Morowali, sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah dalam satu dekade terakhir telah berubah menjadi kawasan industri nikel terbesar di dunia. Kawasan yang bernama Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) ini menampung sekitar 50 perusahaan dan lebih dari 80 ribu pekerja.
Keberadaan IMIP mengubah kabupaten yang dulunya berupa pedesaan dan lahan pertanian menjadi kota pertambangan yang penuh hiruk pikuk. Ribuan orang datang ke Morowali untuk bekerja dan mengubah nasib. IMIP menghasilkan nickel pig iron (NPI) sebanyak 4,76 juta ton dan stainless steel slab sebesar 4,2 juta ton pada 2024. Kapasitas produksi ini menempatkan IMIP sebagai penghasil nikel terbesar di tanah air.
Namun di balik angka-angka tersebut, aspek kesehatan dan keselamatan kerja (K3) buruh jadi taruhannya. Alfian Al-Ayubby, peneliti dari Sembada Bersama Indonesia mengungkapkan penelitian yang mereka lakukan menunjukkan berbagai bahaya di tempat kerja yang dapat menimbulkan penyakit akibat kerja (PAK). Seperti bahaya kimia dari paparan nikel, batu bara, sulfur, dan asbes.
“Banyak pekerja di IMIP yang berbicara kepada kami mengatakan perusahaan-perusahaan di IMIP menggunakan berbagai bahan kimia. Seperti batu bara sebagai bahan bakar untuk produksi, asbes untuk insulasi panas di beberapa area kerja, dan sulfur untuk pemurnian nikel. Proses produksi juga melepaskan silika saat melebur bijih nikel,” papar Alfian.
Selain itu juga ada bahaya fisika berupa panas dan kebisingan dari suara mesin dalam proses produksi yang berlangsung terus-menerus. Kondisi ini diperparah dengan jam kerja buruh yang panjang karena IMIP beroperasi selama 24 jam.
“Para pekerja mengakui bahwa tempat kerja di IMIP bising karena suara mesin yang terus-menerus dan sangat panas karena pembakaran bijih nikel pada suhu melebihi 1.500 derajat Celcius,” tambah Alfian.
Paparan bahan kimia berbahaya atau bahan produksi yang mengandung senyawa berbahaya tersebut menurut Alfian bisa menimbulkan penyakit akibat kerja. Bahkan dalam jangka panjang bisa menyebabkan penyakit serius dan tidak bisa disembuhkan.
Jam Kerja Panjang Melebihi Ketentuan Undang-Undang
IMIP menerapkan 3 jadwal kerja dan ketiganya melebihi batas 40 jam kerja per minggu yang ditetapkan UU Cipta Kerja. Jadwal kerja tersebut, pertama 8 jam per hari non-shift 6 hari kerja, jadi total jam kerja per minggu 48 jam. Kedua jadwal kerja 8 jam per hari 3 shift 3 kelompok dengan total jam kerja per minggu 52 jam. Ketiga jadwal kerja 12 jam per hari 2 shift dengan total jam kerja per minggu 60 jam. Ini semua dilakukan untuk memastikan IMIP tetap beroperasi selama 24 jam.
Alfian menjelaskan penerapan ketiga jadwal kerja ini menurut para pekerja sangat melelahkan. Mereka dengan jadwal kerja 8 jam 3 shift, misalnya, tidak memiliki waktu untuk beristirahat di sela-sela kerja. Bahkan saat makan siang, mereka harus bergantian makan dengan waktu tidak lebih dari 15 menit.
Seperti pengakuan seorang operator hoist crane di PT Sulawesi Mining Investment, yang bertugas mengangkat batang-batang baja. Ia mengungkapkan dirinya harus makan siang sambil terus bekerja mengoperasikan crane.
“Tidak ada yang menggantikan saya untuk mengoperasikan crane saat istirahat makan siang. Jadi saya harus pandai-pandai menyiasati agar bisa makan sekaligus mengoperasikan crane,” ujarnya
Jam kerja yang berlebihan dan tekanan kerja yang tinggi juga membuat para pekerja mudah sakit. Seperti dialami seorang pekerja di OSMI yang jam kerjanya hingga 12 jam.
“Lembur terus bikin sakit kepala dan stres. Minum Panadol-paracetamol bisa lebih dari satu papan tiap minggu. Apalagi kalau lagi kerja malam, sakit kepala pulang kerja. Baru panas di tempat kerja,” katanya.
Baca juga: Edisi Kartini: Pergi ke Morowali, Kutemui Para Perempuan Muda Pekerja Tambang
Sementara itu menurut Alfian, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bilang jam kerja panjang berbahaya bagi kesehatan. Pada 2021 sebanyak 750 ribu orang meninggal akibat serangan jantung dan stroke yang terkait dengan jam kerja panjang, melebihi 55 jam seminggu.
