Dituntut Harus Ramah Sampai Marah: Emotional Labor adalah Isu Pekerja

Sebagai pekerja kamu pernah merasa tertekan karena lagi capek tapi harus ramah ke pelanggan atau harus marah/tegas demi memenuhi tuntutan pekerjaan? Di balik ekspresi yang sering dianggap sederhana, ada emotional labor—pekerjaan emosional yang sering kali diabaikan.

Saat kuliah, teman saya Dina (nama samaran) bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji. Ia bercerita bosnya sering menjadikan senyumnya sebagai standar bagi karyawan lain. 

“Dina, coba kamu senyum. Nah, begini dong kalian kalau senyum. Matanya juga ikut senyum, kayak Dina ini,” kata bosnya sambil menunjuk Dina. 

Pujian itu seakan-akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi Dina waktu itu. Di lain hari masih cerita Dina, bagian kasir berurusan dengan pelanggan yang memanipulasi kembalian. Seorang pelanggan menukar uang seratus ribu, tapi kasir malah memberikan sepuluh lembar uang lima puluh ribu. 

Beberapa saat setelah transaksi, kasir tersebut baru menyadari kesalahannya dan merasa seperti terhipnotis oleh pelanggan tadi. Ketika melapor, manajer menyebutnya keteledoran. Meskipun kasir tersebut masih shock dengan kejadian itu, ia tetap harus tersenyum saat bekerja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Dina sendiri mengaku tidak mendapatkan apa pun selain pujian atas senyumnya yang terus terpasang saat bekerja. Tidak ada bonus, tidak ada insentif tambahan. Padahal, selain tersenyum, ia dan rekan-rekannya bertanggung jawab atas berbagai tugas lainnya: memasak, menyambut pengunjung, membuat minuman, dan banyak lagi. Di saat jam sibuk, hampir tidak ada waktu bagi mereka untuk duduk dan beristirahat. Tak peduli mereka sedang lelah, senyum dan bersikap ramah harus tetap dijalankan.

Alih-alih mendapatkan upah tambahan atas kerja emosional yang mereka lakukan, malah sering ditegur karena dinilai “kurang ramah”. Di zaman sekarang, pelanggan tak segan-segan memberikan ulasan buruk atau bahkan memviralkan pekerja yang dianggap kurang ramah.

Apa Itu Emotional Labor?

Menurut buku The Managed Heart karya sosiolog perempuan Arlie Hochschild, emotional labor atau kerja emosional adalah pengaturan atau pengelolaan ekspresi emosional untuk memenuhi persyaratan pekerjaan. 

Kerja emosional melibatkan manajemen emosi, seperti mengubah perasaan pribadi atau tampilan emosi di depan umum. Kerja emosional bukan hanya tentang emosi keramahan, tetapi juga termasuk emosi negatif seperti kemarahan atau ketegasan. Ia berpendapat seiring dominasi sektor jasa, tuntutan kerja emosional terhadap karyawan makin meningkat, menjadikannya bagian dari layanan yang dapat dipasarkan.

Emotional labor dalam pekerjaan ini biasanya tidak langsung diakui atau dilabeli sebagai “tugas inti” dan sering kali beban ini datang tanpa imbalan atau pengakuan. Alhasil, emotional labor menjadi tuntutan tak terlihat yang bisa menimbulkan burnout karena pekerja harus memanipulasi emosi mereka agar tetap sesuai tuntutan.

Hampir semua pekerjaan memang memerlukan emotional labor dalam berbagai tingkat. Namun sejumlah pekerjaan memiliki tuntutan emotional labor yang tinggi. Seperti layanan pelanggan, tenaga pendidik, tenaga medis, pekerja transportasi, petugas jasa hiburan, penagih utang dan sejenisnya.

Kerja emosional yang membutuhkan “akting” marah dan tegas mengingatkan saya pada karakter Dina yang diperankan oleh Laura Basuki dalam film Sleep Call. Di film itu ia berprofesi sebagai penagih pinjaman online. Dina yang sulit untuk marah, berlatih keras agar nasabahnya mau membayar tagihan, hingga akhirnya perkataannya yang tajam membuat salah satu nasabah bunuh diri. 

