Ritual Rujak Pare Sambal Kecombrang yang dilakukan Perkumpulan Boen Hian Tong Semarang. (sumber foto: Instagram @rasadharmasemarang)

Rujak Pare Sambal Kecombrang, Upaya Melawan Lupa Tragedi Kekerasan Seksual Mei 1998

Setiap Mei, Perkumpulan Boen Hian Tong mengadakan acara tahunan Rujak Pare Sambal Kecombrang. Ritual tersebut adalah simbol perlawanan terhadap lupa akan Tragedi Mei 1998 yang begitu pahit bagi komunitas Tionghoa, khususnya perempuan Tionghoa yang mengalami kekerasan seksual.

Peringatan Pemicu: Artikel ini mengandung penyebutan jenis kekerasan seksual dan penganiayaan yang terjadi pada perempuan Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998. Jika kamu merasa punya potensi untuk terpicu, pertimbangkan untuk berhenti. Kamu bisa kembali membaca jika sudah merasa siap.

**

Saya dan seorang kawan pergi ke sebuah acara yang diadakan oleh Perkumpulan Boen Hian Tong atau Rasa Dharma di Semarang, Jawa Tengah pada Sabtu (18/5/2024) silam. Boen Hian Tong adalah perkumpulan sosial dan kebudayaan Tionghoa—salah satu yang tertua di Indonesia. Hadir sejak 1876, mereka masih aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan hingga saat ini. Termasuk acara doa dan ritual rujak pare bunga kecombrang yang kami ikuti saat itu.

Sesuai namanya, dalam acara tradisi itu, kami dan para peserta lainnya diajak makan rujak pare bunga kecombrang bersama-sama. Pahit? Tentu, dan bukan tanpa alasan Boen Hian Tong menggelar tradisi tahunan tersebut. 

Rujak pare bunga kecombrang adalah simbol perlawanan terhadap lupa akan kekerasan terhadap masyarakat Tionghoa. Khususnya kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998.

Rujak Pare Bunga Kecombrang, Upaya Melawan Lupa dan Luka

Peristiwa Mei 1998 melandasi Perkumpulan Boen Hian Tong untuk mengadakan Ritual Rujak Pare Bunga Kecombrang. Kegiatan ini dilaksanakan rutin setiap tahun di bulan Mei, sebagai upaya untuk menolak lupa atas tragedi dan kekerasan seksual yang menimbulkan banyak korban dari komunitas Tionghoa. Tahun 2024, acara berlangsung pada tanggal 18 Mei di Gedung Perkumpulan Boen Hian Tong / Rasa Dharma, Semarang, Jawa Tengah.

Gedung Rasa Dharma menjadi tempat untuk berdialog lintas iman. Ia mempertemukan orang dari beragam komunitas melalui kegiatan Rujak Pare Sambal Kecombrang, acara latihan musik Lam Koan, dan sebagainya. Adanya pertemuan dengan orang-orang yang berbeda membuat masyarakat lebih akrab, jauh dari prasangka, dan bisa melakukan kolaborasi-kolaborasi untuk kemanusiaan.

Saat memasuki gedung perkumpulan, pita hitam—tanda mengenang dan berkabung—dibagikan agar orang-orang melingkarkannya di pergelangan tangan. Saya dan kawan saya saling membantu untuk mengikatkan pita hitam tersebut.

Baca Juga: Di ‘Napak Reformasi’, Ada Murni dan Ruminah, Korban Mei 98 yang Masih Menunggu Anaknya Kembali

Kami mengawali kegiatan dengan memanjatkan doa lintas agama. Selanjutnya, kami memasuki ruangan Rasa Dharma menuju lokasi sinci-sinci (papan leluhur). Ada sinci Ita Martadinata di sana. Ita Martadinata adalah perempuan muda Tionghoa korban Tragedi Mei 1998 yang juga aktif mengadvokasi kasus kejahatan HAM tersebut. Ia diperkosa dan dibunuh saat hendak menyuarakan keadilan bagi para perempuan korban di forum internasional. Sinci Ita terletak di altar khusus leluhur yang dihormati, sebagai wujud penghormatan terhadap perempuan pembela HAM. 

Selain itu, ada sinci Gus Dur yang merupakan penghormatan masyarakat kepadanya, yang sudah berjasa memperjuangkan keberagaman. Sinci Gus Dur cukup spesial karena sajian di altarnya diganti, sebab Gus Dur merupakan seorang Muslim. Biasanya, sajian altar Tionghoa terdiri dari ikan, ayam, dan babi. Untuk altar ini, daging babi diganti dengan kambing sebagai wujud toleransi kepada umat Muslim.

