Perkawinan anak di Indonesia hingga saat ini masih marak terjadi. Data Unicef 2023 menyebutkan Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia dengan estimasi jumlah anak perempuan yang dinikahkan mencapai 25,53 juta jiwa.
Perkawinan dapat dimaknai sebagai penyatuan dua insan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga atau rumah tangga. Sedangkan perkawinan anak adalah perkawinan yang dilakukan dibawah usia legalitas yang telah ditetapkan.
Di Indonesia kebijakan mengenai perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Tujuan perkawinan berdasarkan UU tersebut adalah, “Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.”
Untuk mencapai tujuan perkawinan tersebut hendaknya perkawinan dilakukan saat sudah mencapai batas usia minimal atau ideal. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 memaparkan bahwa terdapat perubahan pada Pasal 7 mengenai batas minimal perkawinan yang berbunyi, “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.”
Baca juga: Anak Saya Dipaksa Menikah Tanpa Seizin Saya, Apakah Pernikahannya Bisa Dibatalkan?
Jadi adanya batas usia minimal dalam perkawinan ini merupakan syarat sahnya perkawinan di mata hukum negara Indonesia. Meski begitu, praktik perkawinan anak masih terjadi di masyarakat baik di perdesaan maupun perkotaan dan dianggap seolah-olah hal yang wajar. Perkawinan merupakan anugerah yang selayaknya disyukuri tetapi dalam implementasinya akan lebih baik jika memperhatikan aspek hukum yang berlaku.
Kalau kita lihat ke belakang, praktik perkawinan di masyarakat khususnya masyarakat Jawa di masa lalu biasa dilakukan ketika masih usia anak. Hal ini tidak terlepas dari budaya patriarki yang hidup di masyarakat.
Representasi budaya patriarki bisa dilihat salah satunya lewat film RA Kartini karya Hanung Bramantyo. Film tersebut menggambarkan kehidupan perempuan dalam belenggu tradisi Jawa dan isu-isu gender yang saat ini masih sering ditemui. Perempuan tidak boleh berpendidikan tinggi dan harus patuh terhadap laki-laki. Kedudukan laki-laki sangat dominan dalam menentukan keputusan, sedang perempuan tidak boleh menikah selain dengan pilihan orang tuanya.
Sifat tertentu juga dilekatkan pada perempuan seperti harus berlaku baik dan sopan. Selain itu berlaku pembagian kerja, perempuan ditempatkan pada urusan domestik (memasak, mencuci, menyapu) dan seolah-olah hal itu tidak bisa diubah. Belum lagi ada tradisi pingitan yang membuat seorang perempuan dikurung di dalam kamarnya. Hal ini jelas membatasi ruang gerak perempuan.
Jadi, perkawinan anak merupakan hasil dari budaya patriarki yang menganggap perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Hingga pada akhirnya menempatkan perempuan dalam posisi subordinat.
Faktor Pendorong Perkawinan Anak
Berbagai penelitian menunjukkan terdapat beragam faktor yang mendorong terjadinya perkawinan anak yang saling berkorelasi. Faktor-faktor tersebut meliputi:
1. Faktor Sosial dan Budaya
Riset yang dilakukan Dewi, dkk (2024) memaparkan faktor sosial menjadi salah satu pendorong. Faktor sosial berkaitan dengan pengaruh lingkungan pergaulan. Misalnya saat lingkungan tempat tinggal kita menormalisasi perkawinan anak, secara tidak langsung akan membawa pengaruh pada seseorang untuk melakukan hal yang sama.
Faktor budaya juga turut andil dalam maraknya kasus perkawinan anak. Auguste, dkk (2024) menjelaskan beberapa daerah di Indonesia masih kental dengan praktik perkawinan anak yang menjadi patokan atas kedewasaan individu. Terlebih perempuan yang belum menikah akan mendapatkan stigma negatif sehingga derajat seorang perempuan dilihat saat sudah menikah. Karena itu dalam konteks budaya, untuk menjaga martabat perempuan maka perempuan harus dinikahkan. Hal ini merupakan bagian dari norma dari tradisi masyarakat lokal yang harus dipatuhi.
2. Faktor Ekonomi
Faktor berikutnya yang menjadi pemicu perkawinan anak adalah ekonomi. Intan Prabantari (2016) dalam (Auguste dkk, 2024) menjelaskan perkawinan anak terjadi karena faktor ekonomi. Bahwasanya orang tua berpikir tanggung jawabnya atas kehidupan ekonomi akan berkurang jika segera menikahkan anaknya. Khususnya pada anak perempuan karena tanggung jawabnya akan beralih kepada suami sehingga dapat mengurangi beban ekonomi orang tua. Namun realitasnya perkawinan yang terjadi karena faktor ekonomi dilakukan oleh mereka dengan kondisi finansial yang tidak jauh berbeda sehingga justru menimbulkan kemiskinan struktural.
