Keterwakilan Perempuan di Parlemen Diprediksi Naik, Tapi Masih Ada Belenggu Masalah Ini

Upaya meningkatkan partisipasi keterwakilan perempuan di politik perlu strategi komprehensif. Mulai dari aturan kebijakan yang berpihak pada perempuan sampai implementasi kebijakan partai politik yang adil gender.

Calon legislatif (caleg) perempuan yang melenggang ke parlemen diprediksikan bakalan meningkat di hasil pemilu 2024 ini. Hal itu diungkapkan pada kajian terbaru Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Dalam dokumen yang diterima Konde.co, Perludem memproyeksikan peningkatan angka keterwakilan perempuan menjadi 22,1%. Itu setara dengan 128 dari 580 kursi DPR. Angka ini lebih tinggi 1,6% dibandingkan pemilu 2019 dengan keterwakilan perempuan sebesar 20,5% yaitu 118 dari 575 kursi. 

Dengan begitu, jumlah keterwakilan perempuan di DPR pada pemilu 2024 ini tertinggi sepanjang pemilu Indonesia. 

“Ini sangat banyak faktornya. Di antaranya persaingan ketat antar Caleg di dapil dan terkadang pengawalan suara di TPS (Tempat Pemungutan Suara),” kata Direktur Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati dalam pernyataan resminya. 

(Sumber: Perludem)

Ninis, panggilan akrab Khoirunnisa itu menyebut, faktor ketangguhan para perempuan caleg juga diyakini menjadi sebab peningkatan persentase keterwakilan perempuan DPR. Sebab, hampir semua partai politik peserta Pemilu 2024 tidak menjamin pencalonan 30% keterwakilan perempuan di tiap daerah pemilihan. 

Baca Juga: Caleg Perempuan Minim di Pemilu 2024, Hanya 1 dari 18 Parpol Penuhi Kuota 30% 

Berkenaan itu, ketentuan pembulatan ke bawah persentase pencalonan perempuan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum 10/2023 berdampak pada tidak terpenuhinya jumlah minimal perempuan 30% di daerah pemilihan beralokasi kursi 4, 7, 8, dan 11. 

(Sumber: Perludem)

Pemilu 2024 pun merupakan pemilu serentak yang fokus perhatiannya kepada para lelaki calon dalam pemilu presiden, bukan pemilu legislatif.

“Andai saja KPU bisa memastikan minimal 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan di setiap dapil, angka keterwakilan perempuan terpilih di DPR bisa lebih meningkat lagi,” kata peneliti Perludem, Heroik Mutaqin Pratama.

Baca Juga: Mimbar Demokrasi Perempuan Desak Presiden Hentikan Penyalahgunaan Kekuasaan dalam Pemilu

Capaian 22,1% keterwakilan perempuan DPR itu berasal dari sejumlah daerah pemilihan dengan total 84 daerah pemilihan. Misal, ada 20 daerah pemilihan yang persentase keterpilihan perempuannya 30-50%. 

Lalu, ada lima daerah pemilihan yang persentase keterpilihan perempuannya di atas 50%. Bahkan satu daerah pemilihan Bengkulu, persentase keterpilihan perempuannya mencapai 100%. 

Tapi, masih ada 16 daerah pemilihan yang tidak punya perempuan caleg yang terpilih masuk DPR.

(Sumber: Perludem)

Secara umum, mayoritas caleg terpilih merupakan caleg nomor urut 1. Total, ada 64% caleg terpilih merupakan caleg bernomor urut 1.

Data yang Perludem olah tersebut berdasarkan formulir rekapitulasi perolehan suara Model D Hasil Prov-DPR Komisi Pemilihan Umum melalui website SIREKAP. Perludem pun melakukan pengecekan ulang sesuai dengan Keputusan KPU No. 360 tentang Penetapan Hasil Pemilu.

