Selama beberapa dekade, perempuan telah berada di garis depan dalam perjuangan untuk meningkatkan kesadaran tentang gender equity di berbagai aspek. Termasuk dalam hal isu lingkungan.
Sebagai upaya kolektif, perempuan mengajak semua orang untuk memiliki komitmen dalam menjaga kelestarian lingkungan. Pasalnya, merawat planet ini adalah kewajiban setiap individu. Sayangnya, cita-cita bersama ini justru memperlihatkan kenyataan lain: kesenjangan gender masih ada dalam pendekatan terhadap kehidupan yang sadar lingkungan.
Perempuan masih dibebani tanggung jawab untuk mengatasi tantangan ekologi secara tidak proporsional. Sebuah fenomena yang disebut sebagai eco gender gap menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki tingkat komitmen yang berbeda terhadap pengelolaan lingkungan. Laki-laki menunjukkan antusiasme yang lebih rendah terhadap praktik-praktik berkelanjutan. Sementara perempuan lebih cenderung melakukan tindakan yang sadar lingkungan.
Eco gender gap ini menggarisbawahi perlunya pendekatan yang lebih inklusif dan sadar gender terhadap aktivisme lingkungan. Memastikan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama diberikan kesempatan untuk berkontribusi pada planet yang lebih sehat.
Eco Gender Gap antara Laki-Laki dan Perempuan
Eco gender gap (kesenjangan gender ramah lingkungan) adalah kesenjangan pilihan etis antara laki-laki dan perempuan dalam keterlibatan untuk berperilaku ramah lingkungan dan peduli terhadap alam.
Istilah ini mengacu pada penelitian Badan Intelijen Pasar terkemuka di dunia, Mintel, di tahun 2018. Penelitian tersebut bertujuan memperlihatkan tingkat komitmen ramah lingkungan laki-laki yang lebih rendah dibanding perempuan. Menurut hasil penelitian Mintel, 71% perempuan berusaha untuk hidup lebih etis dibandingkan dengan 59% laki-laki. Selain itu, 65% perempuan mendorong teman dan keluarga mereka untuk menjalani gaya hidup lebih ramah lingkungan. Sementara hanya 59% laki-laki yang melakukan hal serupa.
Penelitian Mintel juga menunjukkan bahwa dalam hal menjaga kebiasaan ramah lingkungan, laki-laki sebenarnya kurang teliti dibanding perempuan. Di Inggris misalnya, jumlah laki-laki yang berkomitmen untuk mendaur ulang secara teratur lebih rendah daripada jumlah perempuan. Mintel mengungkapkan bahwa perempuan (64%) lebih cenderung secara teratur menurunkan atau mematikan pemanas ketika mereka tidak berada di rumah dibandingkan dengan dan laki-laki (58%). Bagian lain yang menunjukkan perbedaan etika antara laki-laki dan perempuan yang signifikan adalah konservasi air. Ada 30% laki-laki yang berusaha untuk menggunakan lebih sedikit air, sedangkan perempuan 38%. Kemudian, dalam hal sampah makanan, 27% laki-laki membuat kompos dari sampah makanan sedangkan 33% perempuan melakukan hal serupa.
Baca Juga: ‘Ecohorror’, Melihat Kualitas Film Horor yang Eksplorasi Masalah Lingkungan
Menurut Jack Duckett, Senior Consumer Lifestyles Analyst di Mintel, perempuan masih menghabiskan lebih banyak waktu untuk menyelesaikan tugas rumah tangga daripada laki-laki. Akibatnya, perempuan harus belajar tentang cara hidup berkelanjutan dan memilih barang rumah tangga yang akan digunakan.
Berdasarkan General Social Survey tahun 2015, perempuan berusia 25 hingga 54 tahun menghabiskan 3,9 jam per hari untuk pekerjaan tidak berbayar. Ini 1,5 jam lebih banyak daripada waktu yang dihabiskan oleh laki-laki, yakni 2,4 jam. Secara tidak langsung, perempuan merasa bertanggung jawab untuk membuat pilihan sadar akan ramah lingkungan.
Mengapa Perempuan Lebih Ramah Lingkungan daripada Laki-Laki?
Gotelind Alber, pakar kebijakan iklim yang berspesialisasi dalam isu-isu terkait gender, dalam wawancaranya menyatakan sebenarnya perempuan cenderung lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan daripada laki-laki. Misalnya dalam hal berbelanja, perempuan lebih cenderung memilih produk dengan lebih hati-hati dan ramah lingkungan.
Dalam hal mobilitas pun, perempuan juga seringkali membuat pilihan yang lebih berkelanjutan. Misalnya, perihal ekonomi keluarga yang dapat mempengaruhi perempuan dalam mengambil keputusan. Contohnya dengan hanya memiliki satu mobil untuk digunakan suaminya pergi ke tempat kerja, atau memilih transportasi alternatif seperti naik angkutan umum.
