Beberapa tahun yang lalu, saya terlibat dalam percakapan seru dengan seorang teman lelaki yang mengeluhkan satu hal:
“Mengapa feminis selalu marah?”
Teman lelaki ini adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Ia memiliki seorang kakak laki-laki dan seorang kakak perempuan. Ia berprofesi sebagai dosen tetap di sebuah Sekolah Tinggi Agama Islam di Jawa Barat. Selain menempuh pendidikan formal hingga strata S3, ia juga menempuh pendidikan di Pesantren Lirboyo, Pesantren An-Munawir Krapyak, dan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.
Seketika saya menjawab, “Dalam hidupmu, tidak sedetik pun kamu pernah berada di ruang publik dalam tubuh perempuan. Jadi, kamu tahu apa mengenai pengalaman hidup perempuan yang babak belur karena ditindas patriarki dan keturunannya: toxic masculinity, rape culture, diskriminasi, mansplaining, misoginis, manel/all male panelist? Bagaimana tidak marah?”
Tulisan Gadis Arivia berjudul “Berterimakasihlah kepada Para Feminis!” dalam Feminisme: Sebuah Kata Hati (2006) menjawab pertanyaan teman lelaki tersebut dengan sangat baik:
“Bayangkan dunia tanpa feminisme, apa jadinya? Dunia yang tidak memperbolehkan perempuan mengenyam pendidikan tinggi, tidak memperbolehkan perempuan memegang jabatan politik atau berkarier bahkan memilih sikap hidup untuk menikah atau tidak menikah, mempunyai anak atau tidak mempunyai anak, dan seterusnya. […] Di tingkat budaya, segala efek negatif kemajuan budaya kontemporer dianggap bersumber dari feminisme. […] Bahkan, para feminis cenderung dianggap kelompok pemarah yang mempertanyakan dan menggugat segala hal. Namun, tidak ada yang pernah bertanya mengapa para feminis begitu marah dengan keadaan yang tidak adil? Tidakkah wajar bila seseorang merasa marah bila diperlakukan tidak adil?”
Baca juga: Feminis vs Ibu-Ibu PKK? Feminisme Tidak Tunggal, Stop Benturkan Gerakan Perempuan
Saya pikir, adalah keluguan, jika tidak ingin disebut sebagai kedunguan luar biasa jika lelaki berpikir bahwa kita hidup di dunia yang baik-baik saja. Dunia tempat kekerasan terhadap perempuan berhasil dihapuskan. Serta kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki telah terwujud.
Coba simak Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2023 yang diterbitkan oleh Komnas Perempuan. Terdapat 289.111 kasus pengaduan kekerasan berbasis gender. 284.741 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah personal, 4.182 kasus di ranah publik, serta 188 kasus di ranah negara.
Selanjutnya, simak Laporan Kesenjangan Gender Global yang diterbitkan oleh Forum Ekonomi Dunia. Ini adalah indeks yang dirancang untuk mengukur kesenjangan antara perempuan dan laki-laki terkait dengan partisipasi dan peluang ekonomi, pencapaian pendidikan, pemberdayaan politik, serta kesehatan dan kelangsungan hidup. Laporan tahun 2023 memuat data dari 146 negara dan Indonesia berada di peringkat 87. Secara agregat, kawasan Asia Tenggara dan Pasifik, yang mencakup Indonesia, berada pada paritas 68,8%. Namun, kemajuan menuju kesetaraan di kawasan ini mengalami stagnasi selama lebih dari satu dekade. Dengan tingkat kemajuan yang ada saat ini, dibutuhkan 189 tahun bagi kawasan ini untuk mencapai kesetaraan gender.
Kemudian, saya berefleksi terhadap cerita-cerita yang saya dapatkan melalui diskusi dengan perempuan dari berbagai jalan kehidupan. Kisah-kisah ini dekat dengan kehidupan Muslim, tapi juga mewujud berbagai rupa dalam kehidupan perempuan pada umumnya. Dan untuk penulisan artikel ini, saya mensarikan dua di antara beberapa yang dianggap sebagai kekejaman yang mengguncang nalar kemanusiaan.
