Dunia perfilman sudah saatnya inklusif bagi orang dengan disabilitas.
Begitulah sepenggal pesan yang tersirat ingin disampaikan Kurnia Dwijayanto, Festival Director 100% CINERGI. Lewat pemutaran lebih dari 88 film dari 24 negara, festival yang Ia gerakkan itu berupaya menyediakan lebih banyak ruang yang ramah bagi disabilitas. Utamanya dalam menikmati film dan karya seni.
Film yang sebagian besarnya bertemakan Hak Asasi Manusia (HAM) itu ditayangkan secara langsung (luring). Sebanyak 14 tempat selama tanggal 30 Agustus sampai 8 September 2024. Salah satu karya film terlaris Indonesia tahun 2024, Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, turut ditayangkan dalam program 100% CINERGI ini.
“Kita yang teman lihat kan punya kesempatan itu yang lebih banyak (menonton film), tapi teman-teman disabilitas netra belum. Jadi, kita coba untuk mengadakan acara ini secara rutin bulanan, dan kita lihat ada antusiasmenya dari teman-teman. Menurut saya jadi harus disediakan ruang-ruangnya lebih banyak,” ujar Kurnia beberapa waktu lalu.
Saat ini, khususnya di Indonesia, Kurnia menilai penyelenggaraan pameran ataupun festival karya seni masih membatasi keterlibatan dan peran-peran kelompok disabilitas. Hal ini juga membuktikan bahwa hingga saat ini kelompok disabilitas masih terus mengalami diskriminasi atas kebutuhan khusus yang mereka miliki.
Baca Juga: Mendengar Pengalaman Para Ibu yang Merawat Anak dengan Sindrom Down
100% Manusia yang merupakan penyelenggara program festival film ramah disabilitas netra ini merupakan salah satu dari beberapa komunitas yang ‘peka’. Menyadari bahwa disabilitas tidak dapat mengakses layanan publik ataupun menikmati seni seperti menonton film karena selama ini mereka tidak diberikan kesempatan yang layak untuk mengakses hal tersebut.
Kurnia menyaksikan bagaimana selama ini, bakat serta kemampuan dari banyak teman disabilitas dipandang sebelah mata karena dianggap berbeda. Masih banyak perspektif yang melihat disabilitas sebagai kelompok yang tidak mampu melakukan sesuatu dan harus dibantu.
“Teman-teman disabilitas netra berbagi kalau mereka juga punya kemampuan untuk membuat script film maupun konten media sosial, menulis, dan saya juga ngobrol sama temen-temen jadi kenapa nggak ya kalau nanti juga membuat pelatihan menulis naskah film? Kan, mereka ada kemampuan itu tapi nggak pernah diberikan peluang,” tutur Kurnia.
Tahun ini, 100% Manusia bekerja sama dengan sejumlah komunitas dalam rangka memperluas jangkauan untuk teman-teman dengan gangguan penglihatan untuk dapat menikmati film bersama.
Mempertemukan Publik Dengan Disabilitas Netra Lewat Bisik Buddy
Festival film ini, tak sekedar jadi ruang pemutaran film. Tapi juga sebagai ruang berinteraksi dan terkoneksi antara disabilitas dengan ekosistem pendukungnya. Misalnya pada disabilitas netra dengan pembisik (buddy). Publik yang hadir pun, bisa terlibat serta.
Teman bisik, atau jika di 100% CINERGI disebut sebagai bisik buddy. Mereka diajak secara terbuka untuk terlibat dalam pemutaran film yang bertugas untuk memberikan gambaran bagaimana adegan dalam film berlangsung. Tahun ini, pendaftar untuk menjadi bisik buddy meningkat dari tahun sebelumnya, ini menunjukkan bahwa ada antusiasme dari publik untuk terlibat dalam kegiatan.