Baca Juga: Suami Istri Cerai Karena Beda Pandangan Politik, Sampai Penyerangan Seksual: Kekerasan Perempuan di Pemilu

Konversi suara ke kursi dilakukan dengan metode Sainte Lague. Perolehan suara partai, dibagi dengan angka-angka ganjil 1, 3, 5, 7, dan seterusnya. Lalu, penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak dengan melihat perolehan suara tiap calon anggota DPR.

(Sumber: Perludem)

Capaian 22,1% (128/580) keterwakilan perempuan DPR hasil Pemilu 2024, mungkin bisa berubah. Ini mengingat, masih ada tahapan Perselisihan Hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi. Putusan dari peradilan hasil pemilu ini bisa mengubah perolehan kursi partai atau keterpilihan caleg.

Sederet Persoalan Yang Membelenggu Caleg Perempuan 

Di tengah angin segar prediksi tren peningkatan caleg perempuan yang lolos parlemen pemilu 2024 ini, ada sejumlah persoalan yang masih membelenggu perempuan di politik. 

Konde.co pernah mewawancarai Dosen Politik UI, Hurriyah, soal persoalan perempuan yang terjun di dunia politik. Menurutnya, faktor yang selama ini jadi hambatan sangat struktural. Utamanya soal minimnya kebijakan responsif gender, karena parpol dan parlemen belum jadi institusi yang ramah bagi perempuan. 

Pertama, indikasi yang paling jelas, Parpol mematuhi kebijakan afirmasi keterwakilan minimal 30% itu hanya sebagai syarat administratif saja. Kesetaraan gender juga belum menjadi prinsip dan nilai-nilai demokrasi yang diinternalisasi oleh Parpol. 

Kedua, rekrutmen dan promosi perempuan yang dilakukan partai politik yang masih dipengaruhi faktor kekerabatan. “Jadi karena wajah politik masih maskulin, parpol juga gak punya komitmen serius mempromosikan gender equality, akhirnya begitu merekrut perempuan mereka asal comot atau yang mereka tempatkan adalah kerabat-kerabat mereka.” 

Baca Juga: Tak Cuma Perempuan, Laki-laki Juga di Pusaran Manuver Politik Keluarga

Ketiga, Parpol masih sering kali membenturkan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dengan framing negatif soal kualitasnya. Jadi, perempuan sering disepelekan. 

Keempat, perempuan yang bahkan sudah terpilih dan masuk ke parpol, mereka belum mendapatkan arena permainan yang setara di Parpol ataupun parlemen. 

Kelima, secara internal partai politik juga minim menerapkan kebijakan responsif gender. Di samping situasi yang serupa di DPR dan DPRD yang sampai sekarang bisa dikatakan belum sensitif menerapkan kebijakan-kebijakan yang berperspektif gender di dalam kebijakan publiknya. 

Contoh yang paling kelihatan menurutnya, kultur di dalam partai dan di dalam parlemen. Rapat-rapat, lobi-lobi, pertemuan-pertemuan sering sekali terjadi pada malam hari. Juga di lingkungan yang tidak ramah bagi perempuan. 

Mundurnya Caleg Perempuan Karena “Aturan Internal Partai”

Belakangan ini, muncul pula kasus mundurnya caleg perempuan yang lolos di parlemen. Disebutkan, hal ini disebabkan oleh kebijakan internal partai. Itu seperti yang terjadi pada caleg perempuan PDIP dan Nasdem. 

Caleg dari PDIP, Aristya Tiwi Pramudiyatna terancam gagal menjadi anggota DPRD Sukoharjo, Jawa Tengah. Dari Suara.com disebutkan, Ariestya tak akan dilantik PDIP dan digantikan Caleg lain yaitu Jaka Triyatno, yang punya suara lebih sedikit dari Aristya. 

Ketua Ranting PDIP Desa Karang Tengah, Weru, Didik Riyanto mengatakan tak dilantiknya Aristya karena adanya aturan internal Parpol. Pihaknya masih terus mengupayakan melalui jalur internal partai untuk mencari solusi terbaiknya. Seandainya keputusan dari PAC tidak ditanggapi maka seluruh pengurus ranting dari 13 desa di kecamatan Weru akan mundur secara massal.

