Suara Ibu Dari Anak Dengan Epilepsi: “Negara Harus Beri Perlindungan dan Dukungan”

Indonesia sudah punya UU Disabilitas dan UU KIA yang bisa jadi payung hukum bagi ibu dan anak dengan epilepsi. Namun keduanya masih menggantungkan peran pengasuhan pada ibu sehingga beban pengasuhan timpang.

Menjadi ibu dari anak dengan epilepsi bukanlah perkara mudah. Di satu sisi stigma negatif terhadap orang dengan epilepsi masih tinggi. Pengetahuan tentang epilepsi belum merata di masyarakat.

Di sisi lain pengasuhan anak hanya dibebankan pada perempuan karena peran gender yang dilekatkan sebagai penanggung jawab pekerjaan domestik. Sementara pengasuhan anak dengan epilepsi membutuhkan perhatian khusus. Akibatnya beban yang ditanggung ibu dengan anak epilepsi jadi berlipat-lipat. Seperti dituturkan para ibu dari anak dengan epilepsi,

“Anak saya setahun sampai 4 kali masuk RS, bapaknya tak peduli. Gak bisa kerja karena anak ga bisa ditinggal. BPJS gratis tapi biaya ke RS gimana?” ungkap seorang ibu (Y).

Bahkan ibu juga yang disalahkan karena kondisi yang terjadi pada sang anak. Seperti dialami seorang ibu (R).

“Suami sering marah dan memaki saya, menyalahkan karena anak kondisinya begitu,” ujarnya.

Terkunci dalam ruangan gelap adalah metafora yang dipakai Melky Oktav untuk menggambarkan situasi yang dialami orang dengan epilepsi dan orang tua dari anak dengan epilepsi. Melky adalah orang dengan epilepsi (ODE) sekaligus aktivis Komunitas Epilepsi Indonesia.

“Apa yang akan Anda lakukan jika terkunci dalam ruangan gelap? Memilih diam berharap bantuan, menyalahkan diri, atau mencari cara membuka pintu?” ungkap Melky.

“Ketika menerima vonis, hidup seolah gelap gulita. Jalan yang tepat adalah pergunakan energi dan pikiran untuk berusaha keluar dari kegelapan itu!” ujarnya.

Sebenarnya Apa Sih Epilepsi Itu?

Anak dengan epilepsi seperti halnya fenomena gunung es, karena jumlah sesungguhnya jauh lebih banyak dibandingkan yang terdata. Epilepsi biasanya disebut sebagai ‘ayan’ atau ‘sawan’, sering kali mendapat stigma negatif dan dikucilkan sehingga tak banyak yang mengaku.

Epilepsi termasuk kategori gangguan neurologis yang paling banyak terjadi, ditandai dengan adanya kejang yang bervariasi. Penyebab epilepsi yakni kelainan otak, genetika, gangguan metabolik, dan lainnya1.

Kejadian epilepsi di Indonesia terbilang tinggi. Jika jumlah penduduk Indonesia sekitar 230 juta, diperkirakan masih ada 1,8 juta pasien epilepsi yang butuh pengobatan2. Data RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan sepanjang 2020-2022, sebanyak 40 persen pasien poliklinik neurologi anak adalah penderita epilepsi. Artinya, epilepsi banyak diderita oleh bayi dan anak.

Risiko kematian dini pada penderita mencapai tiga kali lipat, tapi pengobatan masih sulit diakses. Kejang jadi tak terkontrol dan membebani baik anak maupun pengasuhnya3. Anak dengan epilepsi pun rentan dengan permasalahan perkembangan seperti keterlambatan bicara, berjalan, berpikir, serta problem lainnya. Tentu ini bisa dapat menghambat cita-cita Indonesia Emas 2045.

Idealnya, kondisi ini membutuhkan kerja sama antara ibu dan ayah. Akan tetapi, hanya ibu yang kerap menanggung sekaligus disalahkan atas kondisi anak bahkan oleh suaminya sendiri.

Tak jarang ibu rentan kehilangan pekerjaan akibat terlalu sering mengajukan izin sebagai dampak epilepsi yang sulit diprediksi. Terutama pada anak usia dini. Lalu dimanakah perlindungan untuk ibu?

Akses Obat dan Dokter Saraf Sulit

Sejatinya, negara melalui DPR RI belum lama ini mengesahkan UU No 4/2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1000 Hari Pertama Kehidupan (UU KIA). Tak hanya itu, Indonesia punya UU No 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Sebagai seorang ibu yang memiliki anak dengan epilepsi, saya sangat mengapresiasi kedua undang-undang ini. Pasalnya aturan tersebut menunjukkan komitmen negara dalam melindungi hak dan kesejahteraan ibu. Meski begitu, saya secara khusus ingin menyoroti kondisi yang dialami oleh ibu dengan anak penyandang epilepsi. Mengapa?

