Pencinta Kucing sampai Joget Gemoy, Gimik Gaet Gen Z ini Ampuh Menangkan Prabowo- Gibran

Di luar bahasan soal kecurangan pemilu 2024 yang kini masih berlangsung, kami ngobrol bareng pengamat media sosial soal strategi kampanye Prabowo-Gibran. Gimik 'pencinta kucing sampai joget gemoy' disebut-sebut ampuh gaet Gen Z di pemilu 2024, tapi apa persoalan serius di baliknya?

Seperti sudah diprediksi berdasarkan quick count, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan calon presiden/wakil presiden nomor urut 2 sebagai pemenang Pilpres 2024. Penetapan hasil pemilu 2024 ini dilakukan setelah KPU menyelesaikan rekapitulasi nasional perolehan suara Pilpres 2024. 

Bertempat di ruang sidang utama KPU, penetapan hasil pemilu 2024 dibacakan dalam rapat pleno terbuka pada Rabu (20/3/24) pukul 21.00 WIB. Rapat pleno ini diikuti oleh saksi dari capres/cawapres dan partai politik serta anggota KPU daerah.

Ketua KPU Hasyim Asy’ari sempat menskor rapat pleno saat membacakan surat keputusan karena ada perbaikan dokumen selama sekitar 20 menit. Hasyim membacakan surat keputusan penetapan hasil pemilu berdasarkan berita acara nomor 218/PL.01.08-BA/05/2024 tanggal 20 Maret 2024. 

“Jumlah suara sah pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 H. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebanyak 96.214.691 suara,” katanya.

Sementara jumlah suara sah Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebanyak 40.971.906 suara. Jumlah suara sah Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebanyak 27.040.878 suara. Adapun jumlah keseluruhan suara sah nasional sebanyak 164.227.475. 

Pada hari KPU mengumumkan hasil penetapan pemilu 2024, frasa seperti Pilpres 2024 dan KPU RI menjadi trending topic di media sosial. Begitu juga dengan #PrabowoGibranMenangTelak.

Sejumlah pihak memandang media sosial punya kontribusi terhadap kemenangan Prabowo-Gibran. Meski sebenarnya ketiga capres/cawapres memakai media sosial untuk kampanye mereka.

Baca Juga: ‘Hunger Games’ di Pemilu 2024, Membuat Trauma Generasi

Kalau kita perhatikan istilah-istilah seperti “joget”, “gemoy”, “samsul”, “ketua penguin” dan “abah” kerap muncul di media sosial. Kata-kata ini banyak dipakai oleh tim kampanye maupun pendukung masing-masing capres/cawapres. Hingga hari ini istilah tersebut masih jadi perbincangan di media sosial. Entah itu dalam konteks mendukung ataupun menyindir masing-masing kandidat.

Selama kampanye pemilihan presiden kemarin, media sosial jadi medan pertempuran bagi masing-masing pasangan calon untuk merebut suara para pemilih pemula. Pasalnya para pemilih pemula yang sering disebut Gen Z ini dikenal sebagai digital native. Yakni generasi yang lahir di era digital. Gadget, internet dan media sosial jadi sarana utama mereka untuk mengakses informasi dalam kehidupan sehari-hari.

Apalagi merujuk data KPU, dari sekitar 204 juta pemilih 56 persennya merupakan Gen Z dan kelompok Milenial. Pemilih dari Gen Z berjumlah lebih dari 46 juta orang atau sekitar 22 persen. 

Generasi Z meliputi mereka yang lahir tahun 1995 hingga 2000-an. Sedang pemilih dari kelompok milenial berjumlah lebih dari 66 juta orang atau sekitar 33 persen. Kelompok milenial terdiri dari mereka yang lahir pada 1980 hingga 1994.

Karena itu, tak mengherankan jika semua kandidat membidik Gen Z dan kelompok milenial dalam kampanye mereka.

“Dengan blok pemilih yang sangat besar itu saya kira jadi wajar ketika semua kandidat presiden dan wakil presiden menyasar anak-anak muda ini. Karena dia sangat signifikan jumlahnya,” ujar Wisnu Prasetya Utomo, dosen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM kepada Konde.co, Minggu (3/3) via telepon.