“Di IMIP jam kerja panjang ini sudah dikeluhkan. Walaupun kami belum pernah dengar ada yang meninggal di IMIP karena serangan jantung atau stroke,” kata Alfian.
Namun di IWIP (Indonesia Weda Bay Industrial Park), salah satu smelter terbesar di Halmahera Tengah, Maluku Utara ada kematian mendadak.
“Pulang dari tempat kerja lalu tidur dan langsung meninggal. Ada yang bilang serangan jantung. Tapi kasus meninggal mendadak itu sering terjadi di Weda Bay di Halmahera,” ungkap Alfian.
Seperti IMIP di Morowali, IWIP di Halmahera Tengah juga dimiliki oleh investor dari Tiongkok, Tsingshan Holding Group.
Paparan Bahan Kimia dan Penyakit Akibat Kerja yang Ditimbulkan
Selain bahaya jam kerja, Sembada Bersama juga melihat ada bahaya kimia dari pengolahan nikel berupa asap (fumes) dan debu. Asap biasanya muncul dan memenuhi seluruh ruangan saat bijih nikel dilebur dalam furnace ore dan furnace di bagian stainless steel. Sementara debu dapat ditemukan di beberapa area/tempat kerja, seperti tempat penimbunan bijih nikel, area pengering dan tanur putar kiln elektrik dan juga di area stainless steel.
Kadar debu meningkat saat bijih dikeringkan dan suhunya dinaikkan di area pengering dan rotary kiln. Kadar debu makin meningkat ketika bijih ditumpahkan dari tanur putar dan diangkut ke electric furnace.
“Para pekerja di area-area ini, khususnya yang mengoperasikan derek pengangkat bilang jarak pandang mereka terbatas ketika debu muncul,” papar Alfian.
Hampir semua pekerja di bagian-bagian ini dilengkapi dengan respirator dan masker N95. Namun masker jumlahnya terbatas dan tidak terdistribusi dengan baik.
“Nah disini problemnya adalah debu banyak dan tidak terkontrol. Maskernya tidak cukup, ada yang selama 26 hari kerja cuma dapat 10 masker, ada yang cuma dapat 20 masker. Biasanya dikasih masker N95 dan respirator,” terang Alfian.

Selain jumlahnya terbatas, menurut buruh memakai masker dalam waktu 8 sampai 12 jam itu tidak nyaman karena panas dan gerah. Mereka juga bilang yang diperlukan adalah perusahaan mengontrol debu, bukan hanya buruh yang harus mengadalkan masker wajah.
Tempat kerja di area-area pembuatan stainless steel (baja tahan karat) juga sangat berdebu. Pengukuran udara di area ini menunjukkan indikator merah, dengan tingkat partikulat PM10 dan PM2.5 mikron yang tinggi. Diameter PM2.5 yang kecil memungkinkannya masuk ke dalam paru-paru mereka yang tidak memakai masker atau tidak memakai masker yang tepat.
Baca juga: Cerita Perempuan Terdampak Tambang Nikel: Sumber Penghidupan Hancur, Kesehatan Terancam
Alfian mengungkapkan sebuah penelitian menunjukkan masker N95 hanya 60 persen efektif terhadap PM2.5. Sementara buruh di area-area berdebu bilang mereka bekerja selama 12 jam per hari dan hanya beristirahat untuk makan atau ke toilet.
“Ini artinya mereka bekerja dengan mengalami paparan debu partikel kecil yang tinggi,” jelasnya.
Selain nikel, pemakaian batu bara sebagai bahan bakar utama untuk pembangkit listrik di IMIP juga menjadi sumber bahaya. Ada lebih dari 10 PLTU yang beroperasi di IMIP. Selain itu batu bara juga digunakan dalam proses peleburan untuk meningkatkan kadar nikel.
Sejauh ini belum ada pekerja yang didiagnosis menderita penyakit akibat kerja karena terpapar debu batu bara. Tetapi keluarga pekerja dan masyarakat yang tinggal di sekitar IMIP mengeluh dan protes atas debu batubara. IMIP punya beberapa penyimpanan batubara (coal storage) yang terletak dekat dengan desa-desa sekitar. Terdekat hanya berjarak 271 meter, dan terjauh berjarak 1,3 kilometer dari pemukiman masyarakat.
Alfian merasakan sendiri bagaimana debu batu bara membuat masyarakat di sekitar kawasan IMIP harus membersihkan rumah berulang kali.
“Saya pernah di bulan Juli 2024 masuk ke satu sekretariat Serikat Pekerja. Seorang anggota sedang menyapu, dia bilang, ‘Saya harus menyapu tiga kali sehari kalau nggak debu batu baranya menumpuk.’ Saya lihat memang banyak debu batu baranya di lantai,” papar Alfian.
