,570 gram atau 2,5 kg. Padahal biasanya, usia tiga tahun harusnya memiliki berat badan sekitar 12-16 kg. Kini, anak Fatma belum bisa berjalan atau duduk, padahal harusnya usia tiga tahun sudah bisa melakukan gerakan itu. 

“Hanya tengkurap dan guling-guling,” ujarnya. 

Selain stunting, kedua anak Fatma sekarang juga menderita katarak yang mengganggu penglihatan si anak. Rencana operasi harus dibatalkan karena uangnya harus digunakan untuk berobat orang tua Fatma yang juga sedang sakit. 

Anak Fatma juga menderita Rubella atau penyakit menular yang terjadi akibat infeksi virus. Penyakit ini menyerang anak-anak dan remaja, yaitu terjadinya ruam kemerahan pada kulit. 

Baca Juga: Edisi Perempuan NTT: Potret Buram Kemiskinan, Para Perempuan Kehilangan Anaknya

Pemerintah, kata Fatma, sempat menawarkan bantuan obat Rubella untuk anaknya, tetapi sampai sekarang tidak diberikan. Kondisi ini jelas membuat situasi Fatma semakin runyam. 

Untuk memperbaiki kondisi anaknya, dulu dirinya sesekali bisa membeli susu khusus untuk anaknya yang stunting, tetapi sekarang susu itu tidak terbeli karena kesulitan ekonomi. Akhirnya, upaya yang bisa dilakukan untuk pemulihan dan pengobatan kedua anaknya adalah dengan terapi pijat seminggu sekali. Pijat ini, kata Fatma, bisa membantu untuk mengatasi rewel dan tangis anaknya. 

“Dulu satu minggu tidak dipijat pada nangis. Setelah dipijat, tidak nangis-nangis,” terang Fatma. 

Dalam merawat kedua anaknya yang stunting itu, Fatma harus berjuang sendiri. Suaminya kerja, tak bisa membantu. Hanya saja, sesekali neneknya ikut membantu.

“Suami kerja, tidak bisa membantu,” kata Fatma. 

Sementara itu, Fatma juga tidak berharap banyak kepada pemerintah karena pernah diberikan harapan palsu, yaitu berupa janji pemberian obat Rubella yang sampai saat ini tidak diberikan. 

Kini, bersama neneknya, Fatma berjuang sekuat tenaga merawat kedua anaknya. 

Pemerintah, terang Fatwa, tidak banyak terlibat dalam urusan anaknya ini. Bahkan, untuk datang ke rumah saja, tidak ada sebulan sekali yang dilakukan Puskesmas. Padahal, di tahun 2022, Kota Yogyakarta pernah mendapatkan penghargaan dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai kota/kabupaten dengan prevalensi angka stunting terendah di DIY. Namun, dalam faktanya masih terdapat anak stunting yang belum dijangkau. 

Selain itu, dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 telah jelas diterangkan tentang program penurunan stunting yang holistik, integratif, dan berkualitas. Hal ini dilakukan melalui koordinasi, sinergi, dan sinkronisasi di antara pemangku kepentingan di beberapa sektor. 

Baca Juga: Menikah di Usia Anak? Emosi Tak Stabil dan Rahim Belum Siap Melahirkan

Poros sudah mengirimkan permohonan wawancara terhadap Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta untuk memberikan tanggapan atas temuan ini. Namun, pihak Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, tegas menolak wawancara itu. 

Ummatul Baroroh, menanggapi, jika ada temuan seperti itu, ia akan menanyakan pada Puskesmas untuk mengkroscek di lapangan. 

“Puskesmas kalau mendapatkan laporan ini saya yakin tidak diam saja,” kata Ummatul saat diwawancara di kantornya pada Selasa, 1 Agustus 2023. 

Sementara itu, Nutrisionis Puskesmas Umbulharjo II, Vivi Meiliza Majid, mengatakan pihaknya sudah sering merujuk ke Puskesmas jika ada orangtua yang memiliki anak stunting. Puskesmas memang mengklaim sudah memberikan tambahan makanan. Namun, kata Vivi, orangtua anak yang tidak rutin periksa ke rumah sakit. Selain itu, pihaknya sudah berkoordinasi dengan lintas sektor, seperti kelurahan, Kades, tokoh, masyarakat karena kasus stunting bukan hanya tanggung jawab dari bidang kesehatan. 