Karena epilepsi tak cocok dengan berbagai gagasan disabilitas yang ada dalam wacana populer. Akibatnya penyandang epilepsi tak ayal menghadapi kesulitan, harus disebut sebagai disabilitas atau tidak?

Di sisi lain, penting mendukung epilepsi sebagai salah satu disabilitas neurologis karena hak kelompok disabilitas atas pendidikan dilindungi oleh UU dan peraturan. Saat saya menemukan bahwa bayi saya adalah penyandang disabilitas, saya sempat terjebak dalam ruang gelap yang terkunci. Seperti metafora yang dipakai Melky.

Kondisi tersebut mengantarkan saya pada dunia epilepsi yang kompleks dan rentan diskriminasi. Hingga akhirnya saya bergabung di Komunitas Epilepsi Indonesia (KEI), wadah berbagi pengalaman dan dukungan. Komunitas ini memiliki grup di aplikasi WhatsApp (sebanyak 880 anggota) dan media sosial Instagram (2.886 pengikut). Anggotanya terdiri dari ODE dan pengasuh ADE dari berbagai wilayah di Indonesia.

Melky Oktav sebagai aktivis KEI berbagi pengalaman selaku penyandang epilepsi sekaligus pendamping para ODE yang mengalami stigma dan kesulitan akses pengobatan. Khususnya mereka yang berasal dari kelas menengah ke bawah.

Obat epilepsi sering kali mahal hingga tak ditanggung BPJS seutuhnya. Melky mengaku sudah menempuh berbagai cara untuk merangkul negara. Seperti bersurat pada Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial setempat, tapi ia justru “dipingpong”. Bisa jadi karena pemerintah kebingungan mengidentifikasi epilepsi sebagai disabilitas atau penyakit sehingga mengaburkan penanggungjawab kondisi ini.

Baca juga: 5 Alasan Kenapa RUU KIA Dianggap Problematik

Melky juga pernah bersurat kepada Menteri Sosial pada periode 2019-2024 untuk meminta bantuan pengobatan 75 pasien epilepsi yang untungnya berhasil. Tapi tentu tak cukup hanya sampai di situ bukan?

“Saya minta dukungan pemerintah supaya obat tetap ada, karena kalau nggak makan obat kumat (kejang). Sulit mencerdaskan kehidupan bangsa kalau yang epilepsi kumat terus, berpengaruh ke otak.” ungkap Melky.

Kelangkaan obat memang sering terjadi, terutama jenis phenobarbital. Pantauan langsung saya ke berbagai apotek selama tiga tahun belakangan menemukan kalau phenobarbital sering kosong distributor yang tidak bisa diperkirakan kapan tersedianya. Ini terjadi di kota Jakarta, bagaimana kondisi di daerah?

Padahal, obat ini mendasar, murah, dan mudah dikonsumsi. Selain menyoal obat, kelangkaan dokter saraf juga menjadi keluhan utama.

“Daerah pedalaman, atau yang jauh seperti di Papua, NTT, NTB, dan di pulau terpencil masih sulit cari dokter saraf,” imbuhnya.


Komunitas lainnya yaitu Ruang Peduli Epilepsi Anak Indonesia (RPEAI), pernah berupaya memviralkan tagar #IndonesiaDaruratDokterSaraf. Pasalnya dari puluhan ribu anak dengan epilepsi, hanya ada 92 dokter spesialis saraf anak. Tentu kondisi ini tak bisa diabaikan karena risiko terberatnya adalah kematian.

Mendorong Kebijakan yang Berpihak pada Ibu dari Anak dengan Epilepsi

Di tengah kondisi sulitnya pengobatan anak dengan epilepsi, ibu menjadi sosok yang paling disudutkan. Karenanya, saya hendak mengkritisi UU KIA dan UU Disabilitas mengunakan perspektif Feminist Legal Theory (FLT). Perspektif ini mengajak untuk mengawal agar hukum bisa lebih berpihak pada perempuan dan kelompok rentan seperti disabilitas.

Alih-alih memberikan dukungan, kebijakan yang ada banyak menggantungkan peran pengasuhan pada ibu sehingga beban pengasuhan timpang. Kedua undang-undang tersebut menjadi penting untuk dibahas karena merupakan payung hukum utama untuk ibu dan anak penyandang epilepsi berdasarkan refleksi saya dari pengalaman pribadi, wawancara, dan observasi. Bagaimanapun, saya percaya bahwa masih ada ruang untuk meningkatkan kebijakan ini.