Manajemen IMIP menanggapi protes masyarakat dengan membangun pagar tinggi di sekeliling tempat penyimpanan batu bara. Dan di salah satu tempat penyimpanan batubara juga dipasang kubah. Tetapi ini tidak membantu karena masyarakat masih tetap terpapar debu batu bara.
IMIP masih memakai asbes dalam proses produksinya meskipun produksi dan penggunaan asbes sudah dilarang di lebih dari 70 negara. Indonesia sendiri belum melarang penggunaan asbes. Menurut pekerja asbes dipakai di beberapa tempat kerja di IMIP, seperti di furnace (tungku) dan di pembangkit listrik.
Baca juga: City Car, Industri dan Kebijakan Pemerintah Bikin Udara Jakarta Buruk
Asbes digunakan untuk menutupi conveyor belt yang mengangkut batu bara dari pelabuhan ke setiap perusahaan atau ke area-area penampung batu bara. Asbes juga dipakai sebagai peredam panas di bagian furnace. Alfian juga menemukan iklan lowongan kerja untuk pemasangan asbes yang ditawarkan oleh perusahaan outsourcing untuk bekerja di area IMIP.
Bahan kimia lain yang dipakai di IMIP adalah belerang. Alfian memaparkan pekerja dan serikat buruh yang mereka temui mengatakan belerang digunakan di beberapa perusahaan seperti Ranger Nickel Industry (RNI), Tsingshan Stainless Steel (TSI) dan ITSS B. Ketiganya memproduksi feronikel dan nickel pig iron. Bau belerang yang menyengat dan kuat tidak hanya dirasakan di area furnace tetapi juga di tempat kerja di sekitarnya.
“Para buruh mengatakan nikel dengan kadar rendah ditaruh sulfur untuk meninggikan atau membuat kualitas nikelnya naik. Nah pakai sulfur ini bau dan bikin pusing sampai ada yang mau pingsan,” papar Alfian.
Pekerja dan serikat buruh sudah mengeluhkan bau belerang ini dan protes ke manajemen. Namun manajemen justru meresponsnya dengan menghukum buruh yang mengeluh tersebut.
“Pada Juli 2023, seorang buruh dan timnya diminta memperbaiki listrik di salah satu area furnace. Dia menolak karena tidak tahan dengan bau belerang. Menghirup bau belerang membuat jantungnya berdegup kencang dan nyaris membuatnya pingsan,” tutur Alfian.
Alih-alih mengiyakan permintaan buruh, manajemen justru kasih surat peringatan ke pekerja tersebut. Kasusnya kemudian dibela oleh salah satu serikat buruh dan hukumannya dikurangi. Padahal sebenarnya seorang pekerja punya hak untuk menolak pekerjaan yang dianggap berbahaya.
Paparan jangka panjang terhadap nikel dalam bentuk debu dan asap bisa menyebabkan asma (kronis), kanker dan bronkitis. Alfian mengatakan sebuah penelitian menunjukkan bijih nikel laterit yakni jenis bijih nikel yang diproses di IMIP mengandung debu silika. Paparan jangka panjang dari silika bisa menyebabkan penyakit pernapasan serta silikosis.
Baca juga: Petaka Bagi Warga, Perempuan Wadas Tolak Pembangunan Tambang Dan Bendungan
Sedang paparan debu batu bara dalam jangka waktu lama bisa mengakibatkan pneumoconiosis. Risiko debu batubara dan polutan lainnya dari kegiatan produksi IMIP sangat berbahaya, terutama PM2.5 karena dapat menembus masuk ke paru-paru. HIngga kini belum ada buruh yang didiagnosis menderita PAK ini.
Namun kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Kecamatan Bahodopi meningkat dari tahun ke tahun. Dari 10.237 kasus di tahun 2020 menjadi 20.508 kasus di tahun 2021. Lalu melonjak drastis menjadi 55.527 kasus di tahun 2023.
“Jumlah tersebut berdasarkan pada kasus bukan orang, artinya satu orang bisa kena dua atau tiga kali. Tapi ini menandakan kalau tidak ditangani dengan baik, ISPA bisa jadi persoalan serius,” ungkap Alfian.
Sementara itu, menghirup serat asbes dalam jangka panjang bisa menyebabkan penyakit asbestosis. Alfian mengungkapkan buruh-buruh yang diwawancarai tidak begitu tahu tentang penggunaan asbes dan risiko yang ditimbulkannya.