“Tindak lanjut dari lintas sektor memberikan tambahan makanan dari anggaran kecamatan melalui kelurahan. Puskesmas juga memberikan tambahan makanan tiap tahun, tetapi tahun 2022 tidak ada anggaran,” terang Vivi saat dihubungi melalui pesan singkat pada 3 Agustus 2023. 

Direktur Kalyanamitra, Listyowati, menilai dari sisi yang lain. Ia melihat, kadang pemerintah tidak dengan legowo ketika melihat fakta bahwa fenomena stunting masih terus terjadi di masyarakat. Namun lebih condong menutupi dan tidak mau melihat. 

Dalam temuan Kalyanamitra, pemerintah di daerah lain banyak yang sudah terbuka dan mengakui ketika ada stunting di daerah mereka. Seharusnya pemerintah lebih peduli terkait temuan fenomena yang belum mereka ketahui semacam ini. Justru ini menjadi temuan yang bisa dijadikan evaluasi dari kebijakan dan program yang sudah berjalan. 

“Terbuka saja, kerja sama, kita tidak akan mencari siapa yang salah. Justru apa yang bisa kita lakukan dengan peran kita masing-masing,” kata Lilis, panggilan akrab Listyowati, saat diwawancara pada 1 Agustus 2023.  

Baca Juga: City Car, Industri dan Kebijakan Pemerintah Bikin Udara Jakarta Buruk

Selain Fatwa, Hida (bukan nama sebenarnya) juga memiliki anak yang menderita stunting. Namun, berbeda dari Fatwa, Hida kerap mendapatkan bantuan dari pemerintah kota berupa susu khusus untuk anak stunting

Sebelumnya, anak Hida lahir normal dengan berat 2,7 kg dan tinggi 47 cm, tetapi anaknya susah untuk makan. Akibatnya, pertumbuhan anaknya stagnan, tinggi badannya pendek, kekurangan nutrisi dan gizi kronis. Hasil rontgen tulang juga menunjukan ada perbedaan usia anak dan usia tulang. Waktu itu, ketika usia tiga tahun, tulangnya baru berusia dua tahun. Berat badannya pun juga tidak sesuai dengan usia anak.

“Jauh banget, di bawah garis merah,” katanya. 

Namun, kondisi anaknya yang sekarang berusia lima tahun itu sudah membaik, meski hanya bisa makan bubur. 

“Masih dalam pemantauan,” kata Hida kepada saat diwawancara di rumahnya pada Sabtu, 22 Juli 2023.

Baca Juga: Food Vlogger: Dulu Hobi, Sekarang Jadi Profesi

Hida ingat ketika mengandung anak pertamanya itu dirinya masih bekerja di Kalimantan. Situasi kerja dan kondisi ekonomi yang tidak stabil menjadi latar belakang dari kondisi yang dialami anaknya saat ini. Dulu, gaji Hida oleh perusahaan tidak dibayarkan secara rutin, tetapi sering ditunda, kadang dua bulan sekali, bahkan tiga bulan sekali. 

“Harus berhemat meskipun dalam keadaan hamil,” kata Hida. 

Kondisi ini berakibat pada kesehatan Hida yang terganggu. Saat hamil, Hida sering muntah dan tidak bisa makan enam bulan. Akhirnya, kebutuhan gizi ibu dan anaknya terganggu. Dari perjalanan inilah Hida menduga ini kemudian terhubung dengan kondisi anaknya.

Selain itu, dari peristiwa yang ia alami, Hida belajar bahwa pengetahuan tentang mendidik, tumbuh kembang anak, kesehatan mental, dan nutrisi anak sangat penting sebelum memutuskan menikah atau memiliki anak. 

“Dulu sebelum menikah tidak ada namanya pengetahuan tentang hal-hal itu,” kata Hida. 

Saat ini, Hida terus berupaya memperbaiki kondisi anaknya dengan terus memberikan makanan yang sehat dan intensif

Kehamilan Remaja Salah Satu Pemicu Terjadinya Stunting

Dalam perspektif feminisme, perempuan selama ini selalu menjadi orang yang banyak disalahkan jika anaknya terkena sesuatu. Hamil dalam kondisi tak sehat, kurang bergizi, dan suami pergi tak pernah menunggui. Namun perempuan selalu menjadi tumpuan kesalahan ketika ada anaknya yang bermasalah, seperti terkena stunting. Ini memperlihatkan bahwa stunting bukan hanya perkara medis, namun berkorelasi erat dengan ketimpangan gender dan stigma yang dilekatkan pada perempuan. 