Merebut Suara Gen Z Lewat Media Sosial

Namun meski ketiga capres/cawapres memakai media sosial untuk menyasar pemilih pemula, Wisnu melihat cara mereka mendekati anak-anak muda tersebut berbeda. Perbedaan itu mencakup sisi strategi maupun dari substansinya.

Pada pasangan Prabowo-Gibran, mereka secara sadar menggunakan media sosial jauh sebelum memasuki masa kampanye. Perbedaannya dengan capres yang lain adalah Prabowo memakai media sosial untuk memperhalus citra atau image-nya. Dan ini dilakukan tidak hanya pada saat masa kampanye, tapi sejak lima tahun kebelakang.

“Kita bisa melihatnya dari strategi komunikasi akun media sosialnya Prabowo maupun Partai Gerindra. Nah itu kelihatan cara memperhalus citranya,” terang Wisnu.

Jauh sebelum kampanye berlangsung, Prabowo kerap tampil sebagai sosok penyayang binatang di akun media sosialnya. Postingan tentang Prabowo bersama kucingnya mengundang banyak komentar dan like dari warganet. Bahkan Bobby, kucing kesayangan Prabowo ikut jadi topik perbincangan warganet.

Di lain waktu Prabowo tampil di akun media sosialnya dengan mengenakan hoodie, pakaian hangat dengan tudung kepala dan lengan panjang. Di kalangan Gen Z, hoodie termasuk salah satu outfit favorit.

Baca Juga: Uhuy! Komeng Masuk Parlemen Bukti Ampuhnya Komedi di Dunia Politik

Sementara pada Gibran, Wisnu mengungkapkan secara natural Gibran memang generasi milenial. Selain itu selama beberapa tahun ini, terutama setelah menjadi Wali Kota Solo Gibran menggunakan media sosial untuk sedikit banyak berkomunikasi dengan warganya.

Jadi ketika masa kampanye dimulai menurut Wisnu pasangan Prabowo-Gibran hanya memanen hasil yang sudah dipupuk beberapa tahun sebelumnya. Upaya untuk memperhalus citra tersebut kemudian mendapat momentumnya di periode kampanye dengan gimik-gimik seperti gemoy dan joget-joget.

“Nah kemudian, ketemu momentum seperti gemoy. Gemoy itu baru muncul masa kampanye, tetapi penghalusan citra Prabowo, Gerindra, Gibran itu sudah dilakukan beberapa tahun belakangan,” katanya.

Hal ini berbeda dengan capres/cawapres 01 atau pasangan Anies-Muhaimin, dan 03 yakni pasangan Ganjar-Mahfud. Menurut Wisnu kedua capres/cawapres tersebut juga sudah lama memiliki akun media sosial. Namun, mereka memakai media sosial dalam konteks mengomunikasikan kebijakan-kebijakan di daerah masing-masing ketika menjabat sebagai kepala daerah.

Pandangan berbeda disampaikan Laban Laisila, Head of Newsroom Narasi TV. Sebelum Prabowo dikenal di media sosial dengan gemoy dan joget-jogetnya, Ganjar sudah melakukannya jauh di awal. Formula yang dipakai Prabowo di media sosial saat kampanye sudah dipraktikkan lebih dulu oleh Ganjar.

“Di awal 2022 atau bahkan 2020 misalnya, di akun TikTok, Gen Z pada waktu itu lebih kenal Ganjar. Dengan pola yang sama (seperti dilakukan Prabowo sekarang), ala-ala Tugiman dan joget-joget,” ujar Laban kepada Konde.co, Sabtu (24/2) di Jakarta.

Formula yang dipakai para capres ini sangat ampuh untuk mendekati Gen Z.

“Ya memang ternyata itu laku. Maksudnya bukan karena (faktor) capres-cawapresnya saja, tapi karena yang laku di netizen memang gaya-gaya seperti itu,” tutur Laban.

TikTok Efektif Menggaet Pemilih dari Kalangan Gen Z?

Berdasarkan survei pascapencoblosan (exit poll) pemilu 2024 oleh Litbang Kompas, ditemukan makin muda usia pemilih, ketertarikan pada Prabowo-Gibran makin kuat. 

