Wewengkon Adat Citorek merupakan salah satu dari sekian banyak komunitas adat yang berada di wilayah pegunungan Taman Nasional Salak Halimun. Komunitas ini adalah wadah kekayaan sejarah lokal di Kabupaten Lebak yang sampai saat ini masih menjaga dan melestarikan budaya serta tradisi leluhurnya yaitu Rengkong. Rengkong merupakan ungkapan syukur berbasis kearifan lokal untuk menjaga keharmonisan, saling tolong-menolong, kepekaan, serta kolektivitas masyarakat Citorek Tengah.
Rengkong diselenggarakan setiap satu tahun sekali pada musim panen. Sebelum festival dimulai, padi yang telah dipanen bersama dikeringkan dengan lantayan (digantung) selama dua minggu. Setelah itu, para tokoh kasepuhan memanjatkan doa-doa leluhur sebelum akhirnya padi dipocong (diikat) menjadi satu ikatan besar yang terdiri dari tiga ikatan kecil.
Padi-padi yang telah dipocong kemudian dibawa ke rumah adat Desa Citorek Tengah untuk disimpan ke dalam leuit (lumbung) adat dengan cara dipikul menggunakan bambu sembari digoyang-goyangkan agar menghasilkan suara yang dapat menentukan kualitas dari setiap padi yang dibawa. Semakin nyaring suara bambu, semakin tinggi kualitas padi yang dihasilkan.
Padi yang dipanen setiap tahunnya tidak bisa langsung dikonsumsi, melainkan harus melalui proses penyimpanan di leuit minimal selama satu tahun. Hal ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan pangan di Desa Citorek Tengah. Mayoritas warga di Desa Citorek Tengah berprofesi sebagai petani, baik sebagai pemilik sawah maupun sebagai penggarap.
Baca juga: Memanen Kolaborasi Budaya dengan Pelumbungan Inisiatif Kebudayaan
Sistem pertanian di desa ini diputuskan oleh kepala adat yang berpatokan pada ilmu astronomi, seperti penentuan waktu bercocok tanam dan panen berdasarkan tanda-tanda perbintangan. Aturan ini telah dilakukan sejak dahulu hingga sekarang, melibatkan setiap lapisan masyarakat dalam pelaksanaannya sebagai upaya melestarikan dan mewariskan tradisi adat.
Selain sebagai tradisi turun-temurun, budaya Rengkong juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan solidaritas sosial di masyarakat. Setiap tahapan Rengkong, mulai dari menganyam bambu hingga latihan musik dan tari melibatkan seluruh komunitas. Pun saat malam perayaan Rengkong dimulai, seluruh desa berkumpul. Mereka duduk berdampingan, menikmati hasil kerja keras mereka. Hal ini menunjukkan bahwa budaya Rengkong bukan hanya tentang mempertahankan tradisi, tetapi juga tentang menciptakan ruang di mana semua orang dapat berbagi kebahagiaan.
Pemaknaan Baru Kebudayaan Partisipatoris Lewat UU Pemajuan Kebudayaan
Disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menandai pemaknaan baru atas kebudayaan. Dari sebelumnya yang cenderung sentralistik dalam relasi atas ke bawah menjadi bawah ke atas. UU ini mengakui masyarakat sebagai pelaku utama dan pemilik kebudayaan, sementara pemerintah berperan sebagai fasilitator. Pendekatan yang baru ini bertujuan untuk memperkuat peran masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan kebudayaan lokal mereka.
UU Pemajuan Kebudayaan memberikan kerangka hukum atas upaya-upaya pelestarian budaya yang berakar dari komunitas. Melalui dukungan kebijakan ini, festival-festival budaya seperti Rengkong Wewengkon tidak hanya mendapatkan pengakuan dan dukungan, tetapi juga menjadi model bagi inisiatif serupa di seluruh Indonesia.
Dalam konteks ini, pemerintah sebagai fasilitator bertugas menyediakan wadah yang diperlukan oleh masyarakat adat untuk melaksanakan dan mengembangkan tradisi mereka, termasuk dukungan finansial, pelatihan, dan akses ke jaringan yang lebih luas. Dalam praktiknya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sejak 2022 terus mengupayakan dukungan finansial untuk seniman, pelaku budaya, komunitas, dan kegiatan budaya melalui Dana Indonesiana.
Penyelenggaraan Festival Budaya Citorek sejalan dengan konsep Perencanaan Budaya Partisipatoris, salah satu dari 10 Program Minimum Kebudayaan yang saat ini tengah diusung oleh pemerintah sebagai upaya untuk memastikan keberlanjutan upaya-upaya pemajuan kebudayaan. Program ini menekankan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan kegiatan kebudayaan. Dengan melibatkan masyarakat secara langsung, program ini bertujuan untuk menciptakan kebijakan budaya yang lebih responsif dan relevan dengan kebutuhan lokal.
Melalui Perencanaan Budaya Partisipatoris, festival seperti Rengkong Wewengkon menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengekspresikan identitas budaya mereka secara autentik. Program ini juga mendorong kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah dalam upaya pelestarian budaya, memastikan bahwa inisiatif budaya bersifat inklusif dan berkelanjutan.
Menjaga Inklusivitas dalam Tradisi
Pentingnya menjaga inklusivitas dalam pewarisan tradisi yang menjunjung keteraturan alam menjadi semakin relevan di era modern. Meskipun tradisi seperti Rengkong telah berperan dalam memperkuat solidaritas sosial, terdapat risiko terkikisnya nilai-nilai tersebut jika tidak diadaptasi dan dilindungi dengan baik.
Inklusivitas dalam konteks ini berarti memastikan bahwa semua lapisan masyarakat, termasuk perempuan, anak-anak, dan kelompok marjinal lainnya, memiliki akses dan partisipasi yang setara dalam pelaksanaan tradisi dan kebudayaan. Selain itu, penghayat kepercayaan dan kelompok adat minoritas harus diakui dan dilibatkan secara aktif untuk mencegah diskriminasi dan marginalisasi.
Baca juga: Membangun Ekosistem Kebudayaan Inklusif dan Berkelanjutan
UU Pemajuan Kebudayaan sebagai kebijakan baru yang mendobrak pemaknaan atas budaya perlu mendapatkan perhatian khusus agar program-program kebudayaan tidak hanya merayakan warisan budaya tetapi juga mendorong keberlanjutan dan inklusivitas. Hal ini mencakup penyediaan pendidikan budaya yang inklusif, mendukung hak-hak masyarakat adat, dan memfasilitasi dialog antarbudaya yang konstruktif.
Festival Rengkong Wewengkon Kasepuhan Citorek adalah contoh nyata bagaimana pelaksanaan festival budaya oleh masyarakat dapat menciptakan ekosistem kebudayaan yang organik dan inklusif. Dengan mengedepankan partisipasi aktif masyarakat dan didukung oleh kerangka kebijakan seperti UU Pemajuan Kebudayaan, festival ini akan memperkuat identitas budaya masyarakat adat dan mendorong keberlanjutan tradisi.
Pada akhirnya, menjaga inklusivitas dalam kebudayaan adat dan penghayat kepercayaan adalah langkah yang harus menjadi keniscayaan untuk memastikan bahwa warisan budaya ini tidak hanya dilestarikan tetapi juga berkembang dalam harmoni dengan nilai-nilai modern yang menghargai keberagaman dan kesetaraan.
Sumber foto: Indonesia Kaya
(Peliputan ini merupakan kerja sama Konde.co dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)