Perempuan yang bekerja di bidang perawatan dan mengurus rumah tangga kerap memiliki waktu yang lebih mendesak ketimbang laki-laki. Sebab, hari kerja perempuan sebenarnya tidak ada habisnya. Namun, untuk mencapai pilihan yang berkelanjutan, seringkali diperlukan usaha tambahan dan masalah tambahan pula. Ini seperti mengurangi jejak karbon keluarga melalui penerapan pilihan konsumsi dan mobilitas yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Intinya adalah bahwa mereka yang biasanya bertanggung jawab atas perawatan, yakni perempuan, diberi lebih banyak tanggung jawab.
Meskipun perempuan telah memiliki jejak karbon yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, mereka tetap diharapkan dapat mengurangi lebih banyak lagi.
Baca Juga: Terganggu Dengan Baliho Pemilu Karena Rusak Lingkungan? Banyak Pohon Dipaku Dan Bikin Sampah
Di samping itu, perempuan lebih mengalami eco-anxiety lebih tinggi daripada laki-laki. Ini karena perempuan lebih rentan mengalami dampak perubahan iklim. Cuaca ekstrem seperti kekeringan dan banjir, misalnya, memberikan dampak langsung terhadap individu yang hidup dalam kemiskinan; 70% di antaranya adalah perempuan. Alhasil, perempuan lebih meyakini bahwa perubahan iklim adalah fakta yang tidak dapat disangkal.
Sebuah survei yang dilakukan terhadap hampir 10.000 orang di negara-negara G20 menemukan bahwa perempuan lebih khawatir bahwa perubahan iklim dan kerusakan lingkungan akan mempengaruhi generasi mendatang. Ini secara tidak langsung memaksa perempuan untuk mengurangi penggunaan air, mengurangi konsumsi daging, dan melakukan daur ulang. Bahkan perubahan iklim juga membuat perempuan mempertimbangkan keputusan mereka untuk akan memiliki anak atau tidak. Namun, laki-laki cenderung tidak memperhitungkan ketakutan mereka akan perubahan iklim dalam membuat keputusan untuk memiliki anak.
Di sisi lain, terdapat perbedaan yang lebih besar antara laki-laki dan perempuan dalam menyikapi isu ramah lingkungan. Yakni tentang laki-laki yang merasa bahwa kepedulian terhadap lingkungan akan melukai maskulinitas mereka. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2016 dengan judul Is Eco-Friendly Unmanly? The Green-Feminine Stereotype and its Effect on Consumption, Aaron Brough dan rekannya menunjukkan permasalahan maskulinitas ini.
Brough mengungkapkan bahwa laki-laki lebih kecil kemungkinannya untuk menggunakan produk dan perilaku ramah lingkungan dibandingkan perempuan disebabkan oleh hubungan yang umum antara femininitas dan perilaku ramah lingkungan.
Stereotipe yang diyakini hingga saat ini, bahwa konsumen ramah lingkungan adalah mereka yang memiliki sikap feminin. Stereotipe green-feminine ini mendorong laki-laki untuk menghindari perilaku ramah lingkungan sebagai cara dalam mempertahankan citra maskulinitasnya.
Baca Juga: Voice of Baceprot Kampanye Stop Panas Jakarta dan Sayangi Bumi
Terdapat hubungan antara konsep hijau dan femininitas secara kognitif. Misalnya, membawa tas yang dapat digunakan kembali saat berbelanja merupakan pilihan ramah lingkungan dan membuat penggunanya terlihat lebih feminin. Oleh karena itu, konsumen yang mengambil tindakan hijau lekat dengan stereotipe lebih feminin, bahkan menganggap diri mereka lebih feminin.
Sentimen ini diperkuat oleh pengiklan karena produk dan kampanye ramah lingkungan sebagian besar ditujukan untuk perempuan (Parañal, 2023). Akibatnya, perempuan menjadi target dari upaya pemasaran berkelanjutan, mengingat bahwa diskusi ramah lingkungan sendiri dipimpin oleh perempuan. Sebagian besar merek cenderung menggunakan desain dan produk yang lebih menarik bagi perempuan, sehingga kurang memikat konsumen laki-laki.
Dalam penelitian yang sama, Brough dan rekan-rekannya menawarkan solusi untuk memasukkan maskulinitas dalam kampanye ramah lingkungan. Alhasil, tidak hanya perempuan saja yang memiliki kebiasaan perawatan kulit, yoga, dan botol air yang dapat digunakan kembali, karena laki-laki juga dapat melakukan hal yang sama.
Maka dari itu, salah satu cara untuk mempengaruhi laki-laki agar berpartisipasi adalah dengan melalui branding dan positioning yang tepat. Selain itu, perlu juga membangun kesadaran bahwa tanggung jawab atas lingkungan mestinya jangan hanya dibebankan kepada perempuan. Masalah lingkungan adalah masalah bersama.