Selamat Hari Film: Produksi Film Banyak, Namun Kenapa Film Anak Sangat Minim?

Banyak kritik menyebut bahwa film di bioskop dan program televisi jumlahnya minim, dan belum berpihak pada anak-anak.

Hari film nasional baru saja dirayakan tanggal 30 Maret kemarin. Meski Indonesia sudah memproduksi film sejak 1950, permasalahan produksi film masih terjadi. Salah satunya adalah minimnya jumlah film anak.

Sejak digalakkan kembali oleh munculnya Petualangan Sherina (2000), jumlah film anak produksi dalam negeri mengalami perkembangan, namun masih berkisar di angka satu hingga dua film per tahun.

Padahal, potensi target khalayaknya besar. Jumlah anak di Indonesia hampir sepertiga jumlah keseluruhan penduduk.

Selain itu, banyak kritik menyebut bahwa film di bioskop dan program televisi belum berpihak pada anak-anak. Buktinya, film bioskop yang masuk klasifikasi semua umur (SU)—artinya bisa ditonton anak-anak—lebih banyak berasal dari luar negeri (impor).

Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya keengganan para pembuat film (sineas) untuk memproduksi film anak. Sampai saat ini tidak banyak sineas muda yang melirik produksi film anak.

Riset kami menemukan bahwa solusi dari persoalan ini adalah kolaborasi, pendekatan baru dalam metode produksi film anak, serta keterlibatan orang tua dan masyarakat.

Sinergi dalam berkolaborasi

Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kolaborasi bisa melahirkan karya film yang benar-benar menjawab kebutuhan anak.

Sejak 2012, sebuah production house (PH) bernama Hompimpa dan lembaga pemerhati anak Sumbu Pakarti memproduksi media edukasi berupa film anak. Hingga 2022, enam film anak lahir berkat kolaborasi itu, yakni Boncengan (2012) Gazebo (2013), 2B (2014), Jenang Keju (2015), Ciplukan (2019), dan Praja Muda Kirana (2022).

Keenam film ini sudah diputar di berbagai lokasi di Indonesia dan mendapat sambutan positif dari penonton anak-anak. Selama menonton film, penonton anak-anak tampak menikmati, bahkan tak jarang meminta filmnya diputar lagi. Dibantu oleh guru atau pendamping anak, mereka juga merespons film melalui aktivitas seperti menggambar dan bercerita.

Menurut temuan riset kami, film-film anak ini bisa lahir karena adanya sinergi dari lembaga pemerhati anak dan PH yang membuat film yang berkolaborasi.

Sumbu Pakarti memiliki program ruang belajar dan gerakan literasi dengan puluhan sanggar anak di bawahnya, sementara Hompimpa memiliki jam terbang dan kapasitas membuat film yang dibutuhkan Sumbu Pakarti.

Metode produksi ramah anak

Sebagian sineas beranggapan bahwa memproduksi film anak itu sulit, terutama yang melibatkan anak-anak di dalam produksi filmnya. Berhadapan dengan anak-anak dalam sebuah produksi film memerlukan upaya khusus yang tidak mudah untuk dipelajari.

Riset kami menemukan metode produksi yang belum atau tidak banyak muncul di produksi-produksi film sebelumnya, terutama produksi film yang melibatkan anak-anak sebagai tokoh sentral, yaitu:

1. Berpusat ke anak dan lingkungan sekitarnya

Metode produksi di keenam film tersebut berupaya menempatkan anak-anak sebagai subjek utama. Caranya, para sineas, terutama sutradara, dengan sungguh-sungguh melatih anak-anak dampingan dari lembaga pemerhati anak yang belum pernah main film.

Ia meluangkan waktu hingga sepuluh kali untuk berlatih bersama anak-anak melalui teknik permainan yang cocok bagi mereka, meski harus bolak-balik sekitar dua jam perjalanan. Hal ini dilakukan karena anak-anak bukan pemain film profesional sekaligus agar mereka mengalami proses belajar sambil bermain. Proses yang khas ini tentu berbeda dengan produksi film anak dengan talent yang sudah terlatih atau terbiasa di depan kamera.

