Meskipun langkah menuju kesetaraan gender sudah meluas, banyak orang tetap terikat pada peran gender kuno dalam hubungan asmara antara laki-laki dan perempuan.
Ada tradisi-tradisi yang dianggap lumrah dalam hubungan percintaan heteroseksual, yang seakan telah menjadi kesepakatan masyarakat. Misalnya laki-laki yang harus lebih dulu mendekati perempuan untuk memulai interaksi, mengajak perempuan untuk berkencan, membayar makan saat kencan dan melamar. Ada pula tradisi bahwa perempuan menggunakan nama keluarga suaminya setelah menikah.
Bagi beberapa orang tradisi ini tampak seksis dan tidak sesuai dengan upaya penyetaraan gender. Namun ada pula yang justru menganggap tradisi ini adalah hal yang romantis. Ini mencerminkan masih adanya pembagian peran gender–laki-laki memimpin dan perempuan mengikuti.
Para feminis yang mengkritik dan berargumen bahwa praktik tradisi seperti ini justru memperkuat dominasi laki-laki atas perempuan dalam hubungan asmara.
Baca juga: Laki-laki Punya Peran Ciptakan Kesetaraan Gender, Mulai Darimana?
Kami mencari tahu mengapa perempuan, di era modern, masih mengikuti dan mempercayai tradisi ini. Kami melakukan survei terhadap 458 perempuan lajang di Australia tentang preferensi mereka terhadap tradisi pembagian peran gender tersebut. Kami juga mengeksplorasi berbagai sikap dan keinginan mereka lainnya.
Di satu sisi, studi kami ini meneliti apakah tradisi-tradisi tersebut hanyalah bentuk preferensi pribadi sebagian perempuan terhadap karakter pasangan dan suatu hubungan yang mereka inginkan. Di sisi lain, kami juga memasukkan kemungkinan bahwa penerimaan perempuan terhadap tradisi mungkin didasari oleh sikap seksis.
Apa yang Perempuan Inginkan dari Laki-Laki?
Salah satu kemungkinan alasan mengapa perempuan lebih menerima peran gender tersebut dalam hubungan asmara adalah karena mereka menganggap itu adalah tradisi, dan manusia umumnya mengikuti tradisi.
Padahal, sebenarnya banyak dari tradisi peran gender tersebut yang baru benar-benar berlaku pada abad ke-20.
Ada beberapa naskah yang dapat menjadi rujukan kita dalam hal interaksi asmara, yang akan membantu kita dalam menentukan arah di tengah ketidakpastian situasi. Ini dilakukan dengan mengesampingkan pertanyaan tentang siapa yang harus melakukan apa.
Kemungkinan lain adalah bahwa tradisi ini merefleksikan kecenderungan laki-laki untuk menjadi pasangan yang berkomitmen dan peduli. Ini juga dapat menjadi sinyal bahwa ia memiliki sumber daya yang tersedia untuk diinvestasikan dalam sebuah hubungan (dan keluarga).
Penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan seperti itu merupakan hal yang membuat perempuan tertarik pada pasangannya.
Perempuan Suka Laki-Laki yang ‘Baik’
Kami menimbang apakah dukungan perempuan terhadap tradisi peran gender ini dilatarbelakangi oleh preferensi pribadi mereka akan seorang pasangan dan suatu hubungan.
Secara khusus, kami memprediksi bahwa tradisi pembagian peran gender seperti ini lebih besar kemungkinannya terjadi pada perempuan yang memiliki keinginan kuat untuk menemukan pasangan yang berkomitmen dan peduli.
Kami menemukan bahwa keinginan perempuan untuk mendapatkan pasangan yang perhatian memang berkaitan dengan kecenderungan yang lebih besar terhadap praktik tradisi ini. Perempuan yang memilih hubungan jangka panjang yang berkomitmen dan tidak menyukai hubungan seksual kasual jangka pendek juga memiliki preferensi yang lebih kuat untuk menerima tradisi tersebut.