Tentu tak terlewatkan, aktivitas utama dalam acara ini yaitu sesi menyantap rujak pare sambal kecombrang. Pahit, segar, pedas, manis, dan asam menyapa lidah. 

Kepahitan pare melambangkan penderitaan yang dirasakan komunitas Tionghoa, terutama perempuan, pada masa itu hingga hari ini. Bunga kecombrang jadi simbol kekerasan seksual yang menimpa perempuan. Para jurnalis, aktivis, masyarakat umum, kelompok agama, perwakilan pemerintah, dan kelompok turut hadir menolak lupa dalam kegiatan tersebut.

Cerita Penyintas: “Sampai Sekarang Takut di Tempat Gelap”

Saya beruntung bisa mendengarkan cerita korban dan penyintas secara langsung yang menggema di Gedung Rasa Dharma saat Ritual Rujak Pare Bunga Kecombrang. Kisah ini tak pernah masuk dalam buku sejarah anak sekolah di Indonesia. Boen Hian Tong telah memberikan kesempatan bagi korban untuk berbicara.

Salah satu yang bercerita kilas balik adalah Anastasia. Ia bekerja di Jakarta pada saat Peristiwa 1998 terjadi.

“Saya waktu itu kerja di Jakarta. Saya (kalau) dengerin musik, keras. Musik itu hiburan saya kalau pekerjaan sudah selesai,” tutur Anastasia di Gedung Rasa Dharma, Sabtu (18/5/2024). 

Saat itu, Anastasia tidak tahu kalau terjadi kerusuhan di sekitarnya. Sampai satpam kosnya naik ke lokasi kamarnya di lantai 4 karena suaranya tidak terdengar dari lantai bawah. 

“Cik, Cik, ini nanti dibakar. Ini ada kerusuhan. Cik, cepat keluar!” Anastasia mereka ulang perkataan sang satpam dari luar kamarnya. Anastasia sendiri sebenarnya tidak terlalu mengenal satpam tersebut; ia hanya pernah sering memberi jajanan kepadanya.

Baca Juga: Tak Mudah Hidup Menjadi Perempuan Tionghoa

Lanjut Anastasia, “Saya melayang di atas genteng (cari jalan keluar). Diboncengin motor satpam, dibawa ke rumahnya selama 4 hari.” Satpam itu menyuruh Anastasia tenang dan memakai selendang agar tidak terlihat sebagai etnis Tionghoa. Pasalnya, situasi saat itu sangat berbahaya.

“Itu Cina, ya?” tanya petugas di jalan. “Ini istri saya,” ucap satpam untuk melindungi Anastasia. Ketika itu, perempuan tersebut juga ditanyai nama orang yang memboncengkannya. “Martono!” jawabnya dengan mantap. Tak ia sangka sebelumnya, ternyata satpam yang belum ia kenal itu benar bernama Martono! 

“Ini merupakan sebuah mukjizat,” ia menceritakan kepada kami dengan mata yang berkaca-kaca sebab masih tidak menyangka.

Berkat kebaikan satpam kos tersebut, Anastasia masih yakin dan bersyukur bahwa ada orang yang benar-benar ingin menolong dengan tulus tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama, dan sebagainya. Satpam itu menyelamatkan Anastasia tanpa mempedulikan latar belakang seseorang. Itulah ajaran kemanusiaan yang sesungguhnya patut dipraktikkan oleh lebih banyak orang.

Di sisi lain, memori kelam dari peristiwa Mei 1998 masih menghantuinya hingga hari ini. “Jantung saya agak sakit dengar suara keras, sampai sekarang kaget-kaget. Sampai sekarang takut di tempat gelap. Saya nggak berani gelap,” ucap Anastasia. Tatapannya barangkali menyelam kembali ke peristiwa Mei 1998. Kejadian tersebut menyisakan trauma mendalam baginya.

Saya dan seisi ruangan merinding mendengarkan cerita korban yang saat itu mengalami langsung. Ingatan buruk itu terus mengendap; lalu perlahan diterima dan sembuh. 