“Mereka terkejut ketika tahu kalau menghirup serat asbes dalam jangka waktu lama bisa terkena asbestosis, penyakit paru-paru kronis. Kalau tidak diobati, bisa mengakibatkan komplikasi pernapasan yang serius, termasuk fibrosis paru dan peningkatan risiko kanker paru-paru atau mesothelioma.”
Paparan sulfur atau belerang bisa mengiritasi dan menginfeksi saluran pernapasan, menyebabkan batuk, sekresi lendeir dan memperburuk kondisi seperti asma dan bronchitis kronis.
Sejauh ini pemeriksaan yang dilakukan perusahaan adalah medical check up tiap tahun. Itupun hanya pengecekan gula darah, hipertensi dan lainnya yang sama sekali tidak mendeteksi gejala penyakit akibat kerja.
Baca juga: Mengapa Para Perempuan Berani Hidup di Lingkar Tambang?
Temuan riset Sembada Bersama menunjukkan sudah ada gejala yang dialami pekerja tapi belum ada diagnosis yang serius terhadap penyakit akibat kerja.
“Pada bulan Juli 2024, kami menemani empat pekerja IMIP untuk menjalani pemeriksaan oleh dokter spesialis penyakit saluran pernafasan akibat kerja. Keempatnya sudah bekerja di IMIP sejak 2018. Gejala yang mereka derita adalah sesak napas saat tidur, bangun di pagi hari dengan sakit tenggorokan, sering batuk, dan perasaan seperti ada yang menusuk di dada saat bernapas.”
Pemeriksaan awal tersebut menunjukkan keempatnya menderita asma, yang kemungkinan akibat seringnya menghirup karbon monoksida dari peleburan bijih nikel.
“Jadi dokter yang mengecek empat orang pekerja di IMIP ini bilang perlu CT scan untuk melihat apakah asma ini bisa berkembang menjadi gejala yang lebih lanjut. Empat orang ini tanya, ‘Apakah ini asma dari kecil?’ Kata dokter bukan asma dari kecil, tapi kemungkinan karena kerja di smelter dan hirup karbon monoksida terus-menerus,” kata Alfian.
Panas, Bising dan Penyakit Akibat Kerja yang Muncul
Buruh-buruh sering melaporkan tempat kerja mereka sangat panas, seperti bagian furnace yang melebur bijih nikel dan bagian yang memproduksi baja. Suhu panas ini muncul dari peleburan bijih dan pencetakan baja.
Sebuah video promosi yang dirilis oleh IMIP berjudul “Pahlawan Keluarga di Tepi 1.500 Derajat Celcius” menunjukkan suhu rata-rata di dalam tungku mencapai 1.500°C. Panas yang sangat tinggi ini memancar ke area sekitarnya, dan pekerja lain di sekitar area furnace juga merasakan dampaknya.
“Kami meminta pekerja mengukur temperatur di tempat kerja. Di area pencetakan di sebuah perusahaan stainless steel menunjukkan suhu di sekitar moulding mencapai 42°C, dengan kelembaban 61 persen. Lebih dari 10 pekerja bekerja di area moulding ini selama satu shift kerja,” papar Alfian.

Suhu tersebut melebihi ambang batas panas yang disarankan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 13/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja. Menurut peraturan ini, pekerja disarankan untuk tidak bekerja lebih dari 25 persen dari total waktu kerja mereka di area yang suhunya melebihi 30°C dan beban kerjanya berat.
Pekerjaan di area furnace yang melebur ore dan moulding stainless steel dianggap berat oleh para pekerja. Pasalnya pekerjaan ini juga melibatkan tugas-tugas manual seperti menyekop ore yang jatuh, mengangkat karung berisi material nikel yang sudah diolah. Ini berarti, dalam 8 jam kerja per hari pekerja hanya boleh bekerja di area yang terpapar panas tinggi ini selama maksimal 2 jam.
Baca juga: Aksi Lilitkan Kain ke Pohon, Perempuan Wadon Wadas Tolak Tambang Andesit
“Beberapa buruh mengaku mereka menderita sakit kepala kronis dan sering mengonsumsi parasetamol. Mereka mengatakan ini sebagian karena dampak dari bekerja di tempat kerja yang temperaturnya panas,” papar Alfian.
Selain panas, bahaya fisika yang dirasakan buruh IMIP adalah kebisingan. Beberapa area kerja di IMIP memiliki tingkat kebisingan tinggi. Seperti di area dry and rotary kiln, ore furnace, pembangkit listrik, ruang penghancur batu bara, dan area stainless steel.
“Kami ukur di area penghancur batu bara, kebisingannya bisa sampai 100 desibel. Mesin ini beroperasi selama beberapa jam dan pekerja yang berada di situ terpapar bunyi berisik. Terus di area moulding baja itu kebisingannya mencapai 92 desibel. itu di atas toleransi manusia,” terang Alfian.