Survei juga menunjukkan dari 100 persen responden generasi muda, lebih dari separuhnya memilih pasangan Prabowo-Gibran. Detailnya pemilih milenial dengan kisaran usia 26-33 tahun mencapai 59,6 persen dan milenial kisaran usia 34-41 tahun sebesar 54,1 persen. Sedang pemilih Gen Z (17-25 tahun) mencapai 65,9 persen.

Dari data tersebut maka muncul pertanyaan, apakah kampanye capres/cawapres lewat media sosial dalam hal ini TikTok bisa dibilang berhasil? Apakah TikTok efektif untuk menggaet suara pemilih dari kalangan Gen Z?

Laban Laisila melihat ada pertemuan kepentingan antara Gen Z dengan capres/cawapres. Para capres/cawapres memakai media sosial pertama-tama untuk mencari popularitas. Dan cara meraih popularitas yang diterima adalah dengan gaya joget-joget. Sementara platform media sosial seperti TikTok menyetir penggunanya untuk mencari hiburan.

“Jadi ketemu itu kepentingannya. Anak-anak muda ke TikTok itu mau mencari hiburan, kebetulan lagi musim politik, sementara yang satu pengen mencari popularitas. Caranya ya dengan hiburan, sehingga isu-isu yang memang substansial akhirnya tersingkirkan,” terang Laban.

Baca Juga: Akademisi Sebut Program Kerja Prabowo-Gibran Lemah Pada 7 Isu Krusial Meski Unggul Quick Count

Namun Laban menambahkan tidak semua media sosial bertemu pada titik tersebut. Platform media sosial turut menentukan, seperti Twitter atau X, misalnya.

“Saya melihat bahwa diskusi yang jauh lebih substantif itu ada di Twitter atau X. Tapi anak-anak muda Gen Z itukan nggak begitu tertarik dengan Twitter,” ujarnya.

Sementara Wisnu Prasetya Utomo berpendapat data exit poll dari Kompas menunjukkan model kampanye yang dipakai Prabowo-Gibran efektif menyasar anak muda. Keberhasilan ini karena mereka memahami psikologi anak-anak muda di media sosial khususnya TikTok. Karena itu, program-program mereka dikampanyekan dengan gaya bahasa yang sederhana.

“Misalnya yang di-highlight itu makan-makan gratisnya, joget-jogetnya, gemoy-nya. Jadi sedikit yang bicara lebih substantif. Inikan mereka memahami karakter pengguna media sosial terutama TikTok,” kata Wisnu.

Ia menambahkan karakter pengguna TikTok memiliki attention span yang pendek. Karena itu gaya kampanye dengan bahasa sederhana dan tidak fokus pada substansi inilah yang dipakai Prabowo-Gibran. Sementara, model kampanye yang dilakukan Anies dan Ganjar lebih fokus pada substansi dengan membangun dialog, misalnya.

Prabowo-Gibran memakai strategi yang sama pada saat debat capres/cawapres yang diadakan KPU dan ketika kampanye terbuka. Wisnu menjelaskan pada momen tersebut Prabowo-Gibran lebih fokus mencari soundbite untuk TikTok.

“Misalnya Prabowo punya gimik seperti ngomong ‘omon-omon’ kemudian joget-joget. Begitu juga gerakan gestur Gibran ketika debat (yang terlihat sedang mencari sesuatu). Itu kan sesuatu yang disiapkan untuk media sosial. Jadi bukan untuk debat itu sendiri, tapi dibikin untuk media sosial,” papar Wisnu.

Karena itu ketika dalam debat capres/cawapres Prabowo diserang, timnya sudah siap untuk membuat konten berupa fansnya menangis. Ini semua merupakan strategi yang disusun dengan memahami karakter atau psikologi anak-anak muda yang ada di media sosial terutama TikTok.

Strategi Menutupi Jejak Masa Lalu sebagai Pelanggar HAM?

Gaya kampanye yang dipakai Prabowo-Gibran ini disebut-sebut mirip dengan yang dilakukan Presiden Filipina, Ferdinand Romualdez Marcos Jr alias Bongbong Marcos. Bongbong Marcos memenangkan pemilihan presiden di negaranya pada 2022 berpasangan dengan Wakil Presiden Sara Duterte.