Dalam rumah tangga, perempuan mesti menanggung beban ganda dalam peran pengasuhan. Begitu juga dalam kemiskinan, ancaman kekerasan, hingga pelabelan stigma-stigma sebagai perempuan. Posisi perempuan, dianggap sebagai agensi ganda. Di satu sisi, perempuan bisa menjadi mediator kejadian stunting pada anak, namun juga sekaligus harus menjadi pengentas stunting dalam keluarga. 

Ummatul Baroroh mengatakan pihaknya juga melakukan sesuatu dengan kondisi ini. Ia memiliki tim pendamping keluarga yang terdiri dari tiga unsur, yaitu Kader KB, PKK, Bidan. Tim ini tugasnya adalah mendampingi masyarakat yang ada di kota Yogyakarta yang memiliki risiko stunting. Lima unsur yang menjadi sasaran pendampingan ini adalah remaja putri atau calon pengantin, ibu hamil, ibu nifas, balita, dan baduta. Pendampingan ini bagi ibu yang sudah baik, agar jangan sampai berisiko.

“Yang kurang baik (kondisinya kurang bagus) mengentaskan dengan memberikan edukasi kepada keluarga tersebut,” terang Ummatul.

Baca Juga: Kisahku Membesarkan Anak Bertubuh Mini: She Is Special and Limited Edition

Kemudian, Ummatul menerangkan bahwa pendidikan rendah dan kehamilan remaja juga menjadi salah faktor pemicu terjadinya stunting. Kehamilan remaja, kata Ummatul, mereka biasanya baru SMP. 

Sementara itu, data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tentang Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) yang dialami remaja pada tahun 2018-2022 fluktuatif. Pada tahun 2018, terjadi 189 KTD, tahun 2019 terjadi 191 KTD, tahun 2020 terjadi 221 KTD, tahun 2021 terjadi 175 KTD, dan 2022 terjadi 216 KTD. 

(Grafik Persalinan Remaja di Kota Yogyakarta)

Ummatul mengingatkan bahwa peran orang tua dalam pendidikan anak itu sangat penting. Apalagi, dalam hal pola asuh suami istri harus berkomitmen untuk merawat anaknya alias tidak boleh saling lempar tanggung jawab. 

“Sehingga, hal-hal yang tidak diinginkan itu bisa dihindari,” pesannya. 

Selain itu, pihaknya berpesan bagi para orang tua yang memiliki anak yang berisiko stunting diharapkan untuk bisa datang ke Posyandu agar terpantau oleh Kader KB, kemudian bisa dilaporkan ke Puskesmas. Kemudian, Tim Pendamping Keluarga juga akan langsung mendampingi. 

Lilis juga mengamini bahwa kehamilan remaja jadi salah satu pemicu terjadinya stunting. Ketidaksiapan dalam usia anak dalam hamil dan melahirkan akan riskan terhadap stunting

Oleh karena itu, bagi Lilis, rekomendasi yang diberikan adalah ketika orang ingin daftar nikah atau pendidikan kepada calon pengantin isu stunting bisa dimasukkan untuk kesiapan memiliki anak. 

“Sebagai pengetahuan orang yang mau menikah,” terang Lilis.  

Dimensi Gender Kejadian Stunting

Secara umum, stunting sudah terjadi di Indonesia sejak zaman dahulu atau bukan hal yang baru di Indonesia. Fenomena ini juga sudah menjadi isu nasional, bahkan internasional. 

“Aku yakin di era sebelumnya stunting sudah ada, mungkin istilahnya belum pakai stunting,” kata Ketua Kalyanamitra, Listyowati.

Selain itu, menurut Lilis, panggilan akrab Listyowati, terkadang kita melihat fenomena stunting penanganannya bukan pada tahap pencegahan, tetapi penanganan ketika sudah terjadi kasus. Menurut istilah Lilis, fenomena ini disebut seperti pemadam kebakaran. Akhirnya program yang berjalan tidak menyasar sebelum stunting, tetapi setelahnya. 

“Kenapa kita tidak berpikir penanganan ketika dari ibu hamil, bukan pada saat anak lahir stunting,” terangnya. 

Kemudian, Lilis menyatakan ketika melihat isu stunting harus dikaitkan dengan berbagai isu dan sektor alias tidak hanya pada satu sisi kesehatan saja. Salah satu fenomena yang ditemukan oleh Kalyanamitra adalah dimensi gender dalam kasus stunting yang tidak menjadi perhatian selama ini.

