Aksi nudis dalam gerakan feminis

Aksi Nudis dalam Protes Feminis dan Cara Melawan Kekerasan Terhadap Perempuan

Gerakan feminisme kerap identik dengan isu ketubuhan. Bahkan, sering kali disamakan dengan aksi ‘ketelanjangan’. Tapi benarkah gerakan feminisme selalu memprotes dengan aksi nudis atau telanjang?

Ketubuhan memang menjadi salah satu isu yang dibahas dalam feminisme. Tapi gerakan feminisme tidak selalu sama aksinya. Latar belakang isu dan gerakan dapat mempengaruhi bentuk aksi protes yang dilancarkan. Termasuk ‘protes ketelanjangan’ yang kerap dilekatkan pada aksi feminis. Benarkah gerakan feminisme identik dengan aksi nudis dan sebaliknya? Kenapa aksi nudis hadir dalam protes-protes atas kekerasan terhadap perempuan?

Macam-Macam Protes Feminis, dari Perancis Sampai Iran

Misalnya, gerakan feminisme di Perancis yang justru menggunakan hijab dan cadar sebagai simbol perlawanan. Gerakan tersebut hadir lantaran Perancis melarang penggunaan hijab di negaranya. Mulai dari penggunaan hijab di lingkungan sekolah hingga larangan penggunaan cadar di ruang publik. Hal tersebut merupakan bentuk diskriminasi dan pembatasan hak perempuan dalam berekspresi dan menjalankan perintah agama. Maka kelompok feminisme di Perancis menggunakan hijab sebagai simbol perlawanan.

Di sisi lain, ada feminis di Iran yang menggunakan ‘ketelanjangan’ sebagai simbol perlawanan. Ini bermula dari keresahan perempuan atas peraturan berpakaian di Iran dalam beberapa dekade ke belakang. Undang-undang wajib hijab diberlakukan sejak Iran mendeklarasikan Revolusi Islam di negaranya. Hal itu malah mengungkung perempuan, yang seharusnya menjadi individu merdeka. Seluruh perempuan yang telah dianggap dewasa diwajibkan menggunakan hijab dan menggunakan pakaian longgar seperti gamis dan abaya.

Baca Juga: Catatan Sejarah Tentang Kiprah Perempuan Minim, Feminisme Dobrak Situasi Itu

Pemaksaan peraturan pemakaian perempuan di Iran turut merampas hak yang dimiliki perempuan secara utuh dalam hal kebebasan ekspresi dan pengambilan keputusan. Selain pemaksaan peraturan pakaian, peran perempuan di Iran turut dinihilkan keberadaannya. Perempuan dipaksa hidup dalam urusan domestik dan dijauhkan dari urusan publik. Latar belakang tersebut membuat beberapa perempuan di Iran berhimpun sebagai kelompok feminis. 

Seorang mahasiswi di Universitas Islam Azad, Iran, baru-baru ini menjadi topik pembicaraan di berbagai media lantaran aksi protesnya di alun-alun kampus. Mahasiswi tersebut hanya mengenakan pakaian dalam di tengah perempuan-perempuan yang menggunakan cadar. Seorang narasumber dengan akun twitter @ambedkariteIND mendukung tindakan mahasiswi tersebut sebagai bentuk protes yang dilakukan kepada negara Iran yang membatasi tata cara berpakaian seorang perempuan. “… A woman should be free to choose what she wears (perempuan seharusnya bebas memilih apa yang mereka kenakan), ucap pemilik akun tersebut. Mahasiswi tersebut kemudian ditangkap oleh aparat keamanan dan dianggap ‘tidak waras’, sehingga dimasukan ke dalam rumah sakit jiwa.

Persoalan tersebut membuat kita menyadari bahwa ketelanjangan tidak melulu bentuk protes dari gerakan feminisme. Iklim politik di Perancis yang tidak membolehkan masyarakat menggunakan hijab atau cadar di muka publik menjadi penyebab protes kelompok feminis yang menggunakan hijab atau cadar sebagai simbol pergerakan feminisme. Sedangkan iklim politik di Iran yang mengharuskan perempuan menggunakan cadar dan pakaian longgar, membuat ketelanjangan menjadi bentuk protes kelompok feminis di sana. Maka gerakan feminisme tidak selalu sama sebab dipengaruhi oleh iklim politik, demografi, dan kondisi suatu kelompok feminis. 

Kenapa Protes Lewat Tubuh?

Ketelanjangan bukan hanya sebuah sikap tanpa makna, tetapi juga ideologi manusia sebagai suatu individu atau kelompok. Ketelanjangan dimaknai sebagai sebuah simbol perlawanan. Lebih jauh, istilah nudist atau nudis mulai dikenal. Ada kelompok feminis yang melakukan aksi nudis untuk menyuarakan protes melalui telanjang dalam maksud pemberdayaan perempuan. 