3. Faktor Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia khususnya dalam menaikkan taraf hidup yang lebih layak. Namun, pendidikan yang belum dapat diakses secara merata menjadi pemicu terjadinya perkawinan anak. Pendidikan yang rendah akibat putus sekolah dan tidak punya pekerjaan, membuat perkawinan dipandang seakan-akan sebagai jalan keluar.
Baca juga: Perkawinan Anak Meningkat Selama Pandemi, Butuh Kolaborasi dan Keseriusan Negara
Yanti, dkk (2018) menjelaskan hasil penelitian menunjukkan pendidikan orang tua maupun pasangan remaja yang melakukan perkawinan anak masih tergolong rendah. Masih minim remaja yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi bahkan tidak menyelesaikan pendidikan wajib 12 tahun.
4. Faktor Individu
Makin cepat perkembangan fisik, mental, dan sosial seorang individu, maka makin cepat pula keinginan untuk mendapatkan keturunan. Hal ini bisa mendorong terjadinya perkawinan anak. Dewi, dkk (2024) menjelaskan terkadang terdapat tekanan dari keluarga, teman, atau masyarakat sekitar yang dapat menjadi pendorong perkawinan anak. Hal ini dapat berkaitan dengan pengalaman keluarga yang mengarahkan individu untuk mengambil keputusan tersebut.
5. Media Massa dan Sosial
Ekspos konten seksual di media massa yang saat ini gencar terjadi tanpa dibarengi edukasi yang komprehensif tentang pendidikan seksual bisa menyebabkan remaja kian permisif. Apalagi paparan informasi mengenai seksualitas di media massa belum memperhatikan jam tayang sehingga bisa ditonton anak-anak. Kondisi ini diperparah dengan paparan media sosial yang berisi konten influencer yang mempromosikan praktik perkawinan anak.
Dampak Perkawinan Anak
Perkawinan anak masih dianggap sebagai solusi oleh sebagian besar pihak untuk mencegah zina dan menjaga nilai-nilai agama. Agama dipakai sebagai pembenaran dalam praktik perkawinan anak, khususnya di Indonesia. Ajaran Islam memandang pernikahan dibolehkan saat anak sudah mencapai usia balig yakni anak laki-laki sudah mengalami mimpi basah dan anak perempuan sudah mengalami masa haid, sehingga tidak ada batasan usia minimal.
Hal ini menimbulkan pro dan kontra mengingat dampak perkawinan anak yang merugikan anak-anak dan tidak mencapai makna dari perkawinan itu sendiri. Adapun dampak perkawinan anak lebih merugikan perempuan dibanding laki-laki. Dampak tersebut sebagaimana dijelaskan Rosyidah & Listya (2019) meliputi:
1. Kanker Leher Rahim
Perkawinan yang dilakukan dibawah usia 20 tahun berisiko terkena kanker rahim karena sel-sel leher rahim belum matang. Human Papilloma Virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker, sementara kanker menjadi pembunuh nomor satu bagi perempuan Indonesia.
2. Risiko Ibu Hamil
Pasangan yang kawin pada usia anak punya risiko tinggi pada kematian ibu saat melahirkan, kematian bayi, serta berpengaruh pada rendahnya kesehatan ibu dan anak. Hasmi & Zulfihana (2022) menjelaskan secara biologis, anak masih dalam masa pertumbuhan menuju kematangan sehingga dengan kondisi fisik yang seperti itu belum siap untuk melakukan hubungan seksual. Terlebih saat terjadi kehamilan dan melahirkan yang jika dipaksakan pada akhirnya akan terjadi trauma, robekan jalan lahir, dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksi dan jiwa.
Risiko kehamilan lain yang akan dialami adalah abortus, anemia, kurang gizi, preeklamsi dan eklamsi. Sedangkan pada saat persalinan akan menimbulkan persalinan lama, kantong ketuban pecah, ketidakseimbangan kepala bayi dengan lebar panggul, persalinan prematur, berat bayi lahir rendah, dan peredaran darah yang dapat mengancam keselamatan ibu dan anak.
Baca juga: Kawin Usia Anak Itu Gak Oke, Hentikan Perkawinan Anak
3. Kepadatan Penduduk
Perkawinan anak berhubungan dengan kondisi paritas yang lebih tinggi dan jarak kelahiran yang pendek serta jumlah keluarga yang akan lebih besar. Masa subur perempuan berkisar pada usia 14 – 45 tahun sehingga perempuan yang menikah muda memungkinkan untuk melahirkan anak dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dengan perempuan yang menikah diatas usia 20 tahun.
4. KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Kondisi emosi atau mental yang belum stabil saat kawin pada usia anak berisiko terhadap terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). KDRT bisa mengakibatkan luka fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, rasa tidak berdaya. Akibat lain adalah ketergantungan pada suami meskipun sudah mengalami kekerasan, stres pascatrauma, depresi dan keinginan untuk melakukan bunuh diri.
5. Ekonomi
Rendahnya pendidikan menjadi salah satu faktor terbatasnya akses remaja yang kawin di usia anak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Kondisi ini akan berdampak pada kegagalan keluarga dalam melewati masalah rumah tangga khususnya ekonomi yang akan meningkatkan risiko perceraian. Di usia yang sangat muda, remaja belum mampu untuk bekerja dan menghidupi keluarganya secara utuh sehingga banyak dari mereka yang kawin di usia anak masih bergantung secara ekonomi pada keluarga masing-masing.
6. Pendidikan
Remaja yang kawin di usia anak berpotensi putus sekolah sehingga berpengaruh terhadap rendahnya angka pendidikan dan menurunnya indeks pembangunan atau IPM. Hal ini akan berdampak pada perilaku anak saat menjadi orang tua. Secara tidak langsung pola asuh orang tua akan berdampak pada tumbuh kembang anak.
Upaya Menghapus Perkawinan Anak
Perkawinan anak menjadi problem yang kompleks dan membutuhkan penanganan tegas karena menyangkut hak hidup anak. Karena itu usaha yang dapat dilakukan untuk menghapus perkawinan anak dan memberdayakan kehidupan anak antara lain:
1. Pendidikan Seksual
Usaha yang dapat dilakukan untuk menghapus perkawinan anak salah satunya adalah pemberian pendidikan seksualitas yang komprehensif di instansi pendidikan. Melalui pendidikan seksualitas yang komprehensif, remaja dapat memahami pentingnya menunda perkawinan hingga usia dewasa dan memahami konsekuensi negatif dari perkawinan anak. Selain itu, remaja juga dapat memahami kesehatan seksual dan reproduksi yang mencakup keputusan dalam hubungan dan penggunaan alat kontrasepsi untuk membentuk hubungan yang sehat.
2. Pendidikan yang Merata
Akses dan kualitas pendidikan yang belum merata perlu diperbaiki. Pasalnya pendidikan formal dapat membantu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan remaja mengenai pentingnya perkawinan hingga usia yang lebih matang. Pendidikan yang kurang merata menyebabkan terjadinya perkawinan anak karena tidak ada hal lain yang bisa dilakukan sehingga membuat pernikahan sebagai satu-satunya pilihan.
3. Sosialisasi dan Kampanye
Selanjutnya bisa dilakukan sosialisasi dan kampanye mengenai dampak buruk perkawinan anak agar bisa mengubah persepsi masyarakat. Misalnya dengan kolaborasi bersama lembaga terkait seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Selain itu juga dapat melakukan kolaborasi dengan LSM dan organisasi peduli perempuan dan anak.
Baca juga: Pendidikan Seksualitas, Jalan Menolak Stigma Perempuan
4. Pengawasan dan Penegakan Hukum
Indonesia sudah punya aturan tentang perkawinan khususnya pada anak. Namun dalam implementasinya lembaga terkait seperti KUA dan pengadilan harus lebih ketat dalam penegakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan Anak ini. Meskipun terdapat dispensasi yang diberikan, tetapi lembaga terkait diharapkan dapat lebih tegas dalam memberikan dispensasi untuk perkawinan anak yang dilakukan dibawah batas usia minimal sebagaimana diatur dalam undang-undang.
5. Pemberdayaan Ekonomi
Meningkatkan akses peluang kerja dan pemberdayaan ekonomi khususnya bagi perempuan dapat mengurangi tekanan ekonomi yang kerap menjadi alasan perkawinan anak. Program-program pemberdayaan ekonomi dapat dilakukan dengan pelatihan peningkatan keterampilan, ekonomi kreatif, dan modal usaha.
Mendorong Masyarakat yang Inklusif
Melihat realitas dampak perkawinan anak yang sangat merugikan bagi remaja khususnya perempuan, pemerintah Indonesia merumuskan kebijakan untuk menekan angka perkawinan anak. Kebijakan tersebut berupa UU Nomor 1/ 1974 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 16/2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Revisi ini diharapkan dapat memberikan kehidupan yang layak dan seharusnya didapatkan oleh remaja, sehingga remaja usia sekolah akan lebih fokus terhadap perkembangan diri dan pendidikan.