Bias dalam Mengumandangkan Azan dan Iqamah Untuk Bayi yang Baru Lahir
Praktik ini merupakan salah satu sunah yang dianjurkan untuk bayi yang baru lahir. Yakni agar kalimat yang pertama kali didengar bayi adalah kalimat yang baik (thayyibah). Dengan demikian, hal itu menjadi upaya pertama untuk mengenalkan ajaran Islam kepada anak.
Selama puluhan tahun, saya memendam perasaan geram karena satu hal. Mengapa ada perbedaan dalam perlakuan terhadap bayi perempuan dan bayi laki-laki yang baru lahir di keluarga saya? Untuk bayi laki-laki, ayah mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri. Sedangkan untuk bayi perempuan, ayah hanya mengumandangkan iqamah di telinga kiri.
Kegeraman ini akhirnya saya muntahkan awal Agustus 2024 lalu, dalam bentuk protes dan menuntut penjelasan kepada teman yang saya anggap memiliki pemahaman fiqih yang mumpuni. Sang teman pun mengoreksi bahwa praktik yang dilakukan keluarga saya salah. Sebab, bagi bayi perempuan dan laki-laki, sama-sama dianjurkan untuk mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri.
Tentu saja saya kaget! Bagaimana mungkin ada praktik yang menyimpang dan perbedaan ini berdasarkan pada jenis kelamin bayi? Saya membaca lebih lanjut dan menemukan skripsi Neli Hidayah yang ditulis untuk lulus S1 Jurusan Tafsir Hadis dari UIN Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru (2010). Di skripsi tersebut, saya menemukan tiga hadits yang dikategorikan shahih, yakni:
1) HR. Sunan Abi Dawud dan Syarh ‘Aun al-Ma’bud, juz XIV, halaman 7
2) HR. Abu Dawud dan Ibnu As Sinni sebagaimana dikutip dalam Amalu al-Yaum wa al-Lailah, halaman 378
3) HR. Abu Dawud sebagaimana dikutip dalam kitab Syu’abu al-Iman, juz VI, halaman 390
Baca juga: Konferensi Feminis KCIF 2024: Tak Ada Demokrasi Tanpa Keadilan Gender
Saya kemudian melakukan survei kecil-kecilan. Survei tersebut berupa pertanyaan kepada teman-teman dekat sesama orang Aceh, mengenai praktik yang dilakukan ketika menyambut kelahiran bayi. Saya menemukan bahwa praktik yang bias gender dilakukan oleh tiga orang. Antara lain keluarga saya yang memiliki tiga anak perempuan dan tiga anak lelaki. Serta dua teman lelaki yang masing-masing memiliki dua anak perempuan. Sementara praktik yang sesuai dengan tata cara sunnah dilakukan oleh dua orang. Yakni seorang teman lelaki yang memiliki dua anak perempuan, serta keluarga teman yang memiliki dua anak perempuan dan seorang anak lelaki.
Kemudian, saya menemukan kepingan informasi berikut ketika membaca Orang Aceh Volume I: Budaya, Masyarakat dan Politik Kolonial yang ditulis oleh C. Snouck Hurgronje. Buku ini diterjemahkan oleh Ruslani dan diterbitkan oleh IRCiSoD di April 2019.
“Bidan kemudian membelitkan beberapa lapis kain pada bilah bambu itu dan menyerahkannya pada sang ayah. Jika ia adalah bayi laki-laki, maka sang ayah akan mengumandangkan azan (panggilan salat lima waktu) di telinga kanan dan iqamat (tanda dimulainya salat) di telinga kirinya. Jika bayi itu perempuan, maka cukup iqamat saja. Maksud dari kebiasaan saleh ini adalah untuk membuat bayi mendengar, langsung setelah kelahirannya, pengakuan iman Islam, yang sering disebutkan dalam kedua formula tersebut. Jika sang ayah tidak mampu melakukan tugas ini, maka dibutuhkan jasa teungku untuk melakukannya.” (hal. 780-781)
Keterkejutan saya adalah praktik mengumandangkan azan dan iqamah yang bias gender ini telah dilakukan sejak abad ke-19. Ini dilaporkan oleh C. Snouck Hurgronje pada Mei 1892 dalam Atjeh Verslag. Kemudian, sebagian besar laporan ini diterbitkan dalam De Atjehers pada 1893 dan 1894. Tanpa ada koreksi agar praktik tersebut sesuai sunnah sebagaimana diatur dalam hadits-hadits shahih tersebut? Bagaimana mungkin praktik bias gender ini menjadi sangat mapan, terus dipraktekkan hingga kini, dengan menafikan anjuran sunnah? Dan, kami, para perempuan yang menjadi korban dari praktik ini, tidak berhak marah?