Lebih dari 12 pekerja terpapar kebisingan selama satu shift (8 jam) di area moulding ini. Mereka juga tidak disediakan penutup telinga oleh perusahaan sehingga banyak pekerja yang membeli penutup telinga sendiri.
Pekerja di PT GCNS (Guang Ching Nickel and Stainless Steel) yang bekerja dalam 8 jam 3 shift, bilang area produksi cukup bising. Meskipun mereka belum pernah mengukur tingkat kebisingannya. Buruh-buruh di ITSS B juga bilang tempat kerja mereka, terutama di furnace, bising ketika ada kegiatan peleburan bijih nikel. Mereka diberikan earplug (penyumbat telinga), tetapi suara bising masih terdengar.
“Masalah lain menurut pekerja kalau pakai earplug mereka tidak bisa mendengar teman yang bicara atau perintah dari supervisornya. Kalau ada keadaan darurat misalnya kebakaran mereka tidak bisa dengar peringatan bahaya karena pakai earplug. Jadi serba salah, pakai earplug nggak dengar sesuatu, nggak pakai earplug telinga tuli,” urai Alfian.
“Jadi menurut para buruh, kebisingan ini bukan hanya masalah earplug. Dia harus diatur sedemikian rupa supaya ambang batasnya turun. Harus ada rekayasa teknologi,” tambahnya.
Baca juga: Kupatan Kendeng: Mengurai Konflik Akibat Tambang dan Ajakan Menjaga Ibu Bumi
Peraturan Kementerian Tenaga Kerja No 13/2011 menetapkan batas toleransi desibel untuk 8 jam kerja per hari adalah 85 desibel. Tingkat kebisingan yang diukur di area penghancur batu bara dan area pencetakan melampaui jam kerja yang direkomendasikan oleh peraturan tersebut. Untuk tingkat kebisingan 92 desibel, paparan harian maksimum yang diizinkan di tempat kerja adalah 2 jam. Sementara untuk tingkat kebisingan 100 desibel atau lebih, paparan harian maksimum adalah 30 menit.
Penyakit akibat kerja dari bahaya fisika berupa panas adalah dalam jangka panjang, paparan panas akan memengaruhi kesehatan pekerja. Mengacu pada Administrator K3 Amerika Serikat (US OSHA) bekerja di bawah temperatur panas yang tinggi bisa menyebabkan berbagai kondisi berbahaya pada tubuh. Seperti heat stroke, kelelahan, kram, dan pingsan.
Sementara paparan suara keras dan bahan kimia ototoksik di tempat kerja dalam waktu lama menyebabkan kerusakan pendengaran, penurunan fungsi kognitif dan masalah jantung. Gangguan pendengaran dan tinnitus juga bisa berdampak pada kesehatan mental, yang dapat menyebabkan depresi, kecemasan, dan perasaan terisolasi dan sedih.
Sayangnya persoalan penyakit akibat kerja ini belum banyak dipahami oleh buruh. Mereka lebih memahami persoalan kecelakaan kerja karena tampak di depan mata dan bisa dilihat secara langsung. Karena itulah seperti diungkapkan Afdal dari Serikat Pekerja Industri Morowali (SPIM) buruh dan serikat pekerja lebih fokus pada persoalan K3.
Afdal menambahkan dari sejumlah diskusi yang digelar SPIM, terungkap para buruh baru tahu soal penyakit akibat kerja saat mengikuti diskusi.
“Hampir semua buruh belum memahami apa sih sebenarnya penyakit akibat kerja itu? Apa sumber bahayanya, apa potensi bahayanya dan apa dampaknya terhadap kesehatan buruh? Itu yang tidak dipahami. Dari 7 kali kami diskusi di sekretariat SPIM, terkait debu dan asap saja mereka baru memahami di saat kami diskusi itu. Ternyata dampak dari debu dan asap itu sangat berbahaya dan sifatnya jangka panjang. Nah ini yang terjadi,” jelas Afdal.
Kondisi Kerja Buruh Perempuan di Industri Nikel Morowali
Dari sekitar 80 ribu buruh di IMIP, jumlah buruh perempuan ada lebih dari 6.400 orang. Bisa dibilang jumlah pekerja perempuan di IMIP cukup signifikan. Sejauh ini, belum ada konsentrasi pekerja perempuan yang begitu tinggi di sektor pertambangan atau peleburan di Indonesia seperti di IMIP.
Sebagian besar buruh perempuan bekerja di control room dan admin. Ada juga yang bekerja sebagai operator alat berat. Pekerja perempuan seperti halnya pekerja laki-laki, juga bekerja pada shift malam.
