Jika Korban KDRT di Pernikahan Siri Menggugat, Bisakah Pelaku Dijerat Hukuman?

Pernikahan secara agama atau adat seringkali disebut ‘pernikahan di bawah tangan’ yang tak tercantum di catatan negara. Bagaimana jika perempuan di pernikahan siri ataupun adat mengalami KDRT? Apakah pelaku tetap bisa dijerat UU Penghapusan KDRT?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, dan Perempuan Mahardhika. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya:

Halo, perkenalkan saya Novia. Kemarin saya tidak sengaja mendengar percakapan orang lain, apakah benar istri yang mengalami kekerasan fisik dalam rumah tangga tidak dapat melaporkan KDRT ke kepolisian karena perkawinannya hanya secara adat dan belum sah secara negara? Saya sangat membutuhkan jawaban ini karena di lingkungan tempat tinggal saya, banyak yang melakukan perkawinan hanya secara adat. Terima kasih.

Jawab:

Halo Novia. Saya Tutut Tarida dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender. Terima kasih telah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Perkawinan merupakan situasi yang kompleks, ditambah jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga di dalamnya. 

Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”), negara hadir memberikan perlindungan pada korban KDRT. 

KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga. Termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1 UU PKDRT).

Dengan pengertian KDRT di atas, UU PKDRT bisa diterapkan jika kekerasannya terjadi dalam lingkup rumah tangga. Hal itulah yang menjadi kekhususan dari UU PKDRT. Unsur “lingkup rumah tangga” harus dibuktikan. Pembuktian dalam lingkup rumah tangga dimulai dari perkawinan. Sebenarnya, bagaimana pengaturan perkawinan di Indonesia?

Pengaturan Perkawinan di Indonesia

Di Indonesia, Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). 

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Tujuannya, membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). 

Dalam penjelasan dan prinsip UU Perkawinan, suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu, tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat- surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. 

Idealnya, bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Selanjutnya, perkawinan menurut agama Katolik, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu, Penghayat dan lain-lain, pencatatan perkawinan dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS). 

Proses pencatatan perkawinan adalah proses administratif. Dalam konteks agama/adat perkawinan yang tidak dicatatkan tetap sah. Namun dalam hukum nasional, proses pencatatan ini telah menjadi bagian dari hukum positif, karena hanya dengan proses ini maka masing-masing pihak diakui segala hak dan kewajibannya di depan hukum.

KDRT pada Nikah Siri atau Nikah Adat

Kembali pada pertanyaan Saudara, bagaimana jika KDRT terjadi pada rumah tangga yang perkawinannya menurut agama/ adat dan belum ada pencatatan perkawinan? 

Dalam menerima laporan KDRT, sering disalahpahami bahwa perkawinan harus tercatat resmi Negara. Jika perkawinan yang terjadi adalah perkawinan secara agama/ adat atau yang biasa disebut “perkawinan bawah tangan” seolah-olah tidak dilindungi oleh UU PKDRT. 

Padahal, sebagai salah satu contoh, Pengadilan Negeri Waikabubak menerbitkan Putusan Pengadilan Negeri Waikabubak Nomor 33/Pid.Sus/2023/PN.WKb tanggal 10 Mei 2023 dalam amar putusannya menyatakan:

“Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 44 ayat 1 jo Pasal 5 UU PKDRT dan menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun. Dalam pemenuhan unsur “dalam lingkup rumah tangga” bahwa Pelaku dan Korban Ketika terjadi kekerasan telah dalam ikatan perkawinan secara adat dan tinggal Bersama, sehingga unsurnya terpenuhi.”

Namun, kami memahami kekhawatiran Saudara, tentang apakah bisa melaporkan KDRT tersebut atau tidak. Jawabannya adalah Saudara dapat melaporkan KDRT tersebut. 

Baca Juga: Viral Suami Pelaku KDRT dan Bunuh 4 Anak Kandung, Apa Hukuman Yang Tepat? 

Namun, pada kenyataannya memang sering terkendala pada terbatasnya kemampuan dan pemahaman petugas kepolisian. Dimana banyak terjadi laporan KDRT yang terjadi dalam perkawinan secara agama/ atau akan diterima, namun tidak menggunakan UU PKDRT. Melainkan, mereka menggunakan aturan hukum lain. 

Hal itu terjadi misalnya dalam perkawinan terjadi kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Karena perkawinannya belum tercatat secara resmi, maka kekerasan yang terjadi proses hukumnya menggunakan Pasal 351 KUHP tentang tindak pidana penganiayaan bukan Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT.

Apakah memberikan rasa keadilan bagi istri yang mengalami KDRT karena perkawinannya belum tercatat? Tentu tidak. UU PKDRT adalah bentuk kehadiran Negara dalam memberikan perlindungan kepada Korban KDRT. 

Korban KDRT yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. 

Dalam kenyataannya kasus KDRT banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban KDRT. Pada penerapan aturan hukum lain, korban akan kehilangan hak yang telah diatur dalam UU PKDRT. Seperti, perintah perlindungan yang mana tidak diatur dalam KUHP. 

Baca Juga: Cerai Karena KDRT, Ibu Yang Tak Bekerja Berhakkah Atas Hak Asuh Anak?

Aparat Penegak Hukum (APH) harus memahami bahwa penerapan hukum yang bersifat normatif pada tindak pidana, dimana perempuan dan anak menjadi korbannya, membutuhkan analisis gender tentang kerentanan yang mereka miliki lebih tinggi. 

Di sisi lain, pembuktian unsur “dalam lingkup rumah tangga” tidak dapat diartikan secara sempit dan terbatas pada tercatat atau tidak tercatat perkawinannya. Tapi, harus melihat lebih dalam bagaimana tujuan membentuk keluarga (rumah tangga). 

Lebih dari 20 tahun UU PKDRT hadir sebagai pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan. Ini menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, tujuan hukum haruslah untuk memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim Kolektif Advokat Keadilan Gender (KAKG) melalui bit.ly/FormAduanKAKG atau email: konsultasi@advokatgender.org.

Tutut Tarida

Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!