Metode yang lain adalah menggunakan rumah, sekolah, jalan, kebun, sungai, dan tanah lapang di sekitar lingkungan anak-anak sebagai tempat berlatih sekaligus lokasi syuting. Anak menjadi nyaman dan akrab dengan setting film. Jam latihan pun tidak menyita waktu istirahat—tidak pernah sampai malam.

Alhasil, anak-anak jadi lebih percaya diri dan menikmati syuting layaknya bermain bersama. Kru dewasa yang terlibat juga bersepakat untuk menciptakan suasana yang familier bagi anak-anak. Selain itu, para fasilitator dari lembaga pemerhati anak selalu mendampingi proses syuting supaya atmosfer “bermain” dapat terpelihara.

2. Melibatkan guru dan orang tua

Metode produksi ini juga melibatkan orang tua dari anak-anak yang ikut bermain film. Mereka menyediakan basecamp syuting, memasak untuk seluruh kru produksi hingga membantu mengondisikan jalan-jalan dan ruang publik lain supaya syuting dapat berjalan lancar.

Guru dan kepala sekolah tidak mau kalah. Sejak latihan pertama, sekolah menyediakan berbagai fasilitas, seperti ruang kelas untuk berlatih, minuman dan makanan saat latihan maupun syuting, maupun pengaturan waktu supaya anak-anak tetap bisa sekolah dan bermain film dengan nyaman. Tak hanya mendampingi, pihak sekolah juga mempelajari metode latihan sang sutradara untuk mengembangkan metode pembelajaran di kelas.

Begitu selesai, film diputar pertama kali di hadapan anak-anak yang bermain film, warga masyarakat sekitar lokasi syuting, dan pengelola sekolah. Anak-anak juga diajak untuk berinteraksi dengan penonton serta menjawab pertanyaan pada sesi tanya jawab ketika film tersebut diputar di tempat lain. Sehingga, proses produksi film menjadi milik bersama.

Metode produksi ini, yang kemudian menjadi “metode produksi ramah anak”, mewakili dua kepentingan besar: anak butuh ruang belajar dan bertumbuh yang sesuai, sedangkan pembuat film memerlukan gambar yang artistik serta menjual.

Alih-alih “memaksa” anak untuk terlibat dalam aktivitas orang dewasa dalam industri film dengan berbagai tuntutan, metode ini juga memenuhi kebutuhan anak untuk belajar, bermain, dan berkembang tanpa harus terlalu banyak ‘mengorbankan’ pencapaian film.

Potensi adopsi

Untuk mengisi kekurangan film anak di Indonesia, temuan riset kami ini bisa diadopsi oleh lembaga pendidikan. Salah satunya melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan penyelenggaraan Kabupaten/Kota Ramah Anak (KLA) oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Ini mengingat jumlah film anak tak kunjung mengalami kenaikan yang signifikan, bahkan setelah adanya kolaborasi-kolaborasi seperti ini.

Peran sekolah dalam memproduksi film anak akan membuka peluang pembelajaran secara lebih luas. Sebab, film dengan metode produksi ramah anak akan membantu program peningkatan literasi anak yang tidak terbatas pada kemampuan baca-tulis, tetapi juga literasi informasi.

Pemerintah kabupaten/kota sebagai pelaksana KLA juga dapat membuat program kolaborasi dengan masyarakat, pihak swasta (PH, sponsor, donatur), maupun perguruan tinggi (misalnya sekolah film). Dengan demikian, upaya menyediakan tontonan ramah anak sesuai dengan haknya menjadi hal yang disadari masyarakat dan diwujudkan sebagai tanggung jawab bersama.

Emmanuel Kurniawan, Peneliti Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP), Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) Universitas Sanata Dharma dan Lukas Deni Setiawan, Dosen, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Emmanuel Kurniawan dan Lukas Deni Setiawan

Peneliti Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP), Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) Universitas Sanata Dharma dan Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!