Sementara ILO bilang meskipun di banyak negara diskriminasi gender di tempat kerja secara bertahap sudah dihapus, kerja shift malam masih diatur secara khusus bagi buruh perempuan. Ini berangkat dari kekhawatiran tentang potensi risiko kesehatan yang terkait dengan kerja malam, utamanya soal kesehatan reproduksi.
Mengharuskan perempuan bekerja pada shift malam akan meningkatkan risiko penyakit akibat kerja, juga kecelakaan, dan pelecehan seksual. Parahnya, di IMIP beberapa waktu lalu ada keputusan yang memerintahkan seorang pekerja yang sedang hamil untuk bekerja pada shift malam. Sebagaimana terjadi di PT Qing Feng Ferrochrome yang bertentangan dengan aturan UU Ketenagakerjaan.

Alfian menjelaskan manajemen IMIP mengeklaim mereka memberikan cuti melahirkan selama 5 bulan bagi pekerja yang hamil dan akan melahirkan. Namun, menurut serikat pekerja, hanya 3 bulan cuti yang diupah, sementara 2 bulan sisanya adalah cuti tidak berbayar.
Sebagian besar pekerja perempuan di IMIP tidak mengambil cuti haid. Pasalnya persyaratan dinilai rumit seperti harus memberikan pernyataan dari klinik IMIP bahwa mereka sedang haid.
“Kalau ambil cuti haid harus dengan surat dokter. Ini dirasa ribet,” kata Alfian.
Salah satu isu yang saat ini mempengaruhi pekerja perempuan adalah pelecehan seksual. Manajemen IMIP menyatakan mereka tidak menoleransi pelecehan seksual dan berkomitmen untuk melindungi pekerja perempuan.
Baca juga: Petani Merica Kirim Surat Pada Kaisar Jepang Hironomiya Naruhito: Kecewa dengan Tambang
“Dari 3 pekerja perempuan yang diwawancarai, mereka mengatakan pelecehan biasanya dalam bentuk catcalling dan sentuhan fisik. Pelecehan seksual sering terjadi di dalam bus yang penuh sesak atau saat menunggu bus di halte,” ungkap Alfian.
Menurut pekerja, meskipun IMIP menyediakan bus dari gerbang utama ke setiap perusahaan, mereka tidak mengatur ruang terpisah untuk laki-laki dan perempuan.
Sementara Jumisih dari Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia melihat ada 4 catatan terkait kondisi buruh perempuan Morowali. Pertama kesehatan reproduksi buruh perempuan belum terpenuhi. Pasalnya cuti haid dan cuti melahirkan masih jadi barang mewah bagi buruh perempuan di IMIP.
Selain jumlah APD masih minim, pada saat APD tersedia juga belum disesuaikan dengan kondisi buruh perempuan. Artinya kesehatan reproduksi buruh perempuan belum terjamin sehingga berpotensi memerosotkan standar kesehatan reproduksi buruh perempuan.
Kedua isu pelecehan dan kekerasan berbasis gender masih terus terjadi dan berpotensi terus terjadi dengan kondisi kerja yang seperti sekarang. Ketiga kesehatan mental buruh perempuan juga tidak atau belum mendapat perhatian dari serikat buruh maupun dari pemerintah setempat. Padahal dalam situasi kerja seperti dipaparkan sebelumnya, sangat berpotensi membuat kesehatan mental pekerja jadi rentan. Misalnya bisa stres, panik, cemas dan seterusnya.
Baca juga: Perempuan Petani di Lingkar Tambang Berdaya di Pasar Garasi Pemulihan
Keempat fasilitas klinik kesehatan belum memadahi, Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3) belum tersedia dan standar gizi belum terpenuhi. RP3 ini bisa jadi tempat bagi buruh perempuan untuk mengadu. Termasuk juga melakukan upaya-upaya preventif bahkan penanganan terhadap berbagai macam kasus yang terjadi terhadap buruh perempuan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pembuktian penyakit akibat kerja. Pertama ada kendala yang kita sama sama tahu bahwa PAK itu baru akan timbul dalam jangka waktu yang panjang.
“Jadi kalau misalnya saat ini teman-teman belum merasakan sakit atau mungkin sudah merasakan sakit tetapi tidak terasa gitu. Itu ada situasi dimana dalam jangka waktu tertentu, misalnya sepuluh tahun itu baru kerasa, misalnya pinggang sakit, paru-paru, misalnya bronkitis atau asma bahkan kanker, asbestosis dan lain lain,” terang Jumisih.
Kemudian tantangan yang kedua, pada saat kita mau melakukan pembuktian PAK dibutuhkan fasilitas yang memadai. Fasilitas yang memadai itu berupa alat dan tentu saja ini akan membutuhkan biaya yang cukup besar. Ini membuat pengusaha harus merogoh koceknya.