Feminis ‘nudis’ memilih sikap telanjang atas protes terhadap penindasan dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan akibat male gaze. Male gaze adalah penggambaran perempuan sebagai obyek melalui pandangan laki-laki heteroseksual. Teori male gaze pertama kali diperkenalkan oleh Laura Mulvey bahwa industri hiburan menjadikan perempuan sebagai obyek pasif yang dinikmati oleh laki-laki. Teori tersebut mengkritik bagaimana tubuh perempuan dan ketelanjangan menjadi obyek utama yang ditampilkan dalam media dibandingkan dengan karakter perempuan itu sendiri. Hal tersebut merupakan upaya mengecilkan perempuan yang dianggap sebagai karakter yang lemah, tidak berdaya, dan berada di bawah naungan laki-laki. Maka dari itu, ketelanjangan menjadi alternatif dalam melakukan protes terhadap kemerdekaan perempuan terhadap tubuhnya sendiri. 

Tindakan nudis atau telanjang yang kerap kali dilakukan dalam aksi protes atau demonstrasi dilandasi berbagai maksud. Contohnya seperti di Iran, ketika perempuan dipaksa untuk menggunakan pakaian tertutup dalam berbagai kesempatan. Pasalnya, sesedikit apa pun jengkal kulit perempuan yang terlihat, tetap dianggap tidak senonoh.

Baca Juga: Feminis Selalu Marah? Bagaimana Tidak, Pengalaman Hidup Perempuan Ditindas Patriarki

Jessica Mandanda membahas tentang fenomena ‘feminis nudis’ yang terjadi di Afrika dalam tulisannya Understanding the Radicalism of Naked Protest as a Decoloniality tool for feminist activism‘. Menurutnya, sebagian besar masyarakat Afrika, jika tidak seluruhnya, menganggap tubuh telanjang perempuan sebagai hal yang profan, tidak senonoh, memalukan. Juga bersifat seksual, tidak boleh ditampilkan di depan umum. Oleh karena itu, mereka mengharuskan perempuan untuk tetap menutup tubuh. Jika tidak, perempuan akan menghadapi berbagai tindakan kekerasan—dan itu dibenarkan karena perempuan ‘berpakaian terbuka’. Pembenaran kekerasan terhadap perempuan itu terjadi dalam struktur hukum maupun masyarakat.

Anggapan demikian tidak hanya terjadi di Afrika, melainkan juga di berbagai negara di dunia. Kemudian ketelanjangan dilihat melampaui batas nilai-nilai tersebut. Ketelanjangan yang memalukan, profan, dan lekat akan seksualitas tersebut diciptakan melalui konstruksi patriarki dalam masyarakat. Sehingga protes perempuan dalam bentuk ketelanjangan adalah kemarahan terhadap nilai-nilai yang ada pada masyarakat.

Selain itu, ketelanjangan yang spontan merupakan tindakan yang kontroversial. Ketelanjangan yang dilakukan di tengah protes dan demonstrasi secara tiba-tiba akan menimbulkan ketidaknyamanan, kontroversi, dan keterkejutan. Beberapa kelompok feminis menggunakan cara ini dalam melakukan protes dan demonstrasi untuk menarik perhatian masyarakat atau pihak yang dituju. Seorang protestan biasanya mulai melucuti pakaiannya sendiri hingga telanjang atau setengah telanjang dengan pesan-pesan protes yang dicoret di tubuh mereka sendiri. Isu yang biasanya diangkat dalam protes tersebut biasannya adalah eksploitasi tubuh, prostitusi, dan perlawanan terhadap tindakan kekerasan seksual. 

Tindakan nudis dalam aksi atau demonstrasi biasanya telah dirancang oleh agitator sebagai suksesor protes dan demonstrasi. Agitator selaku kelompok yang memiliki tugas melakukan koordinasi dengan massa aksi, dalam maksud menggerakkan massa, merencanakan tindakan nudis untuk menciptakan keterkejutan. Tindakan nudis kerap sukses menggerakan massa menuju situasi yang chaos, sekaligus berisiko. Kebanyakan kelompok yang melakukannya berujung pada penangkapan.

Baca Juga: ‘Gerakan 4B ke 6B’, Cara Perempuan Korea Selatan Bebas dari Kapitalisme dan Patriarki

Maka sebenarnya, bagaimana batas antara ruang pribadi dan ruang publik? Ruang yang dianggap sebagai milik publik pada kenyataannya memiliki konstruksi yang didominasi oleh nilai-nilai patriarki. Perempuan yang dianggap sebagai individu yang lemah tidak memiliki tempat dan suara dalam mengisi ruang publik tersebut.

Aksi nudis dalam gerakan feminisme berusaha mendobrak nilai-nilai ‘kepatutan’ di ruang publik. Ia hadir menghantam male gaze yang mengobyektifikasi tubuh perempuan, seakan hanya di-desain untuk ditampilkan dan dinikmati dalam ruang pribadi. Tubuh perempuan bukan sekadar objek; ia adalah bagian dari perjuangan mencapai kesetaraan gender dan eksistensi perempuan di ruang-ruang publik.

Melvin Levina

mahasiswa sejarah yang senang mengulik fenomena menggunakan mahzab annales. Terbuka untuk diskusi dalam topik sejarah, perempuan, dan gerakan sosial.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!