“Katanya pemerataan, tapi kok dari awal tidak disebutkan (soal aturan itu). Dari awal dia dapat suara terbanyak,” kata Didik. 

Menanggapi polemik itu, Supervisor DPC PDIP Sukoharjo, Joko Sutopo, mengatakan, penentuan caleg terpilih menggunakan sistem penghitungan suara secara mandiri di internal partai, yang mengacu pada sistem komandan tempur (komandanTe).

Langkah ini, menurutnya, merupakan bagian strategi pemenangan elektoral dalam Pemilu 2024. Dalam hal ini PDIP memiliki aturan dan mekanisme di internal partai terkait penghitungan suara setiap caleg di masing-masing dapil pada pemilu 2024.

Baca Juga: Film ‘Dirty Vote’ Dirilis Jelang Pemilu, Di Tengah Demokrasi yang Lagi Roboh

Tak hanya caleg perempuan dari PDIP. Ada pula caleg perempuan dari Partai NasDem, Ratu Ngadu Bonu Wulla, mengundurkan diri dari pencalonannya. 

Ia mundur setelah memperoleh 76.331 suara di daerah pemilihan (dapil) Nusa Tenggara Timur II meliputi Kabupaten Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Kupang, Sabu Raijua, Rote Ndao, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Malaka, Belu, dan Kota Kupang.

Di dapil yang sama, Gubernur NTT, Viktor Laiskodat hanya mendapatkan 65.359 suara. Perolehan suaranya persis berada di bawah Ratu Wulla. Keduanya sama-sama berasal dari Partai NasDem. 

Adapun perolehan suara Partai NasDem yaitu 207.732. Jika dikonversi, partai tersebut hanya mendapatkan satu kursi di Nusa Tenggara Timur. Publik pun berspekulasi bahwa keputusan Ratu mundur justru memberikan jalan bagi Viktor untuk lolos ke parlemen.

Sebagai informasi, Ratu Wulla adalah caleg petahana Partai NasDem. Saat ini, ia masih menjadi anggota Komisi IX DPR RI sebagai mitra kerja pemerintah dalam bidang kesehatan dan ketenagakerjaan. Ia adalah istri dari mantan Bupati Sumba Barat Daya, Markus Dairo Talu. 

Dukungan penuh masyarakat Sumba kepada Ratu seolah tak terbalas. Sebagian menganggap Ratu dizalimi oleh partai. Sebagai ungkapan kekecewaan atas keputusan Ratu, masyarakat Sumba menggelar acara bertajuk “Malam 73.000 Lilin” di Alun-alun Tambolaka, Sumba Barat Daya pada Minggu (17/3/2024).

Konde.co sudah berupaya menghubungi Ratu Wulla, namun, tak ada respon hingga berita ini tayang. Dilansir Detik.com, Sekjen Partai Nasdem, Hermawi Taslim mengatakan, mundurnya Ratu Wulla berkaitan dengan adanya rencana pemberian “tugas khusus” kepada Ratu Wulla. Namun, dia tak membeberkan soal “tugas khusus” itu. 

“Jadi begini, setiap orang yang mengundurkan diri dari satu jabatan di NasDem. Tradisi NasDem, kemudian dapat tugas khusus,” ujar Hermawi. 

Baca Juga: Caleg Cantik dan Baliho “Mamah Semok” Menjual Sensualitas Perempuan? Ini Kampanye di Tengah Politik yang Sakit

Sementara itu, Eva Kusuma Sundari, Anggota Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Partai NasDem kepada Konde.co, mengungkap bahwa ada kepentingan strategis dibalik keputusan Ratu Wulla untuk mundur. 

“Menurut saya sama sekali tidak merugikan Bu Ratu, karena Bu Ratu diproyeksikan untuk menjadi calon Bupati di Pilkada (pemilihan kepala daerah) di September ini (2024),” ujar Eva pada Rabu (27/3/2024).

