Aktivis: GA Adalah Korban Dan Bukan Pelaku, Polisi Jangan Salah Kaprah

Polisi menjadikan satu artis perempuan, GA dan satu laki-laki, MYD menjadi tersangka. Ini bukan kali pertama polisi mengurusi urusan personal dan menjadikan tersangka para pihak yang tidak mau video pribadinya disebar. Mereka yang harusnya menjadi korban, malah dijadikan pelaku oleh polisi

Sekitar tanggal 7-8 November 2020 lalu muncul video pribadi yang diduga menyertakan artis perempuan, GA dan laki-laki, MYD tersebar di dunia maya.

GA dan MYD diberitakan memberikan keterangan bahwa orang yang ada dalam video tersebut adalah mereka berdua. Pada 29 Desember 2020 penyidik kepolisian kemudian menetapkan GA dan MYD menjadi tersangka atas sangkaan Pasal 4 UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi.

Maidina Rahmawati, peneliti Institute for Criminal Justice Reform/ ICJR dalam pernyataan pers nya mengingatkan catatan mendasar pada kasus ini, bahwa siapapun yang berada dalam video tersebut, apabila sama sekali tidak menghendaki adanya penyebaran ke publik, mereka tidak dapat dipidana seperti dalam pasal berikut ini:

Pertama, dalam konteks keberlakukan UU Pornografi, orang dalam video yang tidak menghendaki penyebaran video tidak dapat dipidana. Terdapat batasan penting dalam UU Pornografi, bahwa pihak-pihak yang melakukan perbuatan “membuat” dalam Pasal 4 UU Pornografi tidak dapat dipidana apabila dilakukan untuk tujuan diri sendiri dan kepentingan sendiri. Dengan demikian perbuatan membuat pornografi tidak bisa dipidana apabila dilakukan untuk kepentingan diri sendiri atau kepentingan pribadi.

Pasal 6 UU Pornografi juga menyebutkan larangan “memiliki atau menyimpan” tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.

Perdebatan lain yaitu terkait dengan adanya Pasal 8 UU Pornografi tentang larangan menjadi model atau obyek yang mengandung muatan pornografi, mengenai hal ini, risalah pembahasan UU Pornografi menjelaskan bahwa yang didefinisikan sebagai perbuatan kriminal adalah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di ruang publik, ada aspek mendasar yaitu harus ditujukan untuk ruang publik

“Maka selama konten tersebut adalah kepentingan pribadi, sekalipun sebagai pemeran dalam suatu konten, ketentuan hukum dan konstitusi di Indonesia melindungi hak tersebut. Perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Larangan menjadi model tetap harus dalam kerangka komersial, bukan kepentingan pribadi,” kata Maidina

ICJR meminta pada penyidik kepolisian harus memahami bahwa apabila GA dan MYD tidak menghendaki penyebaran video tersebut ke publik atau untuk tujuan komersil, maka mereka adalah korban yang harusnya dilindungi.

“Polisi harusnya kembali ke fokus yang tepat yaitu penyidikan kepada pihak yang menyebarkan video tersebut ke publik.”

AJI Jakarta Desak Media Lebih Sensitif Gender dan Berperspektif Korban

Sementara, Aliansi Jurnalis Independen/ AJI Jakarta mendesak media untuk lebih sensitif gender dan berperspektif korban dalam memberitakan kasus UU Pornografi

AJI Jakarta juga mendesak agar media massa tidak bersikap diskriminatif dan patuh terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dalam pemberitaan kasus yang berkaitan dengan UU Pornografi.

Dalam pemberitaan kasus GA, media dinilai tidak berimbang dalam penyajian narasumber hingga cenderung hanya mengejar klik bait dan bersifat eksploitatif.

Media banyak yang hanya mengutip sumber tunggal, tanpa menyertakan narasumber lainnya agar berita berimbang dan tidak memojokkan. Padahal, dalam pasal 1 KEJ telah jelas disebutkan,  wartawan Indonesia mesti bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Imbasnya, tersangka yang semestinya merupakan korban dari kekerasan seksual berbasis online justru mendapat objektivikasi hingga disebutkan secara gamblang nama terangnya, yang dapat merugikan pribadinya ataupun lingkungan terdekatnya.

Korban juga tidak semestinya mendapatkan ketidakadilan atas gender sebagai perempuan, yang relatif mendapat sorotan lebih besar untuk mendulang pembaca. Ini melanggar Pasal 8 KEJ atas pelarangan menulis berita berdasarkan prasangka dan diskriminasi atas dasar gender.

AJI Jakarta juga mengingatkan agar media tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi dalam pemberitaan, sesuai dengan KEJ Pasal 3. Termasuk juga berpotensi melanggengkan stigmatisasi seperti penyebutan “asusila”, “video syur” hingga menyebut urusan privat rumah tangga korban yang bisa mengundang ujaran-ujaran dan stigma.

Kaitannya dengan ini, Ketua Divisi Gender, Anak dan Kelompok Marginal AJI Jakarta, Nurul Nur Azizah mengatakan agar media diharapkan tidak menyebutkan identitas anak berkaitan dengan kehidupan personal korban yang berpotensi menjadikannya turut menjadi korban.

“Padahal, kedua tersangka  merupakan korban kekerasan berbasis gender online (KBGO), yang videonya disebarkan oleh pelaku yang tidak bertanggung jawab yang sudah tertangkap sebelumnya,” ujar Nurul dalam siaran pers, Selasa (29/12/2020).

Kedua korban ditetapkan sebagai tersangka dengan dikenakan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 44 tentang Pornografi. Padahal, pasal tersebut juga masih berpotensi menjadi pasal karet karena mengatur ranah privat. Dalam hal ini, kedua tersangka merupakan korban dari kekerasan seksual berbasis online

Media massa, menurutnya, perlu bersikap kritis dan ‘menjernihkan’, bukan justru tampil dengan narasi yang diskriminatif. Sebab, sebagaimana tercantum dalam UU Pers Pasal 3 ayat 1, media tak hanya sebagai sumber informasi, tapi juga punya fungsi pendidikan.

Nurul pun mengingatkan, agar media perlu hati-hati dan kritis dalam pemberitaan. Selain itu, juga perlu terus berpegang pada KEJ untuk menjaga profesionalisme hingga kepercayaan publik.

“Pemberitaan media memiliki dampak besar, apalagi di era digital, jejaknya tak pernah hilang. Jangan sampai, karena pemberitaan yang diskriminatif bisa jadi trauma seumur hidup,” pungkasnya.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!