Kami juga menyelidiki ketertarikan perempuan pada laki-laki yang dominan. Mengingat tradisi ini menempatkan laki-laki untuk menjadi pemimpin dan memainkan peran yang lebih aktif dalam hubungan asmara. Seperti yang sudah kami kira, ketertarikan perempuan pada karakteristik dominan pasangannya–seperti tegas dan kuat–juga berkorelasi dengan preferensi yang lebih besar untuk tradisi ini.
Lalu Apakah Tradisi Peran Gender itu Seksis?
Penelitian terdahulu menemukan bahwa sikap seksis dan identitas feminis juga memengaruhi preferensi perempuan terhadap kebiasaan ini.
Kami menemukan bahwa perempuan yang lebih menerima tradisi ini cenderung tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang feminis. Mereka juga lebih cenderung benevolent sexism atau seksisme kebajikan.
Ini adalah bentuk seksisme yang biasanya terlihat positif. Mengidealkan dan melindungi kepentingan perempuan, tetapi juga memandang perempuan kurang kompeten dan membutuhkan laki-laki sebagai pelindung dan penyedia kebutuhan perempuan.
Kami bahkan menemukan bahwa mereka lebih tinggi dalam hal hostile sexism. Artinya seksisme tradisional yang secara terbuka memusuhi sekelompok orang berdasarkan jenis kelamin atau gender. Ini bisa termasuk tindakan ofensif, lelucon seksis, dan pelecehan.
Yang penting, kami menganalisis semua variabel ini bersamaan untuk menemukan penyebab terkuat mengapa perempuan mau menerima tradisi peran gender dalam percintaan ini.
Penelitian terdahulu menemukan bahwa sikap seksis dan identitas feminis juga memengaruhi preferensi perempuan terhadap kebiasaan ini.
Baca juga: Dear Komika, Stop Humor Seksis! Itu Pelecehan dan Gak Ada Lucunya
Kami menemukan bahwa perempuan yang lebih menerima tradisi ini cenderung tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang feminis. Mereka juga lebih cenderung benevolent sexism atau seksisme kebajikan.
Ini adalah bentuk seksisme yang biasanya terlihat positif. Mengidealkan dan melindungi kepentingan perempuan, tetapi juga memandang perempuan kurang kompeten dan membutuhkan laki-laki sebagai pelindung dan penyedia kebutuhan perempuan.
Kami bahkan menemukan bahwa mereka lebih tinggi dalam hal hostile sexism. Ini merupakan bentuk seksisme tradisional yang secara terbuka memusuhi sekelompok orang berdasarkan jenis kelamin atau gender. Ini bisa termasuk tindakan ofensif, lelucon seksis, dan pelecehan.
Yang penting, kami menganalisis semua variabel ini bersamaan untuk menemukan penyebab terkuat mengapa perempuan mau menerima tradisi peran gender dalam percintaan ini.
Apakah Hubungan Asmara Tidak Sesuai dengan Kesetaraan Gender?
Hubungan asmara tradisional–yang memiliki tradisi pemisahan peran gender–mungkin terlihat lebih tulus dan menyenangkan. Namun, beberapa orang menganggapnya bermasalah jika hal tersebut memperkuat ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam suatu hubungan.
Bentuk seksisme sehari-hari dan benevolent sexism pun berbahaya bagi kesejahteraan dan kesuksesan perempuan. Ketika masyarakat bergerak menuju kesetaraan gender yang lebih luas, kita akan semakin sadar akan betapa kaku dan terbatasnya peran gender dalam konteks hubungan pribadi.
Beberapa orang mungkin khawatir bahwa peningkatan kesetaraan gender akan menghancurkan hubungan asmara. Namun, hubungan di antara mereka yang memiliki jenis kelamin dan seksualitas yang beragam seharusnya dapat meyakinkan kita bahwa percintaan tidak membutuhkan naskah universal dan rujukan tradisional apapun.
Mungkin pemahaman yang lebih kritis terhadap diri kita sendiri dapat membantu kita melepaskan keterikatan kita untuk mengikuti formula sederhana yang ditetapkan oleh orang lain.
Merangkul perbedaan individu atas tradisi yang tidak fleksibel tersebut juga dapat memberikan kita kebebasan untuk mengeksplorasi cara alternatif. Kita mungkin akan mulai melihat hubungan asmara yang lebih egaliter, atau bahkan yang dipimpin oleh perempuan.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.