Viral Suami WNA Selingkuh dan Rebut Anak Kandung, Apa Upaya Hukum Yang Bisa Ditempuh?

Belakangan ramai kasus perempuan warga negara Korea, AM, yang diduga suaminya (WNA), AW, berselingkuh dengan artis asal Indonesia berinisial TE. Ia berjuang untuk kembali berkumpul dengan anaknya yang katanya direbut secara paksa oleh keduanya. Nina dari Jakarta menanyakan, bagaimana langkah hukum yang bisa ditempuh jika dalam situasi seperti ini? Apa saja yang perlu diperhatikan?
Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 
Tanya:

Halo kakak Klinik Hukum Perempuan, saya Nina (24 tahun). Saya ingin bertanya, mengenai kasus viral perempuan artis Indonesia yang diduga berselingkuh dengan seorang laki-laki (WNA) yang merupakan suami dari perempuan (WNA Korea Selatan). Perempuan artis tersebut juga diduga merebut empat anak (salah satu anaknya baru berusia empat bulan) dari perempuan (WNA Korea Selatan) yang merupakan ibu kandung dari keempat anak tersebut dari perkawinannya, seperti video yang saya lihat yang tersebar di TikTok. Video tersebut berisi cuplikan kejadian saat perempuan (WNA Korea) mengejar anak-anaknya di rumah sakit, namun ia tidak diperbolehkan untuk bertemu anak-anaknya oleh pihak suami dan perempuan artis itu. Ketika perempuan WNA Korea hendak mengejar dan mengambil bayinya, perempuan artis tersebut tidak mau menyerahkan bayinya, menarik anak-anak tersebut, dan pergi menjauh. Sepengetahuan saya, itu melanggar hukum karena perempuan artis tersebut bukanlah ibu biologis dari anak-anak tersebut. 

Mohon penjelasannya ya. Saya kasihan sekali kepada perempuan (WNA Korea) tersebut yang dijauhkan dari anak-anaknya tidak secara prosedur hukum. Apa ancaman pidana bagi orang yang mengambil anak orang lain secara paksa? Kemana perempuan WNA Korea ini harus melaporkan kasus tersebut mengingat ia dan suaminya bukan WNI? Terimakasih. 

(Nina- Jakarta)

Jawab:

Halo Nina, terimakasih sudah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Dari berita media yang saya baca, korban (perempuan, WNA Korea) yang kasusnya Anda maksudkan viral di TikTok, sudah melaporkan kasus dugaan perzinahan suaminya dan menghalangi pemberian ASI eksklusif kepada anak kandungnya, ke Polda Metro Jaya, dan saat ini sedang dalam proses terima dan administrasi lidik. Oleh karena kasusnya sedang dalam proses penyelesaian pihak yang berwenang (polisi), maka kami tidak akan membahas perkara viral tersebut secara spesifik kepada pihak-pihak terkait atau pelapor dan pihak-pihak terlapor. Namun, pembahasan akan kami fokuskan kepada tiga persoalan hukum yang terjadi, yaitu masalah perselingkuhan (perzinahan), perebutan anak oleh orang yang tidak berhak dari ibu kandungnya, dan perbuatan menghalang-halangi ibu kandung untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya.   

Aturan Hukum Kasus perzinahan

Pertama, bahasan soal masalah perselingkuhan yang berkaitan dengan kasus perzinahan. Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mendefinisikan zina sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang bukan suami atau istrinya. 

Overspel tidak dapat ditindak dengan hukum pidana tanpa adanya pengaduan dari istri atau suami yang dirugikan. Ini dikarenakan perzinahan merupakan delik aduan absolut. Yaitu, hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari pihak yang mempunyai hak untuk mengadukan hal tersebut, baik pihak suami atau isteri yang dirugikan atas perbuatan perzinahan itu. Sehingga tanpa adanya pengaduan, maka polisi tidak bisa melakukan proses pidana atas perbuatan perzinahan. 

Pengaduan pun dibatasi dalam waktu 6 (enam) bulan sejak peristiwa perzinahan tersebut diketahui. Jika pengadu/pelapor berada di luar negeri, maka waktunya sekitar 9 (Sembilan) bulan.

Baca Juga: Dikriminalisasi Karena Posting Chat Perselingkuhan Suami Di Medsos, Apa Yang Harus Dilakukan?

Perbuatan zina dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam pasal 284 KUHP, yang berbunyi: 

Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan:

1.a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.

b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.

2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.

b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

Pasal 27 KUHPerdata: “Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.”

Baca Juga: Jika Korban KDRT di Pernikahan Siri Menggugat, Bisakah Pelaku Dijerat Hukuman?

Kasus perzinahan akan diproses oleh pihak kepolisian jika ada bukti yang cukup.  Bahwa telah terjadi perzinahan tersebut dan saat itu juga harus disertai dengan adanya gugatan perceraian dari pihak suami atau isteri yang dirugikan tersebut (vide pasal 284 ayat 5 KUHP). 

Tanpa adanya gugatan cerai, maka kasus perzinahan tidak dapat dilanjutkan ke pengadilan, walaupun peristiwa perzinahan tersebut bisa dibuktikan benar-benar terjadi.

