Masyarakat gila bola merupakan sebutan yang khas bagi masyarakat Indonesia, bagaimana tidak?
Setiap pekannya di sudut-sudut kota, gang-gang jalanan bahkan di warung kopi dengan harga rendah sampai kedai-kedai yang high class pun tak lepas dari tradisi yang kerap disebut nobar atau nonton bareng tim-tim lokal kebanggaan kotanya. Namun, apakah euforia sepakbola ini juga dinikmati oleh para perempuan?
Sepakbola dalam masyarakat kita memang dinikmati sebagai hiburan yang tak lepas dari kehidupan sehari-hari mereka. Sebut saja perayaan kemerdekaan yang selalu diisi dengan pertandingan antar kampung atau bahkan pertandingan persahabatan yang dilaksanakan sebagai bentuk tasyakur (syukuran). Sepakbola dan masyarakat yang laki-laki bagaikan air dicencang tiada putus, tak bisa dipisahkan. Kenapa laki-laki? Karena mayoritas pemain, penonton sampai pengurus bola biasanya adalah laki-laki. Kehadiran perempuan sangat minim di olahraga ini.
Sebagai seorang penggemar sepakbola lokal yang kerap kali menonton lanjutan pertandingan liga nasional dan berkawan dengan para pendukung (supporter), tampaknya pembicaraan mengenai si kulit bundar bola ini, merupakan pembahasan yang selalu hangat dibicarakan. Seperti rivalitas antar tim, kontroversi wasit, atau performa pemain serta bursa transfer pemain lokal dan asing yang selalu mengisi ruang pembicaraan pada penggemar sikulit bundar. Namun, ada yang berbeda ketika mengaitkan sepakbola pada pesan-pesan perjuangan gender.
Ada sekelompok anak muda yang tergabung dalam Komunitas T-Village Womens Football yang kemudian menyelenggarakan pertandingan sepakbola perempuan. Mereka berasal dari beberapa latar belakang yang berbeda mulai dari mahasiswa, kelas pekerja, pegawai kantoran, guru. Mereka sama-sama melepaskan atribut keprofesian mereka dalam rangka menyelenggarakan rangkaian kegiatan “sepakbola perempuan”. Ya, sepakbola Perempuan yang istilahnya tak begitu sebesar euphoria lainnya.
Baca juga: 5 Penyebab Sepakbola Perempuan Masih Terpinggirkan
T-Village Womens Football adalah sebuah komunitas yang menyelenggarakan sepakbola perempuan yang pesertanya dari berbagai daerah turut berpartisipasi mengikuti kegiatan ini. Di bulan November 2024, total peserta perempuan mencapai 1.124 orang
Sekilas, antusiasme ini seolah menunjukkan bahwa sepak bola perempuan akhirnya “berhasil” dan mengejar ketertinggalannya dari sepakbola laki-laki. Namun realitasnya, masih ada sederet persoalan yang menghambat sepakbola perempuan termasuk menjawab: kenapa sepakbola perempuan kurang populer dan masih terpinggirkan?

The Conversation pernah menuliskan, sepakbola memang secara tradisional dipandang sebagai ‘Klub bapak-bapak’. Ini dikarenakan struktur administrasi yang pengelolaannya mayoritas adalah jaringan laki-laki yang biasanya elit dan super kaya.
Sepak bola masih dianggap sebagai olahraga maskulin sampai-sampai saat ada perempuan jadi suporter maupun pemain kerap dipandang sebelah mata bahkan dilecehkan. Padahal itu semua jauh dari nilai-nilai sepak bola dan melanggengkan stereotipe. Tak sedikit konten nyinyir dan misoginis berseliweran di media sosial. Para suporter laki-laki menyampaikan ketidaksukaannya pada suporter “dadakan” yang didominasi perempuan dalam sebuah pertandingan olahraga. Mereka disebut tidak mengerti tentang dunia sepak bola dan hanya ikut-ikutan alias fear of missing out (FOMO).
Frasa “ultras seblak” juga banyak digunakan untuk menggambarkan fenomena suporter perempuan. Mereka disebut hanya mendukung pemain yang memiliki paras tampan dan tidak mengerti pertandingan. Bahkan dianggap menyalahi aturan tidak tertulis para suporter sepak bola.
Stereotipe tersebut berujung pada penghinaan dan pelecehan terhadap perempuan yang tentu saja melenceng jauh dari topik utama tentang sepak bola. Padahal, sepak bola dikenal sebagai olahraga merakyat yang bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang latar belakangnya.
Baca juga: Guyonan Misoginis Komentator Sepakbola, Apa yang Seharusnya Dilakukan?
Dunia persepakbolaan dan piala dunia yang masih begitu maskulin, menimbulkan satu dampak yang tak bisa disepelekan. Salah satunya, anggapan bahwa perempuan itu bisa jadi objek pelecehan dan kekerasan seksual.
Tak sedikit pertandingan sepakbola yang mengharuskan penggemarnya untuk begadang atau nonton pertandingan sampai larut malam. Namun di masyarakat patriarki yang mengekang perempuan, hal tersebut bisa jadi stereotip yang menimpa para penggemar perempuan.
Perempuan yang begadang nonton bola, dianggap bisa terganggu kesehatannya. Situasi ini, ada yang menghubung-hubungkannya dengan gangguan reproduksi berupa ketidaksuburan. Di tengah masyarakat patriarki yang mengekspektasikan perempuan untuk “subur” demi meneruskan keturunan, ini jadi masalah.
Belum lagi, stereotipe perempuan yang sering pulang larut malam dan keluar malam, juga dianggap sebagai perempuan “nakal” dan tidak baik-baik. Makanya, seringkali disebut bahwa perempuan tak pantas keluar rumah hingga malam atau larut. Ini jelas sebagai stereotip patriarki yang menganggap perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Sehingga, laki-laki bisa melakukan kuasa terhadap mereka termasuk melakukan pelecehan dan kekerasan.

