Kebudayaan Indonesia yang tak terhitung jumlahnya merupakan warisan berharga yang perlu dilestarikan dan dikembangkan secara berkelanjutan. Indonesia sejatinya telah mengatur landasan hukum yang berkaitan dengan pembangunan kebudayaan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Pasal 48 Ayat (1) UU tersebut menegaskan bahwa tanggung jawab pendanaan untuk pengembangan kebudayaan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kemudian, Pasal 49 Ayat (1) lebih lanjut menegaskan bahwa sebagai bagian dari upaya dalam memajukan kebudayaan, Pemerintah Pusat berkewajiban membentuk dana perwalian Kebudayaan.
Dasar hukum tersebut seyogianya menjadi landasan yang kuat bagi pemerintah untuk memberikan perhatian serius terhadap sektor kebudayaan. Sebagai upaya mewujudkan cita-cita menciptakan ekosistem kebudayaan yang inklusif, pemerintah telah meluncurkan Dana Indonesiana pada 2022.
Pada saat yang sama, dana abadi kebudayaan bukan hanya menjadi wujud dari komitmen pemajuan kebudayaan, tetapi juga sebagai instrumen untuk memastikan keberlanjutan dan inklusivitas kerja-kerja pengembangan kebudayaan Indonesia.
Memberi Angin Segar
Salah satu contoh dampak nyata dari Dana Indonesiana terhadap perkembangan ekosistem kebudayaan dapat dilihat dari dukungan yang diterima Komunitas Mahima dalam pelaksanaan Singaraja Literary Festival.
Setelah berhasil diselenggarakan secara mandiri di tahun pertama, festival ini menerima dukungan Dana Indonesiana pada tahun kedua. Hal tersebut memungkinkan program ini bertransformasi menjadi acara budaya tahunan yang berkelanjutan. Langkah ini sesuai dengan visi besar Mahima untuk menjadikan festival ini sebagai ensiklopedia pemikiran yang dapat diakses oleh generasi mendatang.
Singaraja Literary Festival, menurut Kadek Sonia Piscayanti, akademisi sekaligus pegiat sastra yang membangun Yayasan Mahima, tidak hanya merupakan perayaan seni dan literasi, tetapi juga sebuah wahana untuk membangun ekosistem budaya yang inklusif dan berkelanjutan.
Sonia menyoroti pentingnya dukungan yang konsisten dari pemerintah, salah satunya melalui dana abadi, dalam menjaga keberlangsungan agenda kebudayaan. Menurutnya, ekosistem kebudayaan akan terpelihara jika mendapat dukungan yang baik.
“Ekosistem itu terpelihara jika ada daya dukungnya. Salah satunya dalam konteksnya Dana Indonesiana ini mendukung pendanaan festival kami. Itu kan sudah berkontribusi terhadap keberlangsungan festival kami, setidaknya untuk tahun ini,” ujar Sonia.
Meskipun mengakui manfaat besar dari dukungan Dana Indonesiana, Sonia juga menyatakan pentingnya peninjauan yang cermat terhadap program-program yang dibiayai. Dia menegaskan bahwa perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap program-program yang telah dilaksanakan agar dapat memastikan penggunaan dana secara efisien dan efektif.
“Saya sangat berharap bahwa memang dukungan ini terus ada. Tetapi kan saya kembali lagi, harapan tidak boleh terlalu besar juga. Jadi mungkin harus betul-betul ditinjau mana program-program yang betul-betul dilakukan dengan baik, sehingga bisa didanai kembali, itu sih harapannya ke depan,” jelasnya.
Serupa dengan Sonia bersama Yayasan Mahima, Nanik Indarti, perempuan seniman bertubuh mini yang menggawangi Unique Project Theater sebagai salah satu penerima manfaat Dana Indonesiana pada tahun 2023, menyatakan bahwa secara keseluruhan ia mendapati Dana Indonesiana terbukti efektif dalam mendukung kolektif perempuan bertubuh mininya untuk bergerak dan berkarya.
Baca juga: Upaya Mahima Merajut Warisan dan Masa Depan Lewat Singaraja Literary Festival
Di samping mengakui manfaatnya, Nanik juga mengungkapkan beberapa catatan evaluasi terhadap program Dana Indonesiana. Ia menyoroti bahwa prosedur administratif yang rumit menjadi hambatan utama bagi dirinya dan kolektif Unique Theater Project yang dipimpinnya.
“Aku pikir sangat membantu, karena salah satu cara prosedural yang dilakukan pemerintah ini menurutku sangat efektif, meskipun secara administrasinya sangat ribet. Tetapi efektif, lah, untuk bisa membiayai, support semua kebutuhan,” kata Nanik.
Dukungan pendanaan di sektor kebudayaan telah menjadi sebuah kebutuhan yang sejak lama diharapkan oleh seniman dan pelaku budaya di Indonesia. Seniman seringkali menghadapi kesulitan dalam berkarya karena tidak mendapatkan sumber dana yang mendukung proses penciptaan ekspresi seni mereka atau pelaksanaan kegiatan seni budaya.
Hadirnya Dana Indonesiana menjadi harapan baru bagi keberlangsungan dan keberlanjutan upaya pemajuan kebudayaan. Hal tersebut tampak dari jumlah penerima manfaat Dana Indonesiana yang telah mencapai 594 penerima manfaat sejak pertama kali diluncurkan pada 2022. Selain itu, antusiasme para pelaku budaya di Indonesia untuk memanfaatkan peluang dukungan pendanaan juga tampak dari jumlah proposal yang diajukan, yakni mencapai lebih dari 3.000 proposal setiap tahunnya.
