Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, Perempuan Mahardhika, dan JALA PRT. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.
Tanya:
Halo Klinik Hukum Perempuan, saya Linda (39 tahun) dari Jakarta. Saya janda dengan satu anak perempuan (DN) berusia 16 tahun. DN ada dalam pengasuhan saya sejak usia 12 tahun saat saya bercerai dari mantan suami (ayah kandung DN). Walau DN tinggal dengan saya, DN tetap boleh bertemu ayahnya terutama saat libur sekolah, biasanya ayah DN akan menjemput DN. Ayah DN tinggal di Cikarang, sudah menikah lagi.
Pada liburan panjang bulan Juli 2023, seperti biasa DN dijemput ayahnya ke Cikarang. Pada saat pulang ke rumah saya lagi, DN cerita jika dijodohkan ayahnya ke temen kerja ayahnya di pabrik, Lak-laki tersebut bernama MS usia 26 tahun. DN bilang pada saya jika tidak mau dijodohkan dan menikah dengan MS.
Pada April 2024, tanpa sepengetahuan dan seizin saya sebagai ibunya, DN dinikahkan secara sederhana dengan MS di Cikarang. Padahal DN masih sekolah SMK kelas 2. Saya baru tahu ketika DN pulang nangis-nangis bilang kepada saya jika ia sudah dinikahkan paksa oleh ayahnya dengan MS. Saya marah dan melaporkan mantan suami ke polisi, tapi polisi minta kami untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan dulu. Menurut polisi, DN bisa mengajukan gugatan pembatalan perkawinan jika merasa tidak menginginkan pernikahan tersebut.
Pertanyaan saya, bisakah pernikahan anak saya (DN) dengan MS dibatalkan, jika bisa bagaimana caranya. Terus, apakah proses hukum terkait pemaksaan perkawinan mantan suami kepada DN bisa dilanjutkan?
Mohon bantuan informasi penyelesaian hukumnya. Terimakasih. (Linda- Jakarta)
Jawab:
Halo Ibu Linda, terimakasih sudah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Kami turut prihatin atas terjadinya pemaksaan pernikahan terhadap Anak DN (16 tahun) oleh ayah kandungnya tanpa sepengetahuan dan seizin anda sebagai ibu kandungnya. Tindakan Anda melaporkan mantan suami (ayah anak DN) ke polisi sudah benar, karena telah melakukan pemaksaan perkawinan terhadap anak DN.
Perlu diketahui, pemaksaan pernikahan terhadap DN yang masih usia anak melanggar ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang berbunyi sebagai berikut:
- Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
- Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. perkawinan Anak; b. pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya; atau c. pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan.
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, diatur batas usia perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila laki-laki dan perempuan sudah mencapai umur 19 tahun.
Mengenai pertanyaan Anda apakah pernikahan Anak DN dengan MS dapat dibatalkan? Jawabannya sangat bisa, terlebih terdapat alasan yang kuat untuk dijadikan dasar permohonan/gugatan pembatalan perkawinan, yaitu usia belum mencukupi dan pernikahan dilakukan atas paksaan terhadap anak.
Baca juga: Kasus KBGO: di Medsos, Ibu Diminta Pelaku Cabuli Anaknya, Pelaku Harus Dihukum
Suatu perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Sekarang: UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Selain itu perkawinan tersebut dapat dibatalkan jika para pihak yang melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Atau adanya sebuah kondisi yang membuat perkawinan tersebut dapat atau harus dibatalkan karena perkawinan tersebut merugikan salah satu pihak.
Artinya, pembatalan perkawinan hanya bisa dilakukan apabila perkawinan tersebut telah terjadi dan dicatatkan di KUA ataupun KCS. Selain itu perkawinan tersebut di kemudian hari diketahui terdapat permasalahan yang menyangkut persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Permasalahan ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai alasan-alasan dilakukannya pembatalan perkawinan.
Perlu diketahui juga, bahwa pembatalan perkawinan berbeda dengan perceraian. Hal yang membedakan keduanya adalah status perkawinannya. Perkawinan yang dilakukan dapat dibatalkan karena terdapat alasan yang menyebabkan perkawinan tidak sah. Sementara perceraian perkawinan telah dinyatakan sah namun karena ada alasan yang membuat suami istri tidak dapat mempertahankan perkawinan.
Menurut KHI, perkawinan dapat “batal demi hukum” dan “dapat dibatalkan”. Pernikahan yang batal demi hukum dikarenakan adanya pelanggaran pada larangan pernikahan. Sementara perkawinan dapat dibatalkan karena adanya pelanggaran pada syarat perkawinan yang merugikan salah satu pihak.
Baca juga: Dikriminalisasi Karena Posting Chat Perselingkuhan Suami Di Medsos, Apa Yang Harus Dilakukan?
Dalam Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam (KHI), dijelaskan mengenai sebab atau alasan pembatalan perkawinan diantaranya:
- permohonan pembatalan nikah dapat diajukan oleh suami atau istri jika pada saat terjadi pernikahan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.
- Suami atau istri bisa mengajukan permohonan pembatalan nikah jika pernikahan tersebut dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
- Jika ancaman sudah berhenti atau yang bersalah tersebut menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 bulan setelah itu masih bisa hidup sebagai suami istri dan tidak menggunakan haknya untuk membatalkan perkawinan, maka haknya tersebut gugur.