Sebelumnya, pada 2021, tim Kalyanamitra melakukan kajian terkait dimensi gender dalam kejadian stunting dengan mengambil studi kasus di tiga desa di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, tahun 2019-2021. 

Dimensi gender yang dimaksud adalah relasi kuasa suami-istri dalam keluarga, pembagian kerja secara gender, norma sosial dan keluarga, distribusi hak dan kewajiban, manfaat, hambatan, partisipasi, dan kontrol yang mempengaruhi perempuan dan laki-laki. 

Selain itu, dalam dimensi gender juga terdapat relasi gender. Relasi gender ini tercermin dari hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam wujud kerjasama, koneksi, saling dukung, konflik, pemisahan, kompetisi, perbedaan, dan ketimpangan. Hal ini menunjukan bagaimana kekuasaan didistribusikan di antara perempuan dan laki-laki. Lebih dari itu, kekuasaan inilah yang menciptakan dan memproduksi perbedaan/pembedaan yang sistematis terhadap kedudukan perempuan dan laki-laki di alam keluarga dan masyarakat. 

Baca Juga: KUPI Perjuangkan Stop Kekerasan Perempuan Atas Nama Agama

Dalam temuan kajian ini, intervensi medis saja ternyata belum menurunkan angka stunting desa tersebut. Oleh karena itu, menurut Listyowati, kejadian stunting berkorelasi dengan ketidakstabilan gender yang dialami perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Apalagi, dimensi gender belum dipakai sebagai pendekatan untuk memotret indikasi dan faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya stunting di Kulon Progo.

Lilis menjelaskan bahwa kejadian stunting juga berkaitan dengan pembagian kerja di keluarga. Ketika ibu hamil, kata Lilis, apakah suaminya memperhatikan gizi ibu hamil, diperhatikan kondisi tubuhnya, atau malah ketika ibu hamil masih memerankan kerja ganda di rumah? Hal ini juga akan berpengaruh terhadap kelahiran anaknya yang berisiko stunting

Selain itu, budaya, pendidikan yang memberikan informasi terhadap ibu hamil, kekerasan terhadap perempuan juga menjadi pemicu terjadinya kelahiran anak stunting

Jadi, kata Lilis, kita tidak bisa melihat isu stunting hanya dari sisi isu kesehatan saja, tetapi kompleksitas isu harus menjadi dasar ketika akan mencegah terjadinya stunting

“Itu kita temukan ketika melakukan kajian lapangan terkait dimensi gender dalam stunting,” terang Lilis. 

Sementara itu, sebenarnya integrasi prinsip pengarusutamaan gender dalam nomenklatur dalam penyusunan kebijakan dari nasional hingga desa sudah ada. Tetapi pemahaman dan integrasinya tidak dilakukan.

“Sehingga, itu hanya jadi kebijakan saja,” terang Lilis. 

Baca Juga: Anak Perempuan Makan Paling Sedikit di Rumah, G20 Harus Atasi Krisis Kelaparan

Kajian tersebut kemudian merekomendasikan untuk pemerintah desa perlu membuat kebijakan, program, dan anggaran yang meningkatkan kesetaraan atau keadilan gender.

Pemerintahan desa juga harus membuat basis data kependudukan yang mampu menampilkan kebaruan data warganya setiap saat, khususnya yang terkait dengan data stunting dan kemiskinan. Apabila memungkinkan, maka mengganti cara manual menjadi digital dengan aplikasi tertentu yang ramah untuk dipergunakan oleh siapa saja. Sehingga ketersediaan dan keterbaruan data terjadi yang akan memudahkan semua pihak.

Selain itu, diperlukan pula pendataan yang komprehensif dan terpilah sampai ke tingkat desa. Data terpilah ini menjadi penting sebagai landasan bagi pemerintah di tingkat kabupaten dalam menyusun kebijakan, program, dan anggaran.

Untuk pengentasan stunting, diperlukan kolaborasi antar lembaga dan multipihak dengan menggunakan perspektif gender dan anak. Dalam hal ini, sinergitas pemerintah kabupaten, provinsi, dan nasional harus diperkuat sebagai sebuah bidang yang terkoordinasi dengan fungsi masing-masing. 

Liputan ini merupakan kolaborasi antara Pers Mahasiswa Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan Konde.co

Adil Al Hasan

Jurnalis Pers Mahasiswa "Poros" Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan kontributor Konde.co. Demisioner Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!