Kepentingan strategis ini bertujuan agar karier politik Ratu Wulla tidak berhenti hanya di kursi legislatif saja. Selain itu, Partai NasDem juga berusaha menjaga kepemimpinan perempuan.

Mundurnya Ratu Wulla otomatis memenangkan Viktor Bungtilu Laiskodat, Gubernur NTT yang menjabat sejak 2018-2023. Partai NasDem sengaja menempatkan Viktor di kursi legislatif agar istrinya, Julie Sutrisno Laiskodat bisa dipersiapkan menjadi Gubernur NTT.

“Jadi tidak dalam rangka merugikan Bu Ratu, tapi justru untuk menjalankan penugasan-penugasan strategis yang sudah disiapkan oleh NasDem,” tambahnya.

Eva kemudian menceritakan pengalamannya ketika mencalonkan diri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada Pemilu 2014. Saat itu, Eva mendapatkan posisi kelima dari perolehan suara di Kediri, Jawa Timur. 

Terdapat tiga kursi yang diberikan untuk PDIP di dapil tersebut. Pramono Anung yang menduduki kursi pertama harus mundur dari pencalonan. Oleh karena adanya pemenuhan kuota perempuan, caleg yang menduduki posisi keempat tidak bisa menggantikan Pramono. Akhirnya, Eva yang menggantikan posisi tersebut. Ia menyebutnya sebagai afirmasi yang diberikan partai kepada caleg perempuan. 

Baca Juga: Pemilu Untuk Rakyat, Bukan Hajat Para Elit: 5 Hal Penting Maklumat Politik KUPI

Eva harus menjalankan PAW (penggantian antar waktu) dengan melompati satu orang di atasnya yang mana adalah laki-laki. Saat itu, ada kebijakan untuk menambah representasi perempuan. Orang tersebut setuju untuk digantikan posisinya dan Eva pun membayar ganti rugi atas biaya kampanyenya.

“Setiap partai pada saat pencalegan sudah diminta untuk membuat surat pengunduran diri apabila ada hal-hal yang penting, strategis untuk dijalankan untuk kepentingan partai,” jelas Eva.

Alih-alih merugikan, keputusan yang diambil Ratu Wulla dan Eva Sundari justru akan menguntungkan. Selama dua periode terakhir, Partai NasDem telah menerapkan afirmasi pada caleg perempuan. Bahkan, sebanyak lima perempuan menduduki jabatan sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai NasDem.

“Kalau sikap pro terhadap kesetaraan gender itu tidak diutamakan, maka Bu Ratu tidak akan mendapatkan kesempatan untuk pencalonan beliau di Pilkada yang akan datang,” katanya. 

Polemik Sistem Proporsional Terbuka

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan menilai strategi politik yang berkaitan dengan penugasan caleg perempuan merupakan penyimpangan sistem proporsional terbuka. Dalam sistem proporsional ini–baik terbuka atau tertutup–peserta pemilu adalah partai politik.

Hal ini yang mendasari penghitungan jumlah kursi partai politik lebih dulu dibanding calegnya. Setelah itu, kursi tiap partai akan dialokasikan ke caleg tertentu yang memiliki jumlah suara tertinggi.

“Saat ada perempuan caleg yang suaranya paling banyak lalu mengundurkan diri, diisi sama lelaki caleg, itu adalah gambaran bahwa partai politik kita masih belum suportif terhadap perempuan politisi,” ujar Usep kepada Konde.co pada Rabu (20/3/2024).

Baca Juga: Gimana Nasib Perempuan di Pemilu 2024? Kita Hanya Lihat Barisan Bapak-bapak Politisi sampai Politik Dinasti

Dia mencontohkan, peran Viktor Laiskodat sebagai pimpinan Partai NasDem di NTT sekaligus mantan Gubernur NTT. Tentu saja Viktor lebih memiliki kuasa dibanding Ratu Wulla, meski suara masyarakat memilih Ratu kembali melenggang ke kursi parlemen.

“Sistem proporsional terbuka ini ada penyimpangan dan bias pemahaman bahwa bukan berarti saat pemilih bisa langsung memilih calegnya, bisa dipastikan suaranya langsung ke caleg suara terbanyak,” imbuhnya.