Sedangkan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22-28, dan Pasal 37-38 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974, alasan-alasan yang dapat membatalkan perkawinan adalah:
- Adanya perkawinan, padahal para pihak masih terikat dalam perkawinan yang sah (atau masih dalam masa iddah).
- Perkawinan dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang.
- Perkawinan dengan wali yang tidak sah/tidak berhak.
- Perkawinan tidak dihadiri 2 orang saksi.
- Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum/dengan paksaan.
- Perkawinan yang dilangsungkan karena terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
- Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan yang ditentukan.
Adapun permohonan/gugatan pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama apabila Anak DN dinikahkan secara agama Islam dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan dan Pengadilan Negeri apabila Anak DN dinikahkan secara agama Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan lainnya dan dicatatkan Kantor Catatan Sipil (KCS).
Baca juga: Viral Suami WNA Selingkuh dan Rebut Anak Kandung, Apa Upaya Hukum Yang Bisa Ditempuh?
Tentang siapa yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan, BW menyebut “orang yang karena perkawinan lebih dulu telah terikat dengan salah satu dari suami isteri, oleh suami isteri itu sendiri, oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, oleh segala mereka yang berkepentingan atas kebatalan perkawinan tersebut, juga oleh instansi Kejaksaan”, tergantung bagaimana kasus perkawinan yang hendak dimintakan pembatalan tersebut (Pasal 86). Dalam hal pelanggaran terhadap Pasal 27 (prinsip monogami), pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh:
- Suami/istri dari perkawinan yang dahulu.
- Suami dan istri dari perkawinan yang sekarang.
- Keluarga sedarah dalam garis ke atas.
Jika belum mencapai umur yang disyaratkan, maka pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh orang yang belum mencapai umur itu atau Kejaksaan.
Pembatalan perkawinan memiliki jangka waktu pengajuan yaitu hanya 6 bulan atau disebut daluwarsa. Apabila DN dinikahkan pada bulan April 2024, maka pengajuan gugatan pembatalan perkawinan bisa dilakukan karena usia perkawinan masih di bawah batas daluarsa atau usia pernikahan baru berjalan 3 bulan.
Adapun syarat pendaftaran pengajuan gugatan pembatalan perkawinan adalah sebagai berikut:
- Surat Permohonan (7 rangkap) + softcopy
- Fotokopi KTP
- Fotokopi KK
- Asli Kutipan Akta Nikah
- Fotokopi Kutipan Akta Nikah
- Surat Keterangan dari Kepolisian bahwa telah terjadi penipuan, pemaksaan, dan/atau pemalsuan identitas pada saat menikah
- Membayar panjar biaya perkara
Baca juga: Cerai Karena KDRT, Ibu Yang Tak Bekerja Berhakkah Atas Hak Asuh Anak?
Kembali kepada kasus DN yang dipaksa menikah, maka proses polisi bisa anda tindak lanjuti dengan menggunakan UU TPKS, dan dijadikan sebagai bukti dokumen dalam persidangan pembatalan perkawinan. Berikut ini adalah tahapan gugatan pembatalan perkawinan:
- Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama/ Pengadilan Neheri lalu ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk melakukan konsultasi mengenai persyaratan apa saja yang harus dipenuhi, dengan petugas meja informasi.
- Pihak yang berperkara membuat surat permohonan/gugatan (yang berisikan identitas, posita, dan petitum) secara tertulis atau lisan yang ditujukan kepada Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri lalu ke kasir untuk tafsir panjar biaya perkara.
- Kasir akan memberikan tafsiran panjar biaya perkara dan menyerahkan 1 lembar slip setoran bank yang telah divalidasi kepada pihak yang berperkara.
- Para pihak membayarkan panjar biaya perkara ke Bank, lalu kembali ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri dan menuju ke petugas meja pendaftaran.
- Para pihak menunjukan bukti pembayaran dan berkas-berkas pendaftaran kepada petugas meja dua. Petugas meja pendaftaran akan memberikan SKUM, Blanko bukti pembayaran PNBP, dan 1 lembar surat gugatan yang telah diberi tanda pendaftaran dan nomor perkara.
- Pendaftaran selesai, Jurusita/jurusita pengganti akan datang ke alamat 2 pihak yang berperkara sesuai yang tercantum dalam surat gugatan untuk melakukan pemanggilan sidang setelah ditetapkan hari sidangnya oleh majelis hakim
- Persidangan dilakukan. Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka para pihak yang berperkara dapat meminta salinan putusan (sesuai dengan arahan majelis hakim)
Demikian ibu Linda uraian penjelasan kami. Semoga dapat membantu anda untuk segera menyelesaikan permasalahan yang anda hadapi dan gugatan permbatalan pernikahan DN dengan MS segera dapat dijalankan dengan lancar. Agar DN bisa kembali melanjutkan sekolah untuk menggapai cita-cita.
Jika kamu mau berkonsultasi hukum perempuan secara pro bono, kamu bisa menghubungi Tim LBH APIK Jakarta. Kamu bisa mengirimkan email Infojkt@lbhapik.org atau Hotline (WA Only) pada kontak +62 813-8882-2669.