Selain profesi penagih utang, contoh lain dari kerja emosional yang menuntut sikap ketus dan pemarah bisa kita lihat pada karyawan di Karen’s Diner yang dulu sempat viral. Di sana, kejudesan para karyawan justru dijadikan nilai jual yang mendukung konsep bisnis restoran tersebut.

Baca juga: Kerja-Kerja Emosional Perempuan Pekerja Seni: Susah Payah Kami Mengusir Sensasi dan Pelecehan di Atas Panggung

Kerja emosional ini berbeda dengan pekerjaan di mana emosi menjadi inti layanan, seperti jasa curhat atau konselor. Dalam profesi ini, “penjualan” emosi atau kehadiran emosional memang merupakan bagian utama dari layanan, dan para pekerja diakui atas keterampilan mendengarkan atau merespons secara emosional. 

Pelanggan yang membayar untuk layanan ini biasanya sadar bahwa mereka membeli waktu, perhatian, atau kepekaan emosional. Karena emosi adalah komoditas utama dalam pekerjaan ini, pekerja biasanya mendapatkan imbalan atau pengakuan langsung atas usaha emosional yang mereka berikan.

Ada yang beranggapan bahwa bersikap ramah dan senyum adalah sifat alami manusia. Dan memang sudah seharusnya manusia bersikap baik kepada sesama, maka bersikap baik kepada pelanggan bukan hal yang susah bukan? Emotional labor sulit mendapat pengakuan, apalagi dihargai sebagai kerja dengan bayaran lebih dengan anggapan seperti tadi. Bayangkan kamu lagi berduka, putus dengan pacar, atau lagi kelilit utang, tapi harus tetap hangat dan ramah saat bekerja. 

Arlie Hoschild menulis betapa sulitnya memisahkan emosi yang dibutuhkan untuk pekerjaan dengan emosi individu itu sendiri. Misalnya, seorang pelayan di restoran akan memiliki senyum ‘kerja’ yang berbeda dibandingkan dengan cara dia tersenyum ketika dia benar-benar bahagia. 

Seorang pekerja yang sudah kelelahan dengan jam kerja panjang, di sisi lain dituntut juga untuk tersenyum dengan hangat, tentu itu bukan sifat alami manusia. Pelayan tersebut sedang melakukan pekerjaan yang melibatkan manipulasi emosi yang berat. Belum lagi tuntutan untuk dapat “membaca” pelanggan berdasarkan status ekonominya, etnis, dan air muka pelanggan. Karena interpretasi “baik dan ramah” kadang bisa berbeda bagi orang lain. Seperti contoh kasus Dina tadi, senyum dengan mata ikut tersenyum adalah hal yang tidak bisa dilakukan semua orang.

Perempuan Lebih Dituntut Karena Dianggap Sifat Alamiahnya

Masih menurut Arlie Hoschild, baik laki-laki maupun perempuan melakukan kerja emosional, baik dalam kehidupan pribadi maupun di tempat kerja. Namun, beban kerja emosional lebih banyak ditanggung oleh perempuan. Konstruksi gender tradisional mengarahkan perempuan ke bidang-bidang pekerjaan yang spesifik. Seperti layanan pelanggan di depan, yang lebih jarang diisi laki-laki. 

Hal ini terjadi karena anggapan bahwa perempuan lebih mampu menghadapi pelanggan yang marah dan meredakan situasi dengan “sikap manis” mereka. Selain itu, perusahaan sering mengeksploitasi karyawan perempuan dengan memanfaatkan kecantikan, pesona, serta keterampilan relasional mereka untuk menarik pelanggan dan meningkatkan nilai jual bisnis. 

Sejarah mencatat, perempuan melakukan kerja emosional sebagai bentuk “hadiah” bagi laki-laki. Sebagai imbalan relasional yang secara tidak langsung timbul dari keterbatasan akses perempuan dalam mendapatkan pekerjaan atau penghasilan yang setara.