Bongbong adalah anak Ferdinand Marcos, Presiden Filipina yang berkuasa dari tahun 1965 hingga 1986. Saat kampanye Bongbong berusaha mengubah citra diktator yang melekat pada dirinya dan keluarganya. 

Bongbong melakukan aksi joget saat kampanye hingga viral di media sosial X. Ia juga menggiring opini publik soal penggulingan ayahnya pada 1986 sebagai sebuah kesalahan.

Prabowo memiliki rekam jejak sebagai terduga pelanggar HAM di masa lalu. Saat reformasi 1998 ia diduga terlibat dalam penculikan sejumlah aktivis pro demokrasi oleh tim Mawar. Tiga belas orang yang diculik hingga sekarang tidak ketahuan dimana rimbanya.

Dewan Kehormatan Perwira yang menyidang Prabowo pada Agustus 1998 mengeluarkan surat bernomor KEP/03/VIII/1998/DKP. Seperti ditulis Tempo, surat tersebut menyingkap setidaknya delapan kesalahan Prabowo sebagai perwira yang berujung pada rekomendasi pemberhentian dari dinas keprajuritan.

Lalu apakah gaya kampanye joget-joget merupakan strategi untuk menutupi jejak masa lalu Prabowo? Pengajar FISIPOL UGM, Wisnu Prasetya tidak melihat kaitan langsung antara dua hal tersebut.  

Menurutnya media sosial punya pengaruh dalam membentuk citra atau image seseorang. Tetapi, strategi kampanye di media sosial tersebut tidak serta-merta bisa dilihat sebagai upaya untuk menutupi masa lalu. 

Alasannya, pertama, karakter media sosial terutama TikTok punya attention span yang pendek-pendek sehingga membutuhkan gimik yang lebih menonjol.

Kedua, soal problem masa lalu ada banyak hal yang lebih mendasar yang membuat Gen Z tidak terpapar dengan isu ini. Misalnya, minimnya pengetahuan tentang sejarah politik yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia dari SMP hingga SMA.

Baca Juga: Film ‘Dirty Vote’ Dirilis Jelang Pemilu, Di Tengah Demokrasi yang Lagi Roboh

Wisnu juga mengkritisi kegagalan kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam mengampanyekan isu ini secara lebih luas. Faktor lain adalah elite politik yang complicit. Artinya, di pemilu sebelumnya ada yang mempertanyakan masa lalu Prabowo terkait pelanggaran HAM. Tetapi karena sekarang satu kubu, mereka menganggap itu tidak penting.

“Kombinasi dari hal-hal tersebut membuat banyak orang, terutama anak-anak muda menjadi ignorant. Jadi buat saya media sosial hanya symptom saja. Dia bukan faktor utama yang menutupi masa lalu. Tapi yang menutupi masa lalu itu ya banyak hal tadi,” paparnya.

Wisnu menambahkan anak-anak muda, gen Z yang sangat tech savvy tersebut pada dasarnya juga kritis. Namun, problemnya adalah tidak ada informasi alternatif atau tandingan. Kondisi ini mengakibatkan kevakuman informasi sehingga diisi oleh gimik gemoy dan gimik joget.

Karena itu menurut Wisnu hal ini mesti jadi bahan evaluasi bagi kelompok-kelompok masyarakat sipil. Tidak bisa hanya menyalahkan gen Z dan media sosial termasuk melihat media sosial hanya sebagai satu-satunya aktor yang menghapus jejak masa lalu.

Laban Laisila, Head of Newsroom Narasi TV juga tidak melihat kaitan antara dua hal tersebut. Pasalnya capres yang lain juga memakai gaya kampanye yang sama. 

Ia tidak memungkiri adanya upaya untuk melakukan spinning issue atau pengalihan isu oleh masing-masing capres dan tim kampanyenya. Namun, gaya kampanye dengan gimik lewat TikTok pada dasarnya adalah cara untuk meraih popularitas.

“Misalnya Ganjar di periode-periode sebelumnya, dia nggak pengen kasus Wadas dan Kendeng naik. Atau Anies dengan kasus Kampung Bayam dan penggusuran yang nggak mau orang jadi ingat, meski dengan gaya kampanye yang berbeda. Tapi intinya, sesimpel mereka pengen popularitasnya bertambah,” ujarnya.