Bias dalam Pembagian Waris Antara Perempuan dan Laki-Laki
Di kesempatan yang lain, teman lelaki ini menyebutkan ketidakpahamannya mengenai perempuan yang harus menggugat pembagian waris menurut hukum Islam. Jadi, laki-laki mendapatkan dua kali porsi perempuan. Sebab menurutnya, toh laki-laki bertanggung jawab untuk menafkahi keluarganya. Ia menambahkan, seandainya ada anggota keluarga perempuan yang tidak mendapatkan nafkah sebagaimana menjadi kewajiban anggota keluarga laki-laki, si lelaki bisa digugat di pengadilan. Bukankah ini cara berpikir yang sangat naif? Mengandaikan bahwa hukum dan peradilan di Indonesia memiliki perspektif gender, seakan-akan bisa memberikan keadilan yang dituntut perempuan.
Saya teringat keluhan seorang teman perempuan yang menceritakan perjuangan panjang ibunya untuk menuntut keadilan dari situasi patah titi. Artinya, pewaris meninggalkan anak dan cucu-cucu yang orang tuanya terlebih dahulu meninggal dunia dari pewaris. Sehingga cucu-cucu dari pewaris tidak mendapatkan warisan. Ini bertentangan dengan pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur mengenai ahli waris pengganti dan bagian ahli waris pengganti yang tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris sederajat dengan yang diganti.
Para ahli waris pengganti ini, yakni sang Ibu dan empat saudara kandungnya yang perempuan, harus menempuh jalan hukum yang panjang dan berliku. Bermula dari Pengadilan Agama Meureudu, April 1996. Lalu Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh, November 1996. Kemudian ke Mahkamah Agung terkait putusan perkara kasasi perdata agama, Juli 2003. Serta Mahkamah Agung terkait putusan perkara peninjauan kembali perdata agama, Mei 2010.
Selain patah titi, ibunya juga tidak mendapatkan bagian warisan dari harta peninggalan ayahnya yang dijual oleh saudara laki-laki sang ibu. Ketika jalan hidup memaksa sang ibu berpisah dengan suaminya, teman perempuan tersebut dan saudara-saudaranya harus bekerja sejak kecil. Agar menghasilkan uang untuk menopang kondisi ekonomi keluarga, ketika sang ibu menjadi kepala keluarga.
Baca juga: Memotret Feminisme dalam Peluncuran Buku ‘Transformasi Feminisme Indonesia: Pluralitas, Inklusivitas dan Interseksionalitas’
Keputusan peninjauan kembali Mahkamah Agung baru bisa dieksekusi beberapa tahun terakhir. Namun, ketika proses eksekusi tersebut, sang Ibu dan para saudara perempuannya justru dipaksa oleh satu-satunya saudara lelaki dalam komposisi ahli waris pengganti untuk menerima keputusan sepihaknya agar harta warisan dibagi secara hukum Islam. Padahal, di awal, kelima saudara kandung ini bersepakat bahwa harta akan dibagi secara perdata. Yakni porsi waris perempuan dan laki-laki adalah 1:1.
Di akhir percakapan kami, teman perempuan tersebut menyebutkan, “Ibu sudah tua (ketika akhirnya bisa mengelola harta bagiannya). Seandainya sejak dulu Ibu bisa mengelola bagiannya, pasti Ibu bisa melanjutkan pendidikan, atau berwirausaha. Sehingga hidup kami tidak begitu menderita. Masa depan (kami) hancur karena ini”.
Jenny Chatab dalam artikel jurnalnya yang berjudul “Hukum Waris dan Kesetaraan Gender: Perspektif KUHP, Islam dan Adat” menyajikan temuan yang menarik. Antara lain:
– Sejak 1961, yurisprudensi Mahkamah Agung menegaskan bahwa penerapan hukum waris, juga yang berdasar pada tradisi masyarakat adat, harus berangkat dari prinsip kesetaraan antar ahli waris. Kesetaraan bermakna perempuan menerima porsi waris yang sama besarnya dengan porsi laki-laki yaitu 1:1.