Ini juga menjadi upaya pemerintah untuk mewujudkan kehidupan yang inklusif bagi anak-anak di Indonesia. Inklusi atau inklusivitas menurut Jones, dkk (2011) seperti dikutip Bintang, dkk (2024) adalah suatu pendekatan untuk dapat mewujudkan lingkungan sosial masyarakat yang terbuka untuk setiap elemen masyarakat dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Inklusi merupakan konsep sosial yang didasari pada rasa memiliki, penerimaan, pengakuan, pelibatan partisipasi yang setara bagi semua kalangan dari berbagai macam aspek mulai dari ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Lebih lanjut, konsep inklusi mulai berkembang menjadi inklusi sosial yang berupaya untuk mewujudkan keberagaman dan diterimanya berbagai kelompok masyarakat dalam sistem sosial. Terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang inklusif berarti menjamin adanya kesempatan yang setara bagi semua orang tanpa membedakan suku, ras, agama, bahkan perbedaan pada aspek fisik.
Inklusi merupakan kebalikan dari eksklusi, konsep inklusi tidak hanya memberikan keterbukaan dalam tatanan masyarakat yang berhenti pada tataran menerima perbedaan dan keragaman saja. Namun terdapat empat nilai yang dijadikan pedoman dalam upaya mewujudkan masyarakat yang inklusi. Pertama, pluralisme yang menganggap bahwa keberagaman dan perbedaan dalam masyarakat merupakan anugerah.
Baca juga: Pemaksaan Perkawinan Anak Banyak Dilakukan Oleh Orangtua
Kedua, kesetaraan yang menuntut tidak boleh ada satu orang yang lebih tinggi atau rendah kedudukannya dalam sosial masyarakat. Dengan kata lain adanya kesempatan yang sama untuk setiap orang. Ketiga, menjunjung tinggi nilai martabat, yakni setiap orang wajib menghargai martabat dan nilai yang dianut oleh masyarakat. Keempat, pedoman atau nilai dalam mewujudkan kawasan inklusif menjadi alat ukur dalam menganalisis pembangunan yang inklusif (Bintang dkk, 2024).
Jadi dapat disimpulkan perkawinan anak masih jadi permasalahan serius dan dibutuhkan penanganan yang lebih tegas. Meskipun sudah ada regulasi yang mengatur seperti UU Nomor 1/1974 dan revisinya UU Nomor 16/2019 yang menetapkan batas minimal usia perkawinan.
Butuh langkah konkret untuk menghapus perkawinan anak seperti dipaparkan di atas. Selain itu perlu kerja sama antara pemangku kepentingan terkait mulai dari pemerintah, masyarakat, LSM, dan organisasi peduli perempuan dan anak.
Daftar Pustaka
Auguste, A. E., Sasmita, D., Sayrindra, A. D., Levana, C., Chrisdhana, H., & Ardilla, S. I. (2024). Kesehatan Mental dan Pernikahan Dini: Dampak yang Perlu Diperhatikan. Indonesia Article in Journal of MISTER Available at Dewi Sasmita, 1(3b), 830. https://doi.org/10.32672/mister.v1i3b.1748
Bintang, L., Putra, W., Tinggi, S., Masyarakat, P., & Apmd, D. “. (2024). Mewujudkan Kota Inklusi: Inklusivitas dan Aksesibilitas Ruang Publik bagi Penyandang Disabilitas di Kota Yogyakarta. The Journalist: Social and Government, 5(2), 203–214. http://thejournalish.com/ojs/index.php/thejournalish/index
Dewi, A. P., Hartati, N. D., Alfiana, S., Maulida, S., Elfrida, Y., Siregar, Y., Pd, S., & Pd, M. (2024). Analisis Mendalam Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Dini di Indonesia: Implikasi untuk Kebijakan Sosial dan Pendidikan. Relinesia: Jurnal Kajian Agama Dan Multikulturalisme Indonesia, 3(1), 39. http://jurnal.anfa.co.id/index.php/relinesia
Hasmi, N., & Zulfihana, H. (2022). Faktor Penyebab dan Dampak Psikologis Pernikahan Anak (Studi Kasus UPTD PPA Lombok Timur). At:Taujih: Bimbingan Dan Konseling Islam, 1(1). https://jurnal.iaihnwpancor.ac.id/index.php/taujih
Rosyidah, E. N., & Listya, A. (2019). Infografis Dampak Fisik dan Psikologis Pernikahan Dini bagi Remaja Perempuan. Visual Heritage: Jurnal Kreasi Seni Dan Budaya, 1(03), 191–204.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Pernikahan. https://peraturan.bpk.go.id/Details/122740/uu-no-16-tahun-2019. Diakses Tangga 8 Oktober 2024.
Yanti, Hamidah, & Wiwita. (2018). Analisis Faktor Penyebab dan Dampak Pernikahan Dini di Kecamatan Kandis Kabupaten Siak. Jurnal Ibu Dan Anak, 6(2), 96–103.