Bibiku adalah perempuan yang kuat, meskipun hidupnya penuh dengan luka yang sering kali tak terlihat. Ia tak pernah mendapatkan nafkah dari suaminya, tetapi tetap bertahan demi anak-anak mereka.
Setiap pagi ia bangun lebih awal, bukan hanya untuk menyiapkan keperluan rumah, tapi juga untuk bekerja sebagai buruh tani demi menghidupi keluarganya. Di balik senyumnya yang tenang, ia memikul beban yang berat, sendirian.
Rumah tangga bibiku nyaris tak pernah benar-benar damai. Suaminya sering kali egois, bicara tanpa berpikir, bahkan tak segan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Ketika mereka bertengkar, bukan hanya suara yang menghilang tapi juga rasa aman. Mereka saling mendiamkan, dan dinding rumah menjadi saksi betapa berjaraknya hati mereka meski tinggal serumah.
Sayangnya, di lingkungan kami, konflik seperti ini dianggap wajar. Ketika bibi mencoba bercerita, banyak yang justru menyalahkan, menyuruhnya “mengalah,” atau berkata mereka “sama-sama keras.” Maka, ia memilih diam. Tidak ada ruang aman baginya untuk bersandar.
Baca Juga: Mengenal Teori Politik Feminis dan Kontribusinya Mendorong Kebijakan Adil Gender
Anak-anak mereka pun tumbuh dalam lingkungan yang penuh ketegangan. Mereka sering memberontak, sedikit nakal, dan tampak bingung mencari arah. Mungkin karena sejak kecil mereka menyerap suasana rumah yang penuh ketidakhangatan, yang seharusnya menjadi tempat ternyaman bagi seorang anak.
Sebagai keponakan laki-laki, aku hanya bisa menyaksikan semua ini. Aku ingin membela bibiku, ingin menenangkannya, atau sekadar mengatakan bahwa ia tak salah. Tapi aku hanya bisa menjadi pendengar, satu-satunya tempat ia bisa berbagi ketika semuanya terasa terlalu berat.
Cerita ini bukan hanya tentang satu rumah tangga. Ini tentang bagaimana budaya kita memaksa perempuan untuk terus melayani, meski tak diberi penghargaan. Di banyak rumah, perempuan dibebani tanggung jawab ganda: menjadi ibu, istri, pencari nafkah, dan penjaga suasana. Sementara laki-laki cukup “hadir” dan tetap dianggap kepala keluarga, meski tanpa kontribusi berarti.
Budaya patriarki yang sudah mengakar dalam masyarakat menjadi penyumbang besar dalam pembagian peran yang timpang ini. Laki-laki disebut sebagai kepala rumah tangga, dengan tugas utama mencari nafkah. Tetapi bagaimana jika sang suami tidak pernah menafkahi istrinya sepeser pun? Apakah tetap pantas menyebutnya kepala keluarga, sementara istri harus menghidupi anak-anak dan tetap menyeduh kopi setiap pagi?
Baca Juga: ‘Tubuhku Jadi Tontonan, Dosamu Jadi Hormat’: Bias Gender Soal Aib Perempuan dan Laki-Laki
Yang menyakitkan, perempuan seperti bibiku tidak hanya diminta untuk bertahan, tetapi juga melayani. Ia harus menyiapkan makanan, merawat anak, sekaligus bekerja untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Situasi ini menciptakan beban ganda bahkan berlapis bagi perempuan. Sayangnya, beban ini sering kali tak dianggap sebagai beban oleh masyarakat.
Lebih dari itu, masyarakat kita masih menyimpan pandangan sempit tentang perempuan yang ingin meninggalkan rumah tangga yang toksik atau beracun. Kalimat seperti, “Kasihan anakmu nanti,” atau, “Sabar, namanya juga rumah tangga,” terus dilontarkan. Seolah-olah perempuan harus menanggung semuanya sendiri. Tak ada yang bertanya bagaimana perasaan, beban, dan luka yang ditanggungnya setiap hari.
Bahkan ketika perempuan punya keberanian untuk keluar dari perkawinan yang toksik, stigma sebagai janda akan menghantui hidupnya. Masyarakat cenderung menempatkan atribut janda sebagai simbol seks atau bahan pelecehan seksual. Janda kerap dilekati dengan label sebagai perempuan yang “haus seks”, penggoda atau perebut suami orang. Akibatnya keberadaannya sering dianggap ancaman bagi perempuan-perempuan yang bersuami.
Sebagai laki-laki muda, aku jadi banyak merenung. Ternyata, patriarki bukan hanya melukai perempuan. Ia juga membuat laki-laki seperti pamanku merasa berhak atas kuasa, tanpa tanggung jawab. Ia membuat banyak laki-laki lupa bahwa pernikahan adalah kerja sama, bukan ajang untuk menunjukkan siapa yang lebih berkuasa.
Baca Juga: ‘Gowok Kamasutra Jawa’: Perempuan Bukan Sekadar Objek Seksual
Aku mulai sadar bahwa menjadi laki-laki bukan soal dominasi. Justru, di zaman sekarang, menjadi laki-laki harusnya berarti mampu bersikap adil, mendengarkan, dan memberi ruang bagi pasangan untuk hidup layak, bukan sekadar “patuh”. Peran laki-laki tidak seharusnya didefinisikan oleh superioritas, tetapi oleh empati dan tanggung jawab.
Aku juga belajar bahwa kita perlu membangun lingkungan yang lebih aman untuk perempuan. Tempat ketika perempuan bisa bercerita tanpa dihakimi. Tempat ketika perempuan bisa berkata, “Aku lelah,” tanpa diminta untuk terus bersabar. Karena perempuan bukan pahlawan diam yang terus-menerus mengalah. Mereka manusia yang punya hak untuk memilih jalan hidup yang lebih layak.
Harapanku cukup sederhana, semoga generasi laki-laki setelah ini tidak lagi membiarkan budaya patriarki hidup di rumahnya. Semoga mereka tumbuh menjadi pasangan yang mau berbagi beban, bukan menambah beban. Selain itu juga semoga anak-anak tidak lagi tumbuh dalam rumah yang dingin karena ayah-ibunya hanya bertahan, bukan saling menguatkan.
Aku menulis ini karena aku tak ingin diam seperti pamanku. Aku ingin menjadi laki-laki yang belajar dari luka perempuan di sekitarku, bukan yang menambahi lukanya. Selain itu, aku ingin mengatakan bahwa laki-laki pun punya peran besar untuk mengubah situasi. Bukan dengan menyelamatkan perempuan, tetapi dengan berdiri sejajar dan berjalan bersama mereka.
Semoga kisah ini bisa jadi pengingat bahwa perubahan harus dimulai dari rumah. Dan semoga, perempuan seperti bibiku, tak lagi perlu bertahan sendirian.