– Dengan menghapus hak mereka untuk memilih hukum apa yang diterapkan dalam pembagian warisan, UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama melakukan perubahan besar yang sangat berdampakan pada perempuan Muslim. Selain itu, pemaksaan penerapan Kompilasi Hukum Islam kaum perempuan karena bagian anak perempuan terhadap warisan adalah setengah dari bagian anak laki-laki.
– Kebanyakan responden perempuan Muslim lebih fokus mencari solusi bagaimana menghindari penerapan hukum waris Islam.
Baca juga: Perempuan Harus Tunduk pada Suami? Self-Help Book Ini Lemahkan Perjuangan Feminis Muslim
– Tiga notaris mengatakan mereka merasa ditekan untuk membagi waris menurut hukum Islam di luar pengadilan oleh pihak laki-laki. Dalam hal pembagian waris, penerapan hukum Islam dapat menjadi masalah bagi perempuan. Hal itu bisa terjadi di pengadilan maupun di luar pengadilan. Selain itu, jika jumlah harta warisan yang akan dibagi semakin banyak serta jumlah anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, maka ada potensi yang lebih besar untuk ketidakadilan dalam pembagian warisan.
Menarik pula untuk mencermati gugatan atau pandangan konstruktif yang disampaikan oleh Dr. Nurjannah Ismail dalam Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran (2003). Beliau menyebutnya sebagai minimum threshold atau bare minimum. Yakni anak perempuan yang menerima setengah dari yang diterima anak laki-laki adalah jumlah warisan “paling sedikit” yang seharusnya ia dapatkan.
Sementara Dr. Nur Rofi’ah menyebutkan bahwa bagian anak perempuan setengah dari bagian anak laki-laki merupakan target antara untuk mewujudkan sistem kehidupan yang menjadi anugerah bagi perempuan dan laki-laki (Islam yang rahmatan lil ‘alamin). Karena sebelumnya, di masa pra-Islam, perempuan tidak mendapatkan warisan. Mereka justru diperlakukan seperti harta yang bisa diwariskan. Target finalnya adalah anak perempuan dan anak laki-laki mendapatkan bagian yang sama dalam mewujudkan keadilan gender terkait dengan harta warisan.
Saat ini, banyak sekali perempuan yang bertanggung jawab menafkahi keluarga, bahkan sampai menjadi buruh migran, misalnya, serta menjadi kepala keluarga. Sehingga, fenomena sosial tersebut memerlukan tafsir dan fiqih yang memahami realitas perempuan yang telah berubah sedemikian rupa. Mengapa aturan terkait waris masih hanya menguntungkan sebelah pihak? Bahkan, pihak sebelah tersebut sangat nyaman dan mapan untuk terus berada di target antara dan hanya memberi batas minimal. Dan kami, para perempuan yang menjadi korban dari praktik ini, tidak berhak marah?
Ajakan Untuk Membebaskan Diri dari Konsep Taqlid
Menurut Entin Anwar dalam Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia (2018), feminisme identik dengan ijtihad. Sebab, keduanya menganggap penggunaan akal sebagai kekayaan manusia.
Secara budaya, proses berpikir dan peran ijtihad telah dianggap sebagai khazanah dunia laki-laki. Klaim laki-laki tentang akal menjadikannya pribadi yang superior, juga kepada otoritas keluarga, sosial, politik dan agama. Laki-laki memiliki otoritas untuk mendefinisikan kebenaran Islam karena mereka memiliki kekuasaan dan wewenang untuk berijtihad. Ia menghasilkan pengetahuan yang bias gender karena menafikan pengalaman-pengalaman perempuan.
Hal ini menjadikan konstruksi gender sebagai wilayah ijtihad karena ia terbuka untuk kritik dan analisis. Baik ijtihad maupun feminisme menganggap kepemilikan dan penggunaan akal sebagai kapasitas bawaan manusia yang memungkinkan mereka bertindak sebagai agen moral. Keduanya secara potensial menyediakan mekanisme bagi perempuan untuk menjadi agen otonom di berbagai lokalitas dan konteks.