Tidak asal berbisik, sebelum pemutaran film berlangsung, bisik buddy secara khusus diberikan pelatihan dalam lokakarya untuk lebih lanjut mempelajari bagaimana cara ‘bisik’ yang tepat agar dapat memberikan gambaran komprehensif mengenai film. Dalam prosesnya, 100% CINERGI juga ikut melibatkan kelompok disabilitas netra itu sendiri dalam lokakarya yang diselenggarakan. Harapannya, perspektif dan kebutuhan disabilitas netra tersalurkan agar penayangan film juga tepat sasaran serta menjadi ruang aman dan nyaman.
“Kalau di-briefing itu kita cuma ngajarin cara gimana sih bisikin ke temen-temen disabilitas netra. Nah, kalau di workshop lebih dari itu, kita juga ngajarin gimana cara dampingi mulai dari perjalanan menuju venue, sampai dia duduk, dan akhirnya pulang.”
Baca Juga: ‘Kog Kamu Gendut Sih? Wah, Kamu Disable Netra ya?’ Seksisme dan Diskriminasi di BUMN dan Perusahaan
Menurut Kurnia, mempertemukan publik melalui bisik buddy dan teman-teman disabilitas netra dapat membuka kesempatan lebih banyak untuk membangun diskusi dan interaksi yang selama ini terbatas. Melalui program bisik buddy juga dapat memunculkan sensitivitas dan awareness publik mengenai isu-isu disabilitas.
“Saya jadi punya pengetahuan baru bahwa teman-teman disabilitas itu sangat berdaya dan mandiri. Saya dan teman-teman 100% Manusia juga jadi berpikir mungkin kedepan bukan lagi saatnya kita ngebantu teman-teman disabilitas netra. Tapi, sebaliknya, teman-teman disabilitas netra yang bantu kita. Jadi mindset atau perspektifnya yang diubah,” seru Kurnia.
Indonesia Belum Ramah Disabilitas?
Meski sekarang ini sensitivitas akan disabilitas sudah semakin terbangun, misalnya kita bisa lihat banyak tayangan televisi hingga festival musik yang menyertakan juru bahasa isyarat bagi kawan-kawan tuli. Lalu, ada transportasi publik pun sejauh ini bisa dikatakan cukup sensitif akan kebutuhan disabilitas dengan menyediakan kursi khusus.
Namun, yang masih kurang dan harus digencarkan adalah bagaimana kita memandang disabilitas itu sendiri. Tidak sedikit program atau pelayanan bagi disabilitas yang justru berangkat dari posisi non-disabilitas yang cenderung ‘sok tahu’ akan kebutuhan atau yang dirasakan oleh teman-teman disabilitas itu sendiri.
Disabilitas harusnya bukan lagi dipandang sebagai objek dari kegiatan kemanusiaan. Seperti semangat yang digaungkan 100% CINERGI, kelompok disabilitas sudah saatnya banyak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan publik sebagaimana mestinya.
Baca Juga: Industri Hiburan di Indonesia Minim Libatkan Penyandang Disabilitas, Tiru Korea!
Tidak hanya tugas pemerintah untuk menyediakan ruang-ruang yang lebih luas bagi kelompok disabilitas untuk berkarya dan menunjukkan kemampuan. Tapi, juga kita sebagai masyarakat/publik umum yang perlu lebih sadar untuk berbagi ruang dan mendorong lebih banyak peran-peran kelompok disabilitas dalam aspek kehidupan manapun, termasuk di bidang kesenian.
“Harapannya, nggak cuma dari pemerintah, tapi juga dari pihak-pihak komersil juga bisa menyediakan ruang-ruang yang ramah disabilitas. Toh, rata-rata pemutaran film kebanyakan dari swasta kan ya. Kalau kita (100% Manusia) bisa, teman-teman disabilitas netra juga bisa dan antusias, kenapa mereka nggak?” tutup Kurnia.
100% Cinema Berbagi (CINERGI) bukan festival pada umumnya yang biasa hanya dinikmati oleh ‘sebagian’ orang saja, tapi hadir sebagai wadah inklusif untuk menikmati karya-karya seni, termasuk film.