Tantangan ketiga adalah kasus PAK dan kasus kecelakaan kerja dianggap berdampak buruk pada citra perusahaan. Karena itu kalau perusahaan menemukan indikasi adanya kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja, justru malah ditutup-tutupi demi menjaga nama baik perusahaan.
Makanan dan Toilet Tak Layak Serta Layanan Klinik Buruk
Terdapat faktor lain yang berpengaruh pada kesehatan pekerja yakni makanan dan kondisi toilet.
IMIP memiliki dua kantin utama: satu untuk pekerja China dan satu lagi untuk pekerja Indonesia. Kedua kantin terletak dekat kantor manajemen. Tidak semua pekerja bisa makan di kantin karena lokasinya yang jauh dari sebagian besar lokasi kerja.
Para buruh biasanya makan di kontainer atau di mana saja di sekitar tempat kerja. Hanya mereka yang lokasi kerjanya dekat dengan kantor manajemen saja yang bisa makan di kantin. IMIP menyediakan satu kali makan per shift.
Buruh Indonesia bilang kualitas makanan yang disediakan untuk buruh China lebih baik daripada buat mereka. Tetapi ini pernah dibantah oleh staf media relations IMIP, yang bilang kualitas makanan untuk semua pekerja sama. Harga seporsi makanan yang disediakan IMIP adalah 18 ribu Rupiah. Pada tahun 2023, beberapa serikat pekerja sudah minta manajemen untuk menaikkan harga seporsi makanan menjadi 23 ribu Rupiah dengan menambah variasi lauk dan buah-buahan.
Buruh Indonesia juga sering bilang hanya nasi yang enak, sedang sayuran dan lauk (ikan atau ayam) sering kali hambar. Akibatnya, banyak pekerja yang lebih memilih membawa makanan sendiri dari rumah.
“Pada Agustus 2023, seorang pekerja di-PHK karena membagikan video yang menunjukkan ada ulat di dalam jatah makanan yang diambil dari kantin IMIP,” ungkap Alfian.
Terkait toilet ada sejumlah keluhan buruh terhadap fasilitas ini. Jumlah toilet yang tersedia terlalu sedikit dibandingkan jumlah pekerja, airnya tidak bersih, dan letaknya sering kali jauh dari tempat kerja. Pekerja di area furnace yang berada di lantai atas harus turun ke bawah jika ingin ke toilet dan harus melewati area pengelasan dan percikan api.
Baca juga: Vagina Perempuan Gatal Ketika Menstruasi Karena Air Sumur Kotor Akibat Tambang
Meskipun ada toilet terpisah untuk laki-laki dan perempuan, toilet tidak memiliki pintu. Beberapa pekerja bilang ada sebuah lokasi kerja yang dinamakan gudang, lokasi kerja panjangnya hampir 1 kilometer, di sini ada 400 pekerja tapi hanya memiliki 3 toilet.
“Seorang pekerja di area stainless steel di GCNS mengatakan ada lebih dari 100 pekerja di area ini dan ada 10 toilet yang disediakan. Itupun kondisi toilet kotor dengan air yang keruh. Beberapa tempat kerja bahkan tidak memiliki toilet, sehingga para pekerja buang air kecil dan besar sembarangan di sekitar area kerja.”

Kurangnya toilet dan air bersih berdampak kepada kesehatan semua pekerja, terutama buruh perempuan. Serikat-serikat buruh sudah sering menyerukan perbaikan toilet dan penyediaan air bersih, tapi hanya sedikit perusahaan yang menyetujuinya.
Sementara terkait klinik kesehatan, ada dua klinik di IMIP. Klinik pertama terletak di dekat gerbang utama IMIP, sementara klinik kedua terletak lebih jauh di dalam kompleks IMIP. Klinik pertama adalah klinik yang sering dikunjungi para pekerja dan keluarganya.
Penyakit yang paling sering dilaporkan di klinik ini adalah flu, diare, dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Para pekerja sering mengkritik buruknya pelayanan di klinik IMIP, terutama karena jumlah pasien yang terlalu banyak. IMIP membatasi jumlah pengunjung sebanyak 540 orang per hari, tapi kuota ini tidak cukup karena lebih banyak pekerja dan keluarganya yang datang ke klinik.
Baca juga: Film “City of Joy”: Hanya Demi Tambang Emas, Para Perempuan Kongo Diperkosa Massal
Karena tingginya jumlah pengunjung dan waktu tunggu yang lama, banyak pekerja yang memilih untuk mengunjungi klinik di luar area IMIP. Namun, jika pekerja sakit dan ingin mengajukan cuti, manajemen IMIP hanya akan mengabulkannya jika ada surat keterangan sakit dari klinik IMIP. Sedang surat keterangan sakit dari klinik lain dianggap tidak sah.