Perlu dicek kembali kronologi pengunduran diri caleg perempuan yang kemudian digantikan oleh caleg laki-laki. Bisa jadi apa yang dilakukan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum. 

Namun, tidak menutup kemungkinan partai politik memiliki kemandirian dan dinamikanya tersendiri. Ditambah caleg perempuan yang merasa tidak keberatan, tidak dipaksa, dan tidak dirugikan atas keputusannya mengundurkan diri dari pencalonan.

“Jadi memang ini adalah anomali atau sisi gelap dari sistem proporsional data terbuka,” kata Usep.

Sisi gelap yang dimaksud yaitu kontestasi yang individual dalam daftar caleg partai politik. Setiap caleg tidak hanya berkompetisi dengan caleg di luar partainya, tetapi juga di dalam partai. Tak heran jika yang bisa berkuasa adalah mereka yang dekat dengan elit partai politik.

Sistem Politik yang Berpihak pada Perempuan

Dalam UUD 1945 Pasal 28H Ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 43. Di sana tertulis bahwa setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam pemilu langsung. Artinya, perempuan juga berhak ikut berkontestasi dalam pemilu tanpa dipersulit dinamika partai politik dan kebijakan negara.

Awal kemunduran partisipasi perempuan dalam pemilu dimulai sejak diterbitkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023. Pembulatan angka 30 persen ke bawah justru membatasi hak politik perempuan. Cukup kontradiktif dengan UU Pemilu yang mendukung keterwakilan perempuan di legislatif.

Kebijakan afirmasi yang ada merupakan upaya menghambat diskriminasi terhadap perempuan dalam berpolitik. Kebijakan tersebut dimulai dengan meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women (CEDAW) dalam UU Nomor 7 Tahun 1984. 

Contoh kebijakan afirmasinya adalah 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen, lembaga legislatif, serta kepengurusan partai tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Kebijakan ini guna memastikan langkah perempuan maju ke ranah politik tidak lagi terhambat.

Baca Juga: Kiprah 3 Perempuan Berjuang di Pemilu dan Partai Politik

Setelah adanya kebijakan tersebut, angka keterwakilan perempuan dalam parlemen pun meningkat. Pada pemilu 2014, angka keterwakilan perempuan mencapai 17,7%. Kemudian tahun 2019 mencapai 20,9%. Tahun 2024 ini, Perludem memperkirakan adanya peningkatan mencapai 22,1%.

Eva menilai, sistem proporsional terbuka penuh dengan politik uang, polarisasi, dan tidak ramah pada inklusivitas. Tidak ada perempuan, difabel, dan orang miskin. Yang ada hanya kelompok elit yang tidak mewakili kelompok di masyarakat.

“Apa hikmah dari musyawarah yang anggotanya sejenis atau homogen? Yang ada hanya orang yang kaya saja. Jadi bukan wakil rakyat, itu wakil golongan,” ujar Eva.

Senada dengan Eva, Usep juga menyebut bahwa sistem proporsional terbuka sangat tidak ramah terhadap perempuan. Sebab, perempuan tidak hanya harus bersaing dengan caleg di luar partai, melainkan juga internal partai. Hal ini bertentangan dengan gerakan perempuan yang menjunjung tinggi solidaritas dan persaudaraan.

“Perempuan caleg itu diposisikan sebagai individu politik, bukan kelompok politik. Kecenderungannya nggak ada tiap-tiap perempuan caleg di internal partai saling bekerja sama, yang ada saling injak,” ujar Usep.

Pada akhirnya, perempuan yang bergabung dalam pusara politik masih harus menemui jalan terjal. Kesulitan tak hanya ditemui saat proses pencalonan, tetapi juga setelah terpilih. Tak hanya berlomba mendapatkan suara rakyat, tetapi juga bertarung dengan teman sejawat.

Nurul Nur Azizah dan Rustiningsih Dian Puspitasari

Tim Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!