Industri hiburan Korea Selatan sudah melakukan gebrakan bagi artis penyandang disabilitas. Mereka misalnya mengenalkan boyband yang anggotanya merupakan teman Tuli. Boyband ini debut di pertengahan April 2024.
Boyband bernama Big Ocean tersebut beranggotakan Park Hyunjin, Kim Jiseok, dan Lee Chanyeon yang dulunya dikenal dengan nama S-Band. Mereka debut di bawah naungan agensi PARASTAR Entertainment.
Ketiga anggotanya punya masalah pendengaran, sehingga band ini menjadi angin segar bagi teman Tuli untuk menikmati musik. Band ini akan menggunakan Bahasa Isyarat Korea (KSL), Bahasa Isyarat Amerika (ASL), dan Bahasa Isyarat Internasional (ISL) dalam musiknya. hadirnya band ini juga mengenalkan jenis musik S-Pop, atau pop bahasa isyarat kepada penikmat musik.
Baca Juga: Helen Keller dan The Miracle Worker yang Mengubah Dunia
Gebrakan ini bukan kali pertama terjadi di industri hiburan Korea Selatan dalam mempromosikan kesetaraan hak untuk disabilitas. Sebelumnya publik sudah mengenal aktris down syndrom bernama Jung Eun Hye. Eun Hye berperan sebagai Yeong Hee, kakak kembar Young Ok yang diperankan aktris Han Ji Min dalam drama Our Blues.
Ini menunjukkan orang dengan disabilitas juga bisa berkarya di industri hiburan. Kehadiran Eun Hye membuatnya menjadi aktris down syndrom pertama di Korea Selatan.
Korea Selatan sendiri punya UU Anti Diskriminasi Disabilitas untuk melindungi hak-hak disabilitas. Beberapa waktu lalu bahkan Pemerintah Korea Selatan membagikan 32.000 televisi yang sudah terkustomisasi sehingga ramah bagi teman Tuli dan teman Netra. Harapannya orang dengan disabilitas juga bisa menonton TV dengan nyaman.
Bagaimana di Indonesia?
Indonesia sebenarnya pernah membuka akses bagi orang dengan disabilitas untuk berkarya di industri hiburan. Pada 2008, film Laskar Pelangi yang disutradarai Riri Riza melibatkan aktor disabilitas. Aktor bernama Jeffry Yanuar tersebut berperan sebagai Harun. Perannya dibawakan dengan apik, tidak kalah dengan aktor non disabilitas, bahkan mampu menyita perhatian penonton kala itu.
Juru bahasa isyarat sudah ada di beberapa tayangan televisi. Sayangnya posisi mereka kadang kurang terlihat karena layar terlalu kecil.
Di dunia politik Anies Baswedan pernah memakai bahasa isyarat sebagai alat kampanye dalam debat presiden. Anies menggunakan bahasa isyarat “waktunya berubah” kala pembukaan debat presiden ketiga. Tindakannya menyita perhatian pemilih dan dianggap sebagai keterwakilan suara disabilitas dalam perpolitikan Indonesia.
Walau begitu, dalam debat tersebut masih ada stigma terhadap disabilitas. Pasalnya ada paslon yang beranggapan orang dengan disabilitas adalah orang yang ‘membutuhkan’ orang lain dalam setiap kondisi. Selain itu pembahasan soal kesejahteraan disabilitas dan peran untuk memberdayakan masih minim dalam debat capres tersebut.
Baca Juga: Reni Yuniastuti dan Menari dalam Hening: Menyulam Kekuatan Perempuan, Disabilitas, dan Sinema
Sementara itu di ranah kebijakan implementasinya masih terkesan semrawut. Pembangunan yang terkesan megah lebih dinikmati oleh non disabilitas, karena kurangnya aksesibilitas bagi disabilitas. Ini lantaran kebijakan pembangunan masih berorientasi pada sudut pandang non disabilitas.