Buruh merasa peraturan ini memberatkan karena tidak semua dari mereka tinggal di dekat area IMIP, dan beberapa dari mereka secara fisik tidak dapat pergi ke klinik IMIP. Dalam keadaan darurat, klinik IMIP merujuk pasien ke RSUD Bungku, yang jaraknya lebih dari 60 kilometer dan membutuhkan waktu tempuh rata-rata 1,5 hingga 2 jam dengan mobil.
Salah satu contoh paling kritis dari kekurangan peralatan di klinik klinik IMIP adalah saat ledakan pada 24 Desember 2023 di PT ITSS. Saat itu, 59 korban yang mengalami kebakaran tidak dapat ditampung dengan baik di dua klinik IMIP, beberapa terpaksa tidur di lantai dan di tempat parkir klinik karena kekurangan tempat tidur. Klinik IMIP juga kekurangan ambulans, yang akhirnya membuat korban luka bakar tertunda dibawa ke RSUD Bungku.
Awal tahun ini, IMIP kabarnya sudah membangun rumah sakit dan menyerahkan pengelolaannya ke pemerintah kabupaten Morowali. Namun, tampaknya keberadaan rumah sakit ini belum menghasilkan perubahan berarti, karena sebagian besar pekerja masih terus mengunjungi klinik IMIP dan tetap protes terhadap layanan klinik-klinik IMIP yang buruk.
Tak Bisa Hanya Perbaikan Teknis Karena Menyangkut Masalah Ekonomi-Politik
Alfian menegaskan temuan riset Sembada Bersama menunjukkan sebagian besar pekerja di bagian produksi mengalami jam kerja panjang dan dengan kondisi kerja yang berbahaya. Hal ini meningkatkan risiko penyakit akibat kerja.
Mereka juga berpendapat IMIP secara jelas melanggar banyak standar K3 yang telah diatur Pemerintah Indonesia. Misalnya soal ambang batas panas, ambang batas bising, dan rasio toilet. IMIP juga melanggar standar internasional, seperti jam kerja panjang dan penggunaan Asbestos.
Berbagai pelanggaran atas K3 ini sudah berlangsung semenjak IMIP beroperasi pada 2015 hingga sekarang. Artinya sudah hampir 10 tahun tetapi tidak ada pengawasan yang berarti dari pemerintah sehingga tidak ada perubahan.
“jadi kemungkinan tahun depan kondisinya masih sama seperti ini. Masih ada kondisi kerja dengan situasi panas, paparan bahaya Kimia, dan bahaya Fisika. Tahun depan kecelakaan kerja juga masih akan terus terjadi di IMIP karena tidak ada yang berubah,” tegas Alfian.
Sementara ketiadaan diagnosis PAK menyebabkan korban tidak diketahui. Hal ini menunjukkan tidak adanya pengakuan tentang PAK. Ketiadaan pengakuan menyebabkan tidak munculnya berbagai upaya dan mekanisme pencegahan yang lebih baik.
Baca juga: Air Sumur Tak Bisa Diminum, Sawah Kena Abu: Perempuan Tani Indramayu Hidup Sengsara Akibat PLTU
Sembada Bersama melihat standar K3 yang buruk di IMIP bukan sekadar urusan teknis yang bisa diperbaiki dengan memperbaiki tata kelola korporasi atau memperbanyak sertifikasi K3.
Sebaliknya Alfian menegaskan K3 di IMIP adalah masalah ekonomi-politik. Ini didasari argumen bahwa pertama IMIP dan kawasan smelters sebagian besar adalah proyek strategis nasional (PSN). Kedua, IMIP dikontrol langsung oleh pemerintah pusat yang bisa memotong kewenangan baik penegakan hukum perburuhan maupun pengawasan ketenagakerjaan yang berlangsung di tingkat lokal.
Regulasi pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia dulu ada di kabupaten, tapi kemudian dinaikkan ke provinsi. Namun pengawas provinsi ini tinggalnya di Palu yang jaraknya 15 jam dari Morowali. Karena itu jadi pertanyaan bagaimana dia bisa datang tiap hari untuk mengawasi situasi K3 dan situasi penyakit akibat kerja? Belum lagi jumlah pengawasnya terbatas.
“Kalaupun pengawas datang, dia harus melapor dulu ke IMIP. Dengan kondisi seperti ini maka tidak ada lagi pengawasan yang benar,” ujar Alfian.
Selain itu dengan posisi IMIP sebagai PSN, bukan hanya pengawas daerah yang tidak bisa datang sewaktu-waktu, pengawas pusat dari kementerian pun mengalami hal serupa.
Foto cover: YouTube IMIP