Tidak hanya di tempat kerja, masyarakat juga mengharapkan perempuan secara alami lebih mengasuh, peduli, intuitif, dan empatik. Sikap-sikap ini sering kali dianggap sebagai kualitas bawaan perempuan, bukan sebagai keterampilan atau usaha yang mereka bangun. 

Akibatnya, kerja emosional ekstra yang dilakukan perempuan untuk mendukung budaya kerja jarang diakui sebagai pekerjaan profesional yang dibentuk dari usaha dan ketahanan mental. Hal ini tidak hanya membuat kerja emosional menjadi tanggung jawab perempuan, tetapi juga memberi ruang bagi laki-laki untuk menghindari tanggung jawab emosional, bahkan menjadi tidak peka terhadapnya.

Baca juga: ‘Tempat Kerja Adalah Keluarga?’: Kamu Harus Waspada Dengan Kalimat Ini

Jauh sebelumnya sosok feminis abad ke-19, Charlotte Perkins Gilman telah mengkritisi hal ini dalam bukunya Women and Economics. Bagi banyak perempuan, pengelolaan emosi mereka adalah bentuk bertahan hidup dalam masyarakat patriarki, mengingat mereka tidak punya banyak pilihan. 

Kemajuan ekonomi hampir secara eksklusif bersifat maskulin. Ribuan tahun perempuan mengambil posisi melakukan pekerjaan rumah tangga tak berbayar dan “bertugas” membuat suami mereka bahagia. Ini datang dari anggapan bahwa seorang laki-laki yang bahagia dan nyaman dapat menghasilkan uang lebih banyak. 

Perempuan telah lama dilarang masuk pada industri yang memiliki nilai ekonomi. Dan kondisi ketergantungan ekonomi pada laki-laki yang dialami perempuan inilah yang membuat mereka harus melakukan kerja emosional di rumah demi bisa bertahan hidup. Karena itu lambat laun sifat “membuat laki-laki nyaman dan bahagia” ini dianggap sebagai sifat alamiah perempuan.

Emotional Labor: Isu Pekerja yang Perlu Diperhatikan

Kerja emosional yang kebanyakan di sektor jasa ini mirisnya mendapatkan upah sangat rendah. Berdasarkan data BPS, rata-rata gaji tenaga kerja usaha jasa di Indonesia pada tahun 2024 adalah Rp 2.104.702. Paling rendah dibanding tenaga lain seperti tenaga tata usaha atau tenaga produksi.

Dampak buruk dari kerja emosional juga menjadi alasan mengapa konsep kerja emosional sangat terkait dengan hak pekerja. Jenis pekerjaan fisik misalnya, setidaknya menyadari dan diakui oleh pemberi kerja ada kelelahan yang menyertai pekerjaan mereka. Tetapi orang-orang yang pekerjaannya membutuhkan kerja emosional mungkin tidak menyadari kelelahan emosional. 

Masalah kesehatan yang terkait dengan kerja emosional meliputi hipertensi, penyakit jantung, dan risiko lebih tinggi terkena kanker. Pekerja yang mengalami salah satu masalah ini mungkin tidak tahu bahwa kerja emosional dapat menjadi salah satu faktor potensial, di antara banyak faktor, yang menyebabkan masalah ini.

Pengakuan serta kompensasi yang adil atas emotional labor harus dipandang sebagai hak pekerja. Tanpa itu, pekerja khususnya di sektor jasa akan terus berada dalam bayang-bayang ekspektasi emosional yang tidak mengindahkan kebutuhan dan kesejahteraan mereka. 

Emotional labor adalah isu pekerja yang berpengaruh pada kesejahteraan fisik dan mental. Kerja emosional yang tak diakui dan tak dibayar ini mencerminkan ketidakadilan bagi pekerja, terutama perempuan, yang sering dihadapkan pada ekspektasi untuk selalu bersikap ramah. Memahami emotional labor sebagai hak pekerja dapat membuka ruang dialog bagi kebijakan yang lebih adil.

Ika Ariyani

Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!