Di industri hiburan keterlibatan disabilitas juga masih minim. Apalagi masih ada pro dan kontra dari publik soal keterlibatan disabilitas di industri ini. Kita bisa lihat misalnya pembahasan di media sosial X perihal salah satu film terlaris saat ini yang diprotes oleh komunitas disabilitas. Pasalnya belum ada keterwakilan disabilitas dalam film tersebut.
Protes ini disambut kontra oleh kelompok non disabilitas. Mereka menganggap, “apa mungkin orang dengan disabilitas bisa dilibatkan dalam produksi film?”. Mungkin mereka lupa dengan film Laskar Pelangi, yang salah satu pemerannya seorang disabilitas. Riri Riza dan Mira Lesmana sudah bisa mendobrak stigma tersebut, tetapi kenapa publik lupa?
Apa itu Disabilitas?
Kata disabilitas merupakan serapan bahasa Inggris dari kata disability atau disabilities yang berarti kekurangan fisik atau mental yang dimiliki seseorang. Penyebab disabilitas bermacam, bisa dari sejak lahir, akibat kecelakaan, efek dari penyakit, dan lain hal.
Indonesia punya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang isinya mengatur soal perlindungan terhadap hak-hak disabilitas. Salah satunya hak bagi disabilitas terhindar dari pelecehan atau stigmatisasi.
Tetapi dalam realitasnya sejumlah tayangan menampilkan disabilitas sebagai bahan tertawaan. Pandangan bahwa disabilitas itu sebuah kekurangan masih melekat di masyarakat sehingga dianggap pantas ditertawakan.
UU tersebut juga membahas aksesibilitas bagi orang dengan disabilitas. Tetapi dalam kenyataannya aksesibilitas bagi penyandang disabilitas banyak yang tidak terakses dengan baik. Di industri hiburan aksesibilitas untuk disabilitas juga masih kurang terlihat dari minimnya partisipasi dan keterlibatan mereka.
Baca Juga: Pemilu Tak Inklusif Bagi Disabilitas: Tak Ada Braille, Tangga Licin, dan Diabaikan
Begitu juga dengan infrastruktur atau prasarana yang minim bagi disabilitas. Kondisi ini sering dikeluhkan kelompok disabilitas karena mereka tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan pembangunan fasilitas umum. Padahal mereka juga merasakan dampak pembangunan fasilitas tersebut.
Singkatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia belum mempertimbangkan kebutuhan orang dengan disabilitas. Pembangunan masih terkungkung dengan pandangan orang non disabilitas. Padahal pada hakikatnya semua manusia sepadan untuk memperoleh hak mereka.
UU tentang Penyandang Disabilitas juga menyebutkan disabilitas harus mendapatkan hak dan kesempatan yang layak. Bahkan disabilitas juga harus mendapatkan penghormatan.
Kuatnya Stigma dan Bias
Data Kemenko PMK menunjukkan disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta warga atau 8,5% dari jumlah warga negara Indonesia.
Namun masih banyak pandangan masyarakat bahwa disabilitas adalah minoritas sehingga tidak dianggap penting. Ini bisa dilihat misalnya pada pertanyaan, “Apakah perlu memasukkan kepentingan disabilitas dalam setiap pembahasan?”
Pertanyaan ini mengecilkan keberadaan orang dengan disabilitas dan tidak memahami kesulitan yang dirasakan disabilitas selama ini. Padahal disabilitas bisa datang kapan saja, tanpa disadari.
Belum lagi stigmatisasi di masyarakat yang memandang disabilitas harus “dikhususkan” jangan sampai berbaur dengan yang non disabilitas. Ini membuat diskriminasi terhadap disabilitas makin lebar. Masyarakat masih memandang disabilitas itu menyusahkan karena ketidakberdayaannya. Akibatnya aksesibilitas untuk disabilitas masih minim.
Semoga industri hiburan akan membawa angin segar bagi disabilitas di Indonesia, dengan meningkatnya visibilitas dan keterwakilan mereka di industri tersebut. Sehingga anggapan keliru tentang disabilitas dapat dikikis.
(sumber foto: Instagram @big_ocean.official)