Tragedi Mei 1998: Teror Lewat Tubuh Perempuan

Pada masa Orde Baru, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa sangat terasa dan abadi melekat dalam ingatan mereka. Terutama saat Tragedi Mei 1998 terjadi di pengujung masa kekuasaan Soeharto. Kerusuhan dan kekerasan menyasar masyarakat Tionghoa. Yang mengerikan, perempuan Tionghoa menjadi sasaran utama kekerasan seksual pada saat itu. Tidak ada yang benar-benar aman; setiap hari mereka dihantui rasa takut, kekacauan, dan penuh kekhawatiran.

Gejolak perubahan politik di akhir Orde Baru berlangsung dengan politik identitas yang keji. Kekerasan seksual menjadi modus untuk meneror masyarakat lewat tubuh perempuan. Pemerkosaan terjadi secara massif dan terstruktur terhadap ratusan perempuan Tionghoa. Vagina dan payudara mereka pun dirusak sehingga mengalami pendarahan hebat dan menimbulkan korban jiwa. Kasus pemerkosaan berbasis etnis pada Mei 1998 terjadi di Jakarta dan sekitarnya, juga di kota-kota lain seperti Medan, Surabaya, Solo, dan sebagainya.

Sudah jatuh, tertimpa jagat raya; seakan tak cukup penderitaan mereka, korban malah dianggap aib oleh keluarga dan komunitas. Kekerasan seksual yang massif dan terstruktur pada masa itu bukan ‘sekadar’ dilakukan untuk melemahkan perempuan. Ia menyebar menjadi ketakutan dan pembungkaman.

Baca Juga: Mei 1998, Sejarah Hitam Perempuan Dalam Tragedi Perkosaan

Lebih menyedihkan lagi ketika, bertahun-tahun setelah Tragedi Mei 1998 terjadi, seakan ada upaya untuk menghapuskan trauma itu dari ingatan. Meski jelas-jelas memakan korban, distorsi sejarah membuat banyak orang meragukan realitas peristiwa itu. 

Pemerkosaan dan kekerasan pada saat itu pun menjadi ‘pesan’ bagi komunitas masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki, bahwa mereka tidak punya kekuatan untuk melawan. Lewat penguasaan dan kontrol atas tubuh perempuan, teror tersebut menghantui komunitas masyarakat Tionghoa. Luka dan trauma terwariskan antargenerasi.

Praktik Baik Boen Hian Tong dan Upaya Cegah Kekerasan Seksual di Masa Kini

Saya salut dengan perkumpulan Boen Hian Tong yang peduli terhadap pencegahan kekerasan dengan memberikan kesempatan korban bercerita mengenai pengalamannya.

Boen Hian Tong juga penuh perhatian dengan generasi penerusnya. Tidak hanya bicara tentang kekerasan seksual di masa lalu. Dalam acara yang digelar, mereka pun mengajak semua orang untuk terus update dan belajar mengenai kekerasan seksual di zaman sekarang. Salah satunya adalah tentang Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) kepada anak. Orang dewasa perlu membuka mata, tidak menutup hati, serta melebarkan telinga.

Pada acara Rujak Pare Sambal Kecombrang, Harjanto Halim selaku tokoh masyarakat dan pengurus Boen Hian Tong memberikan pengarahan kepada orang tua agar selalu mengedukasi diri. Serta tidak menyalahkan anak apabila kekerasan seksual terjadi kepada mereka, karena anak adalah korban.

“Kalau di-DM (direct message) orang nggak dikenal, jangan dijawab. Kalau kadung kirim gambar, jangan sampai kirim duit. Gunakan kata ‘itu photoshop’”, kata Harjanto Halim. Ini agar orang dewasa peduli dan tahu tentang KBGO.

Ritual Rujak Pare Sambal Kecombrang diadakan agar kekerasan seksual dan Tragedi Mei 1998 tidak terulang kembali. Ingatan perlu dirawat bersama-sama melibatkan masyarakat dari ragam komunitas, agama, dan kepercayaan sebagai upaya untuk menolak kekerasan kepada siapa pun di masa sekarang dan mendatang.

Acara Ritual Rujak Pare Bunga Kecombrang untuk menolak lupa Tragedi Mei 1998 ini dapat menjadi refleksi masyarakat. Penting untuk mencegah kekerasan seksual dengan mengedukasi diri dan menyelami kisah-kisah korban. Acara ini mempertemukan orang dengan latar belakang berbeda untuk berani berbicara dan saling mendengar. Rujak Pare Sambal Kecombrang perlu terus diadakan dan dirawat agar perjuangan melawan kekerasan terus lestari di kemudian hari.

(sumber foto: Instagram @rasadharmasemarang)

Lena Sutanti

Pegiat isu keberagaman
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!