Media Perlu Mengambil Peran

Dalam situasi semacam ini, baik Laban maupun Wisnu melihat ada peran yang perlu diambil oleh media massa. Laban berpendapat media perlu melakukan agenda keeping, mengawal isu-isu substansial yang berkaitan dengan kepentingan kelompok-kelompok marginal.

Ia menjelaskan pada masa kampanye yang sangat riuh, isu-isu tentang kelompok marginal juga isu-isu yang substantif dan menjadi tantangan masyarakat ke depan tidak akan pernah menang. Ini lantaran para capres/cawapres punya kepentingan terhadap popularitas.

Isu atau agenda substansial ini misalnya tentang kesetaraan gender, inklusi, penghapusan korupsi dan kemiskinan, dan sebagainya.

Karena itu, menurut Laban penting untuk mengawal agenda-agenda substansial tersebut setelah para kandidat terpilih. Ini perlu disadari baik oleh media maupun publik. 

Jadi setelah kampanye selesai bukan berarti agenda-agenda tersebut berhenti disuarakan. Sebaliknya media perlu mengawal dan terus menyuarakan agenda-agenda tersebut.

“Setelah capres/cawapres terpilih, kita harus menyadari sudah cukup ramai-ramainya, sudah cukup joget-jogetnya, seperti yang dilakukan oleh tim dan pendukung 02 dan 03. Begitu juga dengan tim dan pendukung 01, sudah cukup acara-acara K-pop-nya. Nah yang selanjutnya adalah kita harus menjaga agenda ini sampai ke depan,” kata Laban.

Baca Juga: Kampus Bergerak: Pak Jokowi, Situasi Kritis, Berhentilah Ikut Campur Pencalonan Gibran

Hal lain yang perlu dipahami menurut Laban adalah kita memerlukan pendekatan yang berbeda dan menyadari bahwa setiap platform punya pendekatannya sendiri. Untuk itu pilihannya adalah menciptakan engagement yang tinggi atau mendesakkan isu terus-menerus pada orang yang sama. Itulah yang disebut sebagai agenda keeping.

Sementara Wisnu berpandangan, situasi semacam ini sebenarnya menempatkan media massa untuk “berkompetisi” dengan media sosial dalam menyediakan informasi buat publik. Menurutnya, media massa harus lebih fokus pada isu-isu yang substansial dengan tidak terjebak pada soundbite yang dimunculkan politisi di media sosial.

Namun fokus pada isu-isu substansial juga harus tetap diikuti dengan masuk ke platform TikTok. Menurut Wisnu hal seperti ini bukan fenomena khusus Indonesia. Banyak media-media di luar negeri yang juga mulai punya akun TikTok sepanjang 2-3 tahun terakhir.

Dengan kata lain, TikTok adalah medan yang perlu dimasuki tetapi kerja-kerja fact checking untuk meng-cross check misinformasi atau hoax juga mesti dilakukan. Termasuk misinformasi yang berkaitan dengan isu HAM dan isu sejarah.

“Media jangan hanya mengamplifikasi gimik yang disampaikan oleh politisi atau pemerintah. Tetapi substansi utamanya atau fact-checking-nya juga mesti dilakukan,” tutur Wisnu. 

Misalnya program makan siang gratis yang digagas Prabowo-Gibran. Masih sedikit pemberitaan yang fokus pada makan gratis. Sebenarnya siapa yang jadi penerima manfaat dari program makan gratis? Apakah sasarannya untuk anak-anak sekolah atau untuk ibu-ibu hamil agar mencegah stunting? Pembahasan soal ini tidak muncul dalam kampanye sehingga orang hanya fokus pada makan gratis.

Menurut Wisnu dari ilustrasi tersebut, maka media arus utama bisa belajar untuk kemudian fokus pada isu-isu yang lebih substansi. Namun juga tetap mengupayakan untuk masuk ke medium-medium atau platform-platform yang populer yang digemari anak-anak muda seperti TikTok.

(Sumber Gambar: Instagram Prabowo)

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!