Hukum harus mengakui kesulitan yang dialami ibu dari anak dengan disabilitas5. Ketiadaan dukungan khusus membuat ibu harus menanggung beban finansial, fisik, dan emosional sendiri6. UU KIA belum mendistribusikan beban pengasuhan secara seimbang antara ibu dan ayah, sebaliknya menitikberatkan peran pengasuhan sebagai tugas alamiah ibu.

Selain itu UU KIA saat ini juga lebih fokus pada ibu yang bekerja di sektor formal. Beleid ini belum mencakup ibu yang bekerja di sektor informal dan yang melakukan kerja perawatan yang tak kalah penting

Antrean ke Dokter Saraf di Salah Satu RS Jabodetabek (sumber: dok. pribadi)

UU Penyandang Disabilitas memuat hak-hak dasar penyandang disabilitas, tapi implementasinya harus diperkuat. Terutama dalam memastikan akses layanan kesehatan yang merata dan inklusif7. Ibu dari anak dengan epilepsi masih menghadapi kendala dalam mengakses layanan kesehatan dan pengobatan mulai dari obat hingga terapi rutin yang dibutuhkan anak. Seperti fisioterapi, terapi wicara, dan terapi okupasi. Terapi ini biasanya hanya tersedia di RS dan klinik perkotaan, sehingga, ibu dan anak dari keluarga menengah ke bawah kesulitan.

Baca juga: Jangan Abaikan Masyarakat Disabilitas dalam Penyusunan Aturan Turunan UU TPKS

Lebih lanjut, UU Penyandang Disabilitas perlu memasukkan gangguan neurologis seperti epilepsi sebagai variasi disabilitas. Berkaca pada Undang-Undang Disabilitas Amerika, epilepsi diakui sebagai disabilitas sehingga penyandangnya bisa mendapatkan manfaat layanan kesehatan secara spesifik. Termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sangat penting untuk kemandirian mereka ke depan.

Diperlukan koordinasi antara berbagai lembaga pemerintah, LSM, dan organisasi penyandang disabilitas untuk memastikan kebijakan yang dirumuskan bisa diterapkan dengan inklusif dan efektif. Termasuk, menyediakan dukungan ekonomi bagi ibu yang terpaksa meninggalkan pekerjaan mereka untuk merawat anak dengan kebutuhan khusus.

UU KIA juga perlu secara eksplisit mendorong peran ayah dalam pengasuhan, terutama menyinggung anak dengan kondisi khusus. Melalui beberapa penyesuaian, UU KIA dan UU Disabilitas akan dapat lebih mencerminkan kebutuhan nyata keluarga di Indonesia dan memastikan kesejahteraan bagi ibu dan anak tanpa terkecuali.

Kami memanggil negara untuk memberikan perlindungan dan dukungan atas kesulitan ibu dari anak dengan epilepsi maupun disabilitas lainnya. Penting untuk menyadari bahwa setiap orang punya peluang untuk menjadi penyandang disabilitas karena berbagai faktor walaupun terlahir sebagai non disabilitas. Karena itu kita tidak boleh menutup mata akan kondisi ini. Salam inklusivitas!

Referensi

1. Scheffer, Ingrid E., et al. “ILAE classification of the epilepsies: Position paper of the ILAE Commission for Classification and Terminology.” Epilepsia (2017): 1–10, doi: 10.1111/epi.13709.

2. WHO. Epilepsy: a public health imperative. Geneva: World Health Organization, 2019.

3. Gaudecker, Jane R. von, et al. “Living in the Epilepsy Treatment Gap in Rural South India: A Focused Ethnography of Women and Problems Associated with Stigma.” Health Care for Women International 38. 7 (2017): 753–764, doi.org/10.1080/07399332.2017.1321000.

4. Fineman, Martha Albertson. “The Vulnerable Subject: Anchoring Equality in the Human Condition”. Yale Journal of Law & Feminism 20. 1 (2008): 1-23.

5. MacKinnon, Catharine A. Toward a Feminist Theory of the State. USA: Harvard University Press, 1989.

6. Fineman, Martha Albertson. The Autonomy Myth: A Theory of Dependency.new York: New Press,2004.

7. West, Robin. Caring for Justice. New York: New York University Press, 1997.

Foto: dokumen pribadi penulis

Keterangan foto cover: Antrean Terapi di Salah Satu RS Jabodetabek.

Amalia Risti Atikah

Mahasiswa Pascasarjana Prodi Kajian Gender, SKSG, Universitas Indonesia.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!