Lebih jauh, Etin Anwar menyebutkan, “Walaupun ijtihad dan feminisme membantu perkembangan etika dan spiritual perempuan sebagai subjek, budaya gender yang ada menunjukkan cengkeraman konsep taqlid (mengamalkan pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya). Perempuan secara budaya diajarkan untuk tidak pernah mempertanyakan ayah, saudara-saudara laki-laki, atau para calon suami mereka, dan cukup menaati aturan-aturan, hak-hak, dan peran-peran yang ditetapkan bagi mereka.”
Etin juga menyebut, perempuan disingkirkan dari produksi ‘pusat-pusat pengetahuan/kekuasaan lokal’. Tetapi mereka tidak pernah merasa disingkirkan. Perempuan pun melestarikan pengetahuan/kekuasaan fiqih yang sudah ada melalui pelembagaan taqlid. Bahkan, ketika didorong untuk belajar Islam semasa periode revivalisme Islam (1980-an), perempuan melakukannya dengan mematuhi laki-laki yang berperan sebagai guru mereka. Terlepas dari adanya bias dalam pandangan para guru tentang relasi gender.
Baca juga: Gerakan Feminis Milenial di Media Sosial: Gelombang Baru Feminisme di Indonesia
Tegas Etin, memang, tidak ada yang salah dengan memiliki guru laki-laki. Namun menyetujui penyebaran pandangan yang menempatkan perempuan sebagai makhluk sekunder, domestik, dan seksual, membuat perempuan ikut bersekutu dengan gambaran semacam itu.
Saya teringat ajakan Nyai Sinta Nuriyah yang disampaikannya kepada kedua tokoh feminis Muslim yang sangat saya kagumi. Yakni Kiai Faqihuddin Abdul Kodir dan Kiai Husein Muhammad. Ini dibagikan Kiai Faqih di laman Facebook-nya pada Agustus 2023 lalu.
“Kita harus terus bersabar dan istiqamah, [untuk] menebar inspirasi, bahwa agama itu untuk mendorong orang berbuat baik, rahmat, dan akhlak mulia. Bukan sebaliknya. Jangan jadikan agama sebagai alat kekerasan, terutama terhadap perempuan”.
Anjuran tersebut membuat saya ingin mengajak kita semua untuk membebaskan diri dari taqlid buta. Dengan membaca buku-buku yang mengajak bertransformasi menjadi insan yang secara aktif bekerjasama untuk menciptakan sistem kehidupan yang menjadi anugerah bagi perempuan dan laki-laki. Terutama kepada teman-teman perempuan, agar menjadi berdaya (empowered) dalam menemukenali red flag dari tafsir agama yang dipakai untuk menindas perempuan. Serta melawan ajakan bersekutu dengan pandangan yang menempatkan perempuan sebagai makhluk sekunder, domestik, dan seksual (guilty of association).
Sebagaimana ajakan yang digaungkan Kiai Faqih dalam Qiraah Mubadalah. Saatnya kita merengkuh Islam yang melarang menuhankan apapun selain Allah SWT. Bukan Islam yang diklaim laki-laki untuk merepresentasikan dirinya sebagai juru bicara Tuhan karena status mereka sebagai ayah, suami, atau saudara laki-laki yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid. Islam yang merayakan kerahmatan Nabi Muhammad SAW yang inklusif bagi perempuan dan laki-laki. Serta menghadirkan keadilan Islam pada segenap manusia dan semesta alam.
Baca juga: Produksi Pengetahuan di Indonesia Minim Perjuangkan Feminisme
Kita bisa mulai belajar dengan membaca rujukan-rujukan berikut.