Selain itu, pengaduan terhadap kasus perzinahan dapat dilakukan pencabutan selama persidangan perkara tersebut belum dimulai (vide pasal 284 ayat (4) KUHP). Hal ini berbeda dengan delik aduan lainnya yang mana hanya boleh dicabut dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak ia memasukan pengaduannya tersebut ke Kepolisian (diatur dalam pasal 75 KUHP).

Adapun jika pelaku perzinahan akan dilaporkan kepada polisi, apa saja bukti perzinahan yang bisa digunakan? Menurut Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP), setidak-tidaknya terdapat alat bukti yang sah, yaitu:

(1)  keterangan saksi;

(2)  keterangan ahli;

(3)  surat;

(4)  petunjuk;

(5)  keterangan terdakwa. 

Jerat Hukum Orang Lain Yang Merebut Anak dari Ibu Kandungnya   

Kedua, mengenai orang lain yang merebut atau menghalang-halangi ibu kandung untuk menemui anaknya. Sementara, ia adalah bukanlah orang yang berhak atas kekuasaan dan pemeliharaan anak tersebut (bukan orang tuanya atau walinya yang sah secara hukum). Maka, perbuatan orang tersebut termasuk dalam kejahatan terhadap kemerdekaan orang/ perampasan kemerdekaan terhadap anak dan perempuan yang diatur dalam Pasal 330 KUHP, yang berbunyi: 

Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

Selanjutnya, apabila perbuatan ini dilakukan dengan cara tipu milihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur 12 tahun, dijatuhkan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Baca Juga: Cerai Karena KDRT, Ibu Yang Tak Bekerja Berhakkah Atas Hak Asuh Anak?

Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal” disebutkan bahwa unsur-unsur dari Pasal 330 KUHP akan terpenuhi Apabila:

1.     Orang yang melarikan orang yang belum dewasa tersebut niatnya sengaja mencabut kekuasaan dari orang yang berhak dapat diancam dengan hukuman.

2.     Pada waktu melarikan, orang itu harus mengetahui bahwa orang tersebut belum dewasa.

3.     Dalam hal ini harus dapat dibuktikan, bahwa terdakwalah yang mencabut (melarikan), jadi bukan dengan kemauan anaknya sendiri yang lari dari orang tua tersebut. 

4.     Jika anak yang belum dewasa dengan kemauannya sendiri melepaskan dirinya dari kekuasaan orang tua atau walinya dan pergi meminta perlindungan kepada orang lain, dan orang tersebut menolak untuk menyerahkan kembali anak itu kepada walinya, maka tindakan tersebut tidak dapat disebut sebagai tindakan menarik atau mencabut anak yang belum dewasa dari kekuasaan orang tua atau walinya.

Baca Juga: Apa yang Dimaksud Saksi Korban dalam Pelaporan Kasus KDRT?

Sedangkan apabila suami dan pihak lain (yang diduga selingkuhannya suami) menghalangi ibu kandung untuk menyusui bayinya yang ada dalam penguasaan suaminya, maka perbuatan tersebut melanggar Pasal 42 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan (UU Kesehatan), yang berbunyi: 

(1)  Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.

(2)  Pemberian air susu ibu dilanjutkan sampai dengan usia 2 (dua) tahun disertai pemberian makanan pendamping.

(3)  Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat wajib mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.

(4)  Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diadakan di tempat kerja dan tempat/fasilitas umum.

Sanksi Hukum Menghalang-halangi Ibu Memberikan ASI Kepada Bayinya

Mengenai pemberian  pengaturan mengenai pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif diatur dalam Pasal 42 UU Kesehatan yang berbunyi:

(1)  Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.

(2)  Pemberian air susu ibu dilanjutkan sampai dengan usia 2 (dua) tahun disertai pemberian makanan pendamping.

(3)  Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat wajib mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.

(4)  Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diadakan di tempat kerja dan tempat/fasilitas umum.

Baca Juga: Suami Selingkuh, Pentingnya Perjanjian Harta Gono-Gini

Pemberian ASI eksklusif ini juga sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Eksklusif yang tetap berlaku walaupun telah ada pembaharuan dalam UU Kesehatan.

Adapun Sanksi bagi orang yang menghalangi pemberian ASI eksklusif ibu kepada bayinya diatur dalam Pasal 430 UU Kesehatan dengan ancaman pidana sebagai berikut:

Setiap Orang yang menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 50 juta.

Selain sanksi pidana, ibu kandung yang merasa dirugikan oleh pihak yang menghalangi pemberian ASI eksklusif kepada bayinya, dapat menuntut ganti rugi materiil dengan menggunakan gugatan perdata atas perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri dengan menggunakan dasar hukum Pasal 1365 KUH Perdata.

Demikian Nina penjelasan kami di Klinik Hukum Perempuan, semoga bermanfaat.

Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim LBH Apik Jakarta. Kamu bisa mengirimkan email Infojkt@lbhapik.org atau Hotline (WA Only) pada kontak +62 813-8882-2669. 

Sri Agustini

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!