Dengan manfaat dan dampak yang telah dirasakan secara nyata, memastikan keberlangsungan Dana Indonesiana merupakan tanggung jawab yang perlu diupayakan bersama ke depannya. Cita-cita ekosistem kebudayaan yang inklusif dan berkelanjutan dapat terwujud dengan adanya program dukungan di sektor kebudayaan seperti Dana Indonesiana serta program-program lain seperti Perencanaan Budaya Partisipatoris, Reformasi Tata Kelola Budaya, Sistem Layanan Advokasi Masyarakat Adat dan Penghayat, Pelumbungan Inisiatif Budaya, Pemberdayaan Pengetahuan Lokal, Pengarusutamaan Budaya melalui Pendidikan, Peningkatan Kapasitas dan Tata Kelola, Penguatan Ekosistem Film, dan Intervensi Cagar Budaya Strategis, yang kesemuanya menjadi 10 Program Minimum Kebudayaan.
Tidak Ada Gading yang Tak Retak
Meski terbukti memberikan dukungan yang penting bagi berbagai inisiatif seni budaya, proses administratif yang kompleks masih menjadi tantangan utama bagi para penerima manfaat Dana Indonesia, sebagaimana yang dialami oleh Sonia dan Nanik. Menurut Sonia, beban administrasi yang terlalu besar memiliki dampak signifikan terhadap produksi penyelenggaraan kegiatan.
“Sebenarnya awalnya saya inginnya itu fleksibel. Pendanaan di swasta itu kan dia lebih kepada produk gitu, bukan kepada administrasi. Jadi produknya 95 persen, administrasi 5 persen. Kalau di pemerintahan kan produknya akhirnya ciut, karena administrasinya bisa 70 persen.”
“Kalau di pemerintahan beban kerjanya itu lebih ke administrasi sehingga secara kekaryaan jadi agak turun gitu. Meskipun kita sangat mengusahakan bahwa itu tidak menjadi halangan. Tetapi tetap ya kalau kita dikejar-kejar pajak. Jadi kurang afdol berkegiatan begitu, saya mungkin berharapnya lebih kepada penyederhanaan administrasi dan lebih kepada pertanggung jawabannya,” hemat Sonia.
Sedangkan dalam pengalaman Nanik bersama Unique Project Theater, kendala administrasi yang ia paling keluhkan ialah terkait dengan pemotongan dana untuk keperluan administratif, serta keterlambatan dalam pencairan dana.
“Kalau secara budget itu ada tanggung jawab soal pembayaran pajak, kemudian dari mereka (Kemendikbud) sudah dipotong, pokoknya banyak, lah, lima puluhan juta begitu. Jadi misalnya dapat 250 Juta, terimanya 200 juta, 200 juta itu pun nanti masih dipotong pajak-pajak itu sekitar 30an juta, jadi sudah berkurang banyak kayak begitu.”
“Surat kontrak sudah ditandatangani sejak Desember 2023. Semua syarat sudah terpenuhi dan tinggal menunggu proses pencairan dana. Namun yang terjadi proses itu lama sekali. Setelah tiga bulan, dana itu baru cair dan soal waktu pencairan dana ini benar-benar tidak sesuai dengan harapan. Jadi, mau enggak mau harus menalangi dana produksi, dana pelaksanaan acara,” jelas Nanik.
Baca juga: Seniman Perempuan Bertubuh Mini: Tidak Pernah Merasa Kecil Meski Kerap Dikecilkan
Selain itu, masih terdapat ruang untuk meningkatkan inklusivitas program Dana Indonesiana. Sebagaimana disuarakan oleh Nanik, sosialisasi program yang lebih memperhatikan kebutuhan dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas menjadi hal yang penting.
Juru bahasa isyarat dianggap perlu disediakan dalam setiap kegiatan sosialisasi. Dana Indonesiana dituntut harus mampu memberikan perhatian khusus kepada kelompok-kelompok yang rentan, seperti seniman disabilitas. Meskipun telah ada langkah-langkah progresif dalam amanat undang-undang, implementasinya masih perlu diperkuat agar seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok marjinal, dapat merasakan manfaatnya.
“Pemerintah belum bisa menyediakan akses untuk disabilitas. Bayangkan saja misalnya yang lolos itu ada disabilitas tuli, harusnya mereka juga menyediakan juru bahasa isyarat,” keluhnya.
Dalam upaya mewujudkan ekosistem kebudayaan yang inklusif dan berkelanjutan, sinergi antara pemerintah, lembaga budaya, dan masyarakat sangatlah penting. Hanya dengan kerjasama yang solid, keberlanjutan dan inklusivitas dalam pengembangan kebudayaan Indonesia dapat terwujud, memastikan bahwa setiap suara dan ekspresi seni memiliki tempatnya dalam panggung kebudayaan Indonesia yang luas dan beragam.
Penting untuk diperhatikan bahwa kesuksesan sebuah program atau kebijakan tidak hanya terletak pada pembentukan dasar hukum semata, tetapi juga pada implementasi yang efektif dan transparan. Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih aktif dalam memastikan penyaluran dukungan yang tepat guna dan mampu menjawab kebutuhan para seniman dan pelaku budaya. Hal tersebut menjadi kunci keberlanjutan Dana Indonesiana ke depannya sebagai salah satu wujud komitmen pemerintah dalam mengoptimalkan pemajuan kebudayaan Indonesia.
Sumber foto: Instagram @singarajaliteraryfestival.
(Peliputan ini merupakan kerja sama Konde.co dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)