1. 60 Hadits Shahih Khusus tentang Hak-hak Perempuan dalam Islam Dilengkapi Penafsirannya, Faqihuddin Abdul Kodir, Yogyakarta: Diva Press, 2019
2. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, Nasaruddin Umar, Makassar: CV Kreatif Lenggara, 2017
3. Bebas dari Patriarkhisme Islam, Syafiq Hasyim, Depok: KataKita, 2010
4. Dari Aborsi Sampai Childfree, Bagaimana Mubadalah Bicara? Mengkaji Hadis tentang Gender dan Isu-Isu Kontemporer, Faqihuddin Abdul Kodir, Bandung: Afkaruna.id, 2024
5. Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia, Etin Anwar, Bandung: Mizan, 2018
6. Fikih Aborsi: Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, Maria Ulfah Anshor, Jakarta: Penerbit KOMPAS, 2006
7. Fikih Hak Anak: Menimbang Pandangan Al-Quran, Hadis, dan Konvensi Internasional untuk Perbaikan Hak-hak Anak, Faqihuddin Abdul Kodir dan Lies Marcoes, Jakarta: Yayasan Rumah Kita Bersama, 2022
8. Fikih Kawin Anak: Membaca Ulang Teks Keagamaan Perkawinan Usia Anak-anak, Achmat Hilmi dkk., Jakarta: Yayasan Rumah Kita Bersama dan Ford Foundation, 2015
9. Fikih Perempuan Bekerja, Achmat Hilmi, dkk., Jakarta: Yayasan Rumah Kita Bersama, 2021
10. Fikih Perwalian: Membaca Ulang Hak Perwalian untuk Perlindungan Perempuan dari Kawin Paksa dan Kawin Anak, Achmat Hilmi, dkk., Jakarta: Yayasan Rumah Kita Bersama, 2019
11. Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam, Syafiq Hasyim, Bandung: Mizan, 2001
12. Indahnya Islam Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender, Musdah Mulia, Naufan Pustaka, 2014
13. Islam & Hak-hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqih Pemberdayaan, Masdar F. Mas’udi, Bandung: Mizan, 2000
14. Islam Agama Ramah Perempuan, Husein Muhammad, Yogyakarta: IRCiSoD, 2021
15. Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas, Neng Dara Affiah, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2017
16. Maqashid Al-Islam: Konsep Perlindungan Manusia dalam Perspektif Islam, Lies Marcoes dkk., Jakarta: Yayasan Rumah Kita Bersama, 2018
Baca juga: Ensiklopedia Muslimah Reformis: Bukan Hanya Tentang Perempuan Muslim, Tapi Juga Kemanusiaan
17. Memilih Monogami: Pembacaan atas Al-Quran dan Hadits Nabi, Faqihuddin Abdul Kodir, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005
18. Mendobrak Kawin Anak: Membangun Kesadaran Kritis Pencegahan Kawin Anak, Achmat Hilmi, dkk., Jakarta: Yayasan Rumah Kita Bersama, 2018
19. Mengapa Harus Perempuan? Menguak Isu Keperawanan, Derajat, Psikologi dan Dosa Warisan Perempuan, Zulkarnaini Abdullah, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2003
20. Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?, Achmat Hilmi, Roland Gunawan, dan Jamaluddin Mohammad, Jakarta: Yayasan Rumah Kita Bersama, 2020
21. Menjadi Feminis Muslim, Aida Milasari dkk., Bandung: Afkaruna.id, 2022
22. Muslimah Bukan Agen Moral: Menggali Ragam Ekspresi Kesalehan Perempuan, Maria Fauzi, Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2023
23. Muslimah Yang Diperdebatkan, Kalis Mardiasih, Yogyakarta: Buku Mojok, 2019
24. Nalar Kritis Muslimah: Refleksi atas Keperempuanan, Kemanusiaan dan Keislaman, Nur Rofiah, Bandung: Afkaruna.id, 2020
25. Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik: Mengaji Hadis Pernikahan dan Pengasuhan dengan Metode Mubadalah, Faqihuddin Abdul Kodir, Bandung: Afkaruna.id, 2022
26. Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah: Mengaji Ulang Hadis dengan Metode Mubadalah, Faqihuddin Abdul Kodir, Bandung: Afkaruna.id, 2021
27. Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran, Nurjannah Ismail, Yogyakarta: LKiS, 2003
28. Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah, K.H. Husein Muhammad, Yogyakarta: IRCiSoD, 2020
29. Qiraah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam, Faqihuddin Abdul Kodir, Yogyakarta: IRCiSoD, 2019
30. Siapa Bilang KB Haram? Menolak Pandangan Kelompok Islam Fundamentalis tentang Larangan KB, Roland Gunawan dan Mukti Ali, Jakarta: Yayasan Rumah Kita Bersama, 2015
31. Sister Fillah, You’ll Never Be Alone, Kalis Mardiasih, Bandung: Qanita, 2020
32. Tafsir Kebencian: Studi Bias Jender dalam Tafsir Al-Quran, Zaitunnah Subhan, Yogyakarta: LKiS, 1999
Semoga, ketika nantinya teman lelaki tersebut membaca tulisan ini, dia jadi lebih paham kenapa feminis kerap marah, dan feminis harus marah.