Lalu bagaimana perjalanan kegiatan sepakbola perempuan yang kemudian diinisiasi oleh Komunitas T-Village Womens Football yang berhasil mengumpulkan para perempuan ini?
Semenjak pendirian dan kegiatan pertamanya, para pemuda di Tasikmalaya yang diinisiasi oleh Sarief Saefulloh awalnya berkumpul untuk membahas mengenai sepakbola perempuan. Selain untuk mengonsolidasi para pegiat-pegiat olahraga di Tasikmalaya seperti Igornas (Ikatan Guru Olahraga). Akhirnya bisa memulai langkahnya di tahun pertama. Saya pun sebagai anak muda yang tergabung dalam susunan penyelenggara, tak menduga soal kehadiran tim dan pemain yang akan begitu antusias.
Baca juga: Saat Perempuan Jadi Suporter Sepak Bola: Dianggap Ikut-Ikutan, Direndahkan dan Dilecehkan
Di tahun pertama, total lebih dari 700 atlet sepakbola perempuan di Tasikmalaya berbondong-bondong memainkan boa. Sungguh pemandangan yang menarik, banyak dari atlet-atlet yang belum memahami rule of game, terlepas dalam tahun pertama kegiatan diperuntukan untuk kategori usia U-10, U-12 dan U-15 tahun.
Dalam tahun kedua, para pemuda-pemudi yang tergabung dalam T-Village Womens Football ini kembali mengadakan perayaan sepakbola perempuan. Kali ini mereka menyepakati bahwa kategori usia yang dilibatkan dalam rangkaian kegiatan sepakbola perempuan di tahun 2024 ini adalah kategori U-12, U-15, dan U-17. Sebuah pembaharuan konsep yang dipikirkan matang-matang.
Pergelaran sepakbola Perempuan T-Village Womens Football Ke-2 pun tuntas dilaksanakan, T-Village Women’s Football Cup II yang diselenggarakan pada tahun 2024 telah berhasil menarik perhatian ribuan atlet sepak bola perempuan dari berbagai daerah di wilayah Priangan Timur. Kompetisi yang digelar pada tanggal 2, 3, dan 9 November 2024 ini diselenggarakan di tiga lokasi berbeda, yaitu Stadion Brigif, Windiff, dan Stadion Wiradadaha dengan slogan “Sepakbola Wanita Bangkit, Setara dan Progresif”.
Dalam tiga kategori usia yang bermain dalam rangkaian T-Village Womens Football ini berhasil memikat peserta dengan jumlah atlet sepakbola yang sangat mengesankan, yaitu sebanyak 1.124 atlet perempuan dari 70 tim yang berpartisipasi. Peserta yang turut serta datang dari berbagai daerah seperti Kota Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Banjar, serta daerah sekitarnya, menunjukkan bahwa antusiasme terhadap sepak bola perempuan semakin meluas.

Tujuan utama dari penyelenggaraan Women’s Football Cup ini adalah untuk menumbuhkan kecintaan dan semangat generasi muda perempuan terhadap sepak bola.
“Acara ini merupakan ajang bagi atlet perempuan untuk menunjukkan bakat dan kemampuan mereka dalam sepak bola. Selain itu, melalui turnamen ini, kami ingin membuktikan bahwa sepak bola bukan hanya milik laki-laki, namun juga milik perempuan yang memiliki kemampuan setara dalam olahraga ini,” kata Sarief Saefulloh.
Baca juga: Sebagai Mantan Atlet, Saya Kecewa Olahraga Berprestasi Tidak Masuk dalam Debat Capres
Ia juga menambahkan bahwa T-Village Women’s Football Cup adalah bagian dari komitmen T-Village untuk memajukan sepak bola perempuan di Indonesia. Harapan dapat melahirkan talenta-talenta sepak bola wanita yang berpotensi menjadi pemain profesional di masa depan.
“Melihat jumlah peserta yang datang dari berbagai daerah, kami semakin yakin bahwa antusiasme masyarakat terhadap sepak bola wanita sangat besar. Kami berharap ajang ini bisa terus menjadi platform yang mendukung perkembangan pesepak bola wanita di tanah air.”
Dengan semangat dan antusiasme yang tinggi, T-Village Women’s Football Cup II tidak hanya menjadi ajang kompetisi semata, tetapi juga menjadi momentum penting bagi kebangkitan dan kemajuan sepak bola perempuan di Indonesia. Sepak bola perempuan kini semakin mendapat tempat di hati masyarakat, dan dengan dukungan berbagai pihak, olahraga ini diyakini akan terus berkembang pesat, membuka peluang bagi lebih banyak perempuan untuk mengejar impian mereka di dunia sepak bola.
Satu hal lagi yang unik, dalam abroad yang tertulis di pinggir lapangan dengan cetakan banner berukuran sekitar satu kali tiga meter yang kerap kali ditempa angin itu tertulis dalam bahasa Sunda frasa “Wanoja Priangan Maen Bal”. Artinya, Perempuan Priangan Bermain Bola.
Istilah yang amat menarik dan tepat dalam leksikon Bahasa sunda dengan term “wanoja” yang menggambarkan perempuan Sunda dengan kepribadian mandiri dan punya kepentingan tersendiri di ranah publik.
Vive Le Football Feminin, Tumbuh suburlah Sepakbola Perempuan!
Foto: koleksi pribadi penulis