PPN Naik Jadi 12%: Bagaimana Pandangan Feminis Atas Pajak dan Kenapa Perlu Dorong Pajak Kekayaan?

Pemerintah tetapkan PPN naik jadi 12% per Januari 2025. Kebijakan ini dinilai makin rugikan perempuan dan kelompok marginal. Yuk cari tahu bagaimana pandangan feminis atas pajak dan kenapa mereka mendorong penerapan pajak kekayaan?

Beberapa waktu terakhir perbincangan soal PPN yang naik 12% memenuhi ruang publik. Salah satu pembahasan yang mencuat adalah kita semua bakal kena dampaknya. Nggak hanya itu bahkan perempuan dan kelompok marginal bakal merasakan dampak yang paling berat.

Kalau kamu masih berpikir pajak nggak ada sangkut pautnya buat hidupmu sehari-hari, sebaiknya kamu berpikir ulang. Apalagi kalau kamu punya pikiran, “toh belum kerja ini” atau “kan belum punya aset dan properti, nggak ada urusanlah sama yang namanya pajak”. Eits, tunggu dulu!

Coba kamu cek lagi. Kalau kamu suka dengerin lagu, podcast, atau buku audio lewat layanan streaming seperti Spotify, ada komponen pajak di biaya langganan yang kamu bayar. Begitu juga kalau misalnya kamu suka baca dan biasa beli novel atau buku. Atau kalau kamu termasuk yang suka nonton film di bioskop dan berlangganan layanan streaming film. Ini baru contoh kecil, ada banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari kita yang tidak terlepas dari komponen pajak.

Jadi udah jelas ya kalau pajak tuh lekat banget sama hidup kita. Memang kita sering nggak menggubris soal pajak ini. Tapi pernah berpikir nggak duit pajak yang kita bayar itu buat apa sih?

Baca juga: Kamus Feminis: Bagaimana Kenaikan PPN 12 Persen Mencekik Perempuan?

Yuk kita kupas dulu kenapa sih pemerintah menarik pajak?

Pajak ini bisa dibilang salah satu cara yang dipakai pemerintah modern buat mengumpulkan dana. Dalam praktiknya, menurut Alex Cobham, ada empat tujuan umum pajak sebagai alat untuk pembangunan ekonomi dan tata kelola. Ia meringkasnya sebagai empat R perpajakan.

Pertama, pajak memberikan pendapatan (Revenue) kepada pemerintah. Dari pajak yang terkumpul tersebut oleh pemerintah kemudian dialokasikan misalnya untuk anggaran pendidikan atau anggaran kepolisian, dll. Karena itu kebijakan pajak harus disusun sedemikian rupa untuk memastikan pembiayaan layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dsb.

Kedua, pajak bisa menjadi cara untuk mendistribusikan kembali (Redistribute) kekayaan dan pendapatan. Selain menghasilkan pendapatan, kebijakan pajak kalau diterapkan dengan baik bisa mengurangi dampak buruk ketimpangan. Syaratnya sistem pajak yang diterapkan harus adil secara vertikal dan horizontal.

Adil secara horizontal artinya orang-orang dengan kategori pendapatan yang sama harus dikenai pajak yang sama, terlepas dari sumber pendapatan mereka. Kebijakan pajak tidak boleh mendiskriminasi atau menguntungkan bentuk pendapatan tertentu terhadap yang lain. Sementara adil secara vertikal artinya mereka yang berpenghasilan lebih tinggi harus memberikan kontribusi yang lebih besar dari pendapatan mereka untuk dikenakan pajak dibandingkan mereka yang berpenghasilan lebih rendah.

Ketiga, pajak juga bisa dipakai untuk penetapan harga ulang (Re-pricing). Ini lebih mudah dipahami lewat contoh. Misalnya mengenakan pajak pada tembakau dan bahan bakar berbasis karbon sebagai cara untuk mengubah perilaku masyarakat.

Dengan kata lain kebijakan pajak dapat dipakai sebagai instrumen untuk mengarahkan atau mengendalikan perilaku atau konsumsi. Pemerintah dapat menggunakan perpajakan untuk mencegah konsumsi barang-barang yang dianggap berbahaya bagi masyarakat, seperti merokok atau perjudian.

Keempat pajak juga bisa menjadi bentuk representasi (Representation). Ketika warga negara dikenakan pajak, mereka menuntut akuntabilitas sebagai imbalan atas uang hasil jerih payah mereka. Hal ini membuat pemerintah waspada. Ibaratnya pajak menjadi perekat yang mengikat pemerintah dengan warga negaranya.

Baca juga: Bagaimana Kamu Harus Jadi Anak Muda Di Masa Roti Harga 400 Ribu dan Nepotisme Keluarga Istana?

Singkatnya pajak menciptakan mekanisme akuntabilitas, dengan warga negara punya kewajiban hukum untuk membayar pajak sesuai porsinya kepada pemerintah. Sebagai imbalannya, pemerintah bertanggung jawab dalam memastikan pemanfaatan dana publik ini secara efektif.

Pemerintah yang bergantung sepenuhnya atau sebagian besar pada pendanaan eksternal atau sumber daya dari sektor ekstraktif cenderung merasa kurang berkewajiban untuk dimintai pertanggungjawaban oleh warga negaranya.

Dari paparan di atas pajak tampak sebagai hal yang baik. Lalu apa dong masalahnya?

Sabar dulu, kita kupas satu-satu ya.

Kita perlu sadar bahwa kita hidup di masyarakat kapitalis patriarki. Masyarakat yang memberi hak-hak istimewa pada laki-laki. Situasi ini membuat kebijakan tentang pajak menjadi buta gender. Artinya kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan perbedaan gender yang berlaku di masyarakat termasuk ketimpangan gender yang ada.

Sistem ekonomi kapitalisme patriarki yang berjalan saat ini berakar pada sistem kolonial dan ekstraktif. Sistem ini menghargai akumulasi keuntungan individu dan korporasi di atas kesejahteraan kolektif. Kondisi ini telah membentuk masyarakat kita dan turut berkontribusi terhadap perubahan hukum, pencabutan regulasi hak-hak buruh, privatisasi sumber daya alam dan layanan dasar, liberalisasi perdagangan, investasi, dan arus keuangan, termasuk juga sistem pajak.

Sistem pajak dalam banyak kasus terbukti merugikan perempuan. Pasalnya perempuan cenderung memperoleh penghasilan lebih sedikit dalam pekerjaan berbayar dan melakukan lebih banyak pekerjaan perawatan dan rumah tangga yang tidak dibayar. Selain itu perempuan juga menghabiskan lebih banyak pendapatan mereka untuk barang konsumsi dan perawatan. Perempuan juga cenderung tidak dapat menabung untuk hari tua mereka.

Bentuk eksplisit diskriminasi gender bisa dilihat pada peraturan atau ketentuan khusus dalam undang-undang pajak yang secara harfiah memperlakukan laki-laki dan perempuan secara berbeda. Sedang bentuk implisit diskriminasi gender berkaitan dengan ketentuan dalam sistem pajak yang, karena norma sosial dan ekonomi yang secara sistematis bergender, memiliki dampak pasca-pajak dan pasca-konsumsi yang berbeda pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

Baca juga: Gaji Pekerja Freelance Dipotong 3 Persen, Tapera Bikin Sengsara

Secara umum, pajak dengan tarif tetap seperti pajak konsumsi, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), atau pajak cukai mengambil porsi yang lebih besar dari pendapatan perempuan. Selain itu, individu yang membayar pajak konsumsi mungkin dapat mengalihkan pajak tersebut kepada orang lain. Seperti dalam kasus PPN, yakni penjual terakhir menanggung beban pajak menurut undang-undang tetapi mengalihkan beban pajak kepada konsumen.

PPN dapat menimbulkan bias gender karena pola konsumsi perempuan yang berbeda. Perempuan di negara berkembang cenderung membeli lebih banyak barang dan jasa yang berkaitan dengan kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan gizi dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini menciptakan potensi bagi perempuan untuk menanggung beban PPN yang lebih besar jika sistem PPN tidak memberikan pengecualian, pengurangan tarif, atau tarif nol.

Hal yang sama berlaku untuk memastikan tunjangan bebas pajak yang cukup tinggi bagi pengusaha kecil. Secara umum, karena pendapatan perempuan yang lebih rendah, kebijakan pajak yang hanya berfokus pada peningkatan pajak tidak langsung seperti PPN berpotensi lebih memberatkan perempuan. Alih-alih meningkatkan pajak langsung (pajak penghasilan).

Pajak konsumsi (seperti PPN) dipandang sangat regresif. Pasalnya memberikan beban lebih tinggi bagi individu berpenghasilan rendah karena mereka menghabiskan persentase pendapatan mereka yang lebih tinggi untuk konsumsi daripada individu berpenghasilan tinggi.

Negara-negara yang menerapkan sistem pajak progresif mengambil beberapa langkah untuk menghilangkan regresifitas PPN. Langkah-langkah ini meliputi pertama, membebaskan pajak atas makanan dan kebutuhan sosial. Kedua, mengenakan pajak atas barang mewah dengan tarif lebih tinggi dan barang kebutuhan pokok dengan tarif lebih rendah.

Pajak Kekayaan Untuk Kesetaraan Gender

Menyikapi situasi tersebut para feminis mendorong pemberlakuan pajak kekayaan sebagai inisiatif yang mendesak dan berkelanjutan untuk melawan ketidaksetaraan gender. Pajak kekayaan dapat memanfaatkan potensi perpajakan untuk mendistribusikan kembali kekayaan dan meningkatkan sumber daya yang sangat dibutuhkan. Misalnya untuk membiayai layanan publik, infrastruktur sosial serta langkah-langkah pendukung lainnya yang diperlukan untuk memenuhi hak dan kebutuhan perempuan, mendorong keadilan gender, dan mengurangi ketidaksetaraan.

Sistem ekonomi kapitalis patriarki menciptakan kemiskinan dan ketidaksetaraan ekstrem dan membuat segelintir miliarder mengendalikan kekayaan dan sumber daya suatu negara. Di masyarakat yang patriarki, perempuan termasuk yang pertama menderita kemiskinan dan ketidaksetaraan. Perempuan juga menanggung beban untuk menciptakan kekayaan tersebut karena tenaga kerja mereka terus-menerus dieksploitasi untuk keuntungan segelintir orang.

Ketika pandemi COVID-19, di Indonesia kekayaan 15 miliarder mengalami pertumbuhan pada awal pandemi. Miliarder terkaya meningkatkan kekayaannya sebesar 27% pada Juni 2020. Sementara itu, pendapatan dan jam kerja perempuan mengalami penurunan tajam di Indonesia. Di restoran dan hotel, jam kerja perempuan dipotong hingga 50% dibandingkan dengan 35% laki-laki. Perempuan juga menderita akibat berkurangnya pendapatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang memiliki lebih dari 50% dari usaha tersebut (The Jakarta Post, 2020).

Fakta tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya, ada cukup kekayaan di dunia untuk memastikan kehidupan dan mata pencaharian yang layak bagi semua orang.

Baca juga: Pengalaman Kerja Tak Mengenakkan di Indonesia, Membuat Pekerja Milenial Pindah ke Luar Negeri

Menetapkan pajak kekayaan, pertama merupakan langkah penting untuk mengakhiri karakter regresif sistem pajak yang bias terhadap perlindungan kepentingan korporasi dan elit individu. Kedua, pajak kekayaan dapat menghasilkan pendapatan yang sangat dibutuhkan untuk membiayai layanan penting. Termasuk membiayai upaya lain yang diperlukan untuk mengatasi ketidaksetaraan dan mewujudkan keadilan gender. Tak ketinggalan tindakan mendesak lainnya untuk mengatasi berbagai krisis, dan membangun masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan.

Ketiga, pajak kekayaan yang dikombinasikan dengan reformasi progresif lainnya dalam sistem fiskal dan pajak, dapat membantu mengakhiri penghematan dan meningkatkan belanja publik, serta membantu mewujudkan redistribusi kekayaan dan keadilan ekonomi.

Para miliarder seharusnya tidak memiliki akses ke kekayaan dalam jumlah yang berlebihan sejak awal. Lebih dari itu sistem ekonomi yang berjalan saat ini tidak adil dan didukung oleh lembaga kapitalis dan patriarki yang memungkinkan mereka memiliki begitu banyak kekayaan. Ini adalah sistem ekonomi yang tidak adil yang sama yang memungkinkan perempuan, anak-anak, dan pekerja dieksploitasi demi menghasilkan kekayaan bagi 1%.

Jadi gimana, sudah siap buat menulis ulang aturan pajak dan bikin pajak jadi bermanfaat untuk perempuan? Sudah siap juga buat ikut aksi